.... SAPUTANGAN BIRU LAUT....



Hanya sedikit yang tahu mengapa perempuan itu tetap termangu. Berdiri dengan memegang sehelai saputangan berwarna biru laut. Matanya kosong, namun sesekali menatap penuh harap manakala ada kapal yang terlihat merapat ke dermaga. Bajunya yang lebih mirip gaun tidur pengantin pada malam pertama itu, terlihat begitu lemah gemulai dimainkan bayu yang berhembus sepoi-sepoi. Sedari matahari terbit ia selalu berdiri di situ. Di tepian dermaga. Saat lelah menyerang kakinya ia berjalan menyusuri dermaga sampai akhirnya ia terduduk di dekat kapal yang sedang membongkar sauh.

Ia terus seperti itu, bahkan bajunya pun selalu seperti itu, seperti gaun malam pertama pengantin baru, cantik, kainnya lembut dan tipis, dan sedikit tembus pandang. Ia selalu seperti itu. Cantik. Apalagi setitik tahi lalat yang sedari lahir sudah ada tepat di bawah bibir sebelah kiri, membuat senyumnya makin manis dan tidak mudah untuk dilupakan. Juga rambut ikalnya yang terurai sepinggang. Ujung rambut itu seperti menggelitik tubuhnya saat pinggulnya yang seperti biola itu meliuk indah dan begitu memenjarakan mata. Wajahnya yang bulat purnama begitu polos, dari guratan air mukanya terlihat sebuah cinta yang dalam. Cinta yang terjebak dalam penantian panjang. Terpenjara. Menunggu seseorang datang membebaskannya.

Tidak ada yang tidak mengenal dara cantik itu, terlebih lagi para ABK yang suka sekali menatapnya, bahkan berusaha menggodanya. Namun apa saja rayuan yang dilemparkan para ABK itu tidak akan berguna, bahkan ajakan yang serius sekalipun. Lagipula, sudah lama tidak ada ABK yang menggagunya lagi. Kebanyakan dari mereka hanya menatap iba pada dara berambut ikal itu, dan sebagian yang lain bahkan menganggap kehadirannya tidak ada.

Namun si gadis yang berbaju tidur ala pengantin baru ini, tidak pernah lelah mengunjungi dermaga. Dengan bajunya yang selalu berganti namun tetap dengan baju tidur yang transparan berenda, yang lebih memperjelas keindahan kulit putihnya, dengan kaki mulus yang telanjang, sementara sepatu berhak tinggi bergelantungan di tangan kiri karena tangan kanannya selalu memegang saputangan biru laut, ia selalu tersenyum saat mentari baru bersinar di dermaga, dan terus tersenyum hingga mega memerah di barat dan senja meremang perlahan.

----------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada yang bisa dilakukan Yu Sarti, selain menghindar dari pertanyaan orang yang terus menanyakan putrinya. Menghindar dan menghindar hingga ia sadari matanya basah dan menangisi nasib. Niru diletakkannya di halaman belakang rumah, seakan ingin menghapus beban ia hempaskan tubuh tirusnya ke tanah. Isak tangis tak mampu lagi dibendung.

“Sudah bu…jangan kayak gitu…malu kalau kedengaran tetangga…”

“Aku bingung pa’e, semua orang ngomongin keadaan kita…jadi apa dia kayak gitu pa’e..aku mesti buat apa??”

“Ya habis mau gimana lagi..? aku juga sudah kehabisan akal bu. Ya kita terima saja, mungkin sebentar lagi den kusno datang….pasti dia bisa kayak dulu lagi…”

“Mana mungkin tho pak, mana mau….orang-orang pada ngomongin pak…aku jadi malu jualan ke pasar…”

“Ya aku juga gitu bu’e…di sawah semua orang bilang seperti itu…habis..mau bagaimana lagi??? Kalo ndak gitu kita ndak makan bu..”

Sore merangkak dalam keheningan keluarga kecil itu. Saat mentari benar-benar tertidur, seorang gadis ayu berpakaian baju tidur transparan berenda berwarna kemerahan memasuki rumah mungil itu. Sepatu hak tinggi ia hempaskan ke tengah ruangan, dan saputangan biru laut itu ia remas dengan kedua tangannya. Matanya yang indah seketika basah. Butiran bening bergulir diselingin ratapan yang berbisik dari bibirnya “Mas Kusno…kapan pulang..??”.

---------------------------------------------------------------------------------

“ He ..ron. ga lunch kamu?”

“Lagi males keluar nih…kamu duluan aja deh”

Whats up dude…lagi musingin apa sih?...sampe ga mau makan gini? Kamu marahan lagi ya sama Debby?

“Ga sih Vin, hubunganku baik-baik aja, Cuma ga mood aja kok. Kamu lunch sendiri aja. Oke?”

“Oke friendI will leave u alone, I think u need it.”

Kevin berlalu. Ronny kembali ke aktivitasnya semula. Memandangi selembar fhoto berukuran kecil, hanya pas jika diletakkan di dompet. Merenung. Ingatannya melayang, seakan kembali mengulang masa lalu, masa lalu yang sangat ia rindukan.

-------------------------------------------------------------------------

“Mau dibantu mas?, kayaknya bawaannya banyak bener..?

“Eh gak apa-apa mbak, saya bisa sendiri kok. Saya cuma mau tanya, ini nama desanya apa ya?”

“Oo.. ini desa tepian terang mas”

“Kok namanya kayak gitu ya mbak?”

“Karena desa ini letaknya di tepian pantai mas, dinamai terang karena …ya …supaya cerah saja, supaya nasib nelayan-nelayan di sini terang mas, kayak cahaya bulan purnama”

“Oo gitu…”

“Mbak juga kayak bulan purnama, wajah mbak bulat dan cantik.”

“Ah mas bisa aja.. ternyata benar ya.. kata orang….”

“Maksud mbak…?”

“Ya. Orang bilang…cowok kota itu cakep-cakep, bajunya bagus, gayanya juga bagus, tapi suka merayu….” Senyum manis yang tersungging membuat pemuda itu bagai di mabuk air nira.

“Ah gak gitu juga kok mbak…Saya cuma mau bilang apa adanya lho mbak. Benar. Mbak cantik.”

Tidak ada yang bisa dilakukan Galih selain menyunggingkan senyumnya, yang semakin manis saja dengan tahi lalat tepat di bawah bibir kirinya itu.

“Aku boleh berteman sama mbak?”

“Ya boleh mas, masa cuma teman ndak boleh?”

“Aku Kusno mbak…..kalau lebih dari teman gimana?” Rasanya senyuman manis itu seperti menjanjikan kisah asmara yang indah di mata Rony.

“Aku Galih mas Kusno, ………”

Hanya diam yang terjalin saat kedua insan yang saling terpesona itu beranjak menjauhi dermaga. Beberapa saat lamanya Rony kehilangan kendali, ia hanya terpesona pada wajah bulat yang indah layaknya purnama itu. Bahkan ia pun tak sadar akibat dari kebiasaannya memanipulasi jati diri saat berkenalan dengan wanita cantik. Bukan hanya nama yang dipalsukan, namun juga status, bahkan kenyataan hidup.

Hari-hari berlalu dengan indah bagi Galih. Baginya Rony adalah Kusno, seorang pencari bakat untuk model majalah pria dewasa itu baginya adalah seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menyelesaikan skripsi. Galih yang bahkan tidak tamat SMP tidak pernah mempertanyakan mengapa Kusno pujaannya itu tidak pernah terlihat meneliti balai kesehatan desa itu, seperti yang diakuinya ke Galih. Padahal katanya ia sedang mengadakan penelitian untuk merampungkan skripsinya. Memang betul Rony adalah mahasiswa. Ia mahasiswa pada universitas playboy, yang mengambil jurusan sebagai penakluk wanita. Skripsinya saat ini berjudul Galih. Untuk merampungkan skripsi ini memang dia harus meneliti objek atau sasaran penelitiannya sampai ke unsur dan bagian terdetail…..

Dengan kamera digitalnya, Rony melambungkan angan dan perasaan gadis lugu ini. Tak hentinya ia memuji keindahan tubuh Galih dan terus mengarahkan Galih untuk berpose yang sesuai dengan harapan manajernya. Gambar dan pose tubuh Galih adalah “kekuatan” yang bisa mengorbitkan majalah pria dewasa yang dipegangnya hingga ke rating penjualan tertinggi.

“Kenapa sih mas…aku di suruh pake baju tidur gini fhotonya? Mas beli dimana ini? Aku malu pakai baju kayak gini.”

“Sayangku…aku beli itu di kota yang tidak jauh dari sini, yang bisa kutempuh pakai motor. Kenapa mesti malu…Tubuhmu bagus, jadi gak perlu malu tho? Lagian kan cuma mas Kusno yang lihat, ga ada orang lain di sini..kita memang perlu fhoto kayak gini. mesti banyak jumlahnya, kalo cuma satu, nanti fhoto itu hilang gimana? Lagi pula mas kan harus memperlihatkan wajah kamu ke orang tua mas? kan mas mau melamar kamu?”

“Tapi mas. Masa fhoto aku yang untuk orang tuamu kayak gitu?”

“Tenang aja, gambar-gambar yang mempesona ini akan mas simpan, supaya mas ga lupa sama kamu, yang buat orang tuaku kita fhoto lagi nanti. Aku belikan kebaya bagus untuk dipakai fhoto. Mau kan?”

Hanya ada senyuman sumringah yang terulas manis dari Galih. Tidak ada kata-kata lagi karena Kusno membalas senyuman itu dengan kecupan hangat. Kecupan yang melemaskan seluruh persendian Galih. Dermaga yang sepi kala petang jadi saksi hangatnya hati mereka yang dialiri gelora cinta. Angin yang sepoi perlahan menambah syahdunya sensasi hasrat dalam jiwa. Galih seperti dihantarkan menuju surga dunia.

---------------------------------------------------------------------------

Dua bulan berlalu. Rony mendapat panggilan dari bosnya. Fhoto-fhoto mempesona yang ia kirimkan via email sangat mengangkat rating penjualan majalah, hingga omzet mereka naik sampai empat ratus persen. Rony pun mendapat salary yang sangat tidak ia duga jumlahnya. Ia pun menjanjikan Galih bahwa ia akan menjemput Galih untuk dinikahi. Lambat laun jiwa playboynya raib entah kemana. Kepolosan dan kasih sayang Galih yang begitu tidak kenal batas, hingga tidak menyadari dirinya sudah dieksploitasi Rony demi kepentingan pribadi, membuat Rony tidak tega menjadikan Galih korban yang kesekian. Ia serius kini. Bahkan ia secara tidak langsung sudah mengungkapkan keinginannya pada Pak Sardi dan Yu Sarti.

“Kalau memang nak Kusno benar-benar mau menerima galih, kami yo setuju aja. Tapi kami memang orang kampung, tidak bisa bikin pesta yang meriah. Tidak ada biaya.”

Boten nopo-nopo pa’e, bu’e, saya tidak minta bapak dan ibu keluar uang, biar semua jadi tanggung jawab Saya, Saya cuma minta izin untuk menikahi Galih, tapi saya harus kembali ke kota dulu, setelah pekerjaan di kota selesai, Saya akan kembali untuk meminang galih.”

“Syukur kalau gitu ya pak? Bu’e ndak nyangka ada orang kota mau begitu baik sama anak semata wayang kita ya pak?” Mata Yu Sarti yang sudah mulai renta itu seakan tidak mampu menampung genangan air mata yang seperti akan melimpah ruah. Terlebih lagi Galih, impiannya memakai gaun pengantin putih yang berpayet merah muda akan segera terwujud. Mas Kusno-nya ini pernah memperlihatkan majalah wanita yang didalamnya terdapat contoh baju-baju pengantin. Ia sudah memesan model dan warna baju yang disukainya, Kusnopun berjanji akan kembali ke desa dengan membawa gaun yang diinginkan.

Mentari baru saja bersinar, berseri seperti senyum manis Galih melepas Rony. Senyum manis yang diselingi guliran air mata. Rony menghapus kristal bening di pipi mulus itu dengan saputangannya, kemudian saputangan itu ia berikan ke genggaman Galih. “Simpan ini ya calon istriku, udah ga usah nangis kayak gitu, aku akan mewujudkan impian kita. Paling lama aku dua bulan di kota, setelah itu aku pasti kembali. Jaga dirimu ya. Oya…kalau kakimu sakit pakai sepatu tinggi ini ya udah dicopot saja. Berarti kamu kayak kaki ayam pulang ke rumah, karena ayam kan ga pakai sepatu, hehe.” Hibur Rony.

Galih hanya bisa tertawa kecil, ia tak kuasa ceria seperti hari yang sudah-sudah. “Kalau nanti mas Kuno ndak pulang…..aku bagaimana mas?”

“Mas Kusnomu ini pasti pulang…Kalau kamu ga percaya, setelah dua bulan lagi coba aja kamu tunggu aku di sini, dari salah satu kapal yang merapat akan ada seorang pria ganteng yang begitu turun dari kapal dia akan langsung lari untuk memelukmu.” Ia sudahi kata-katanya dengan pelukan erat yang membuat Galih semakin larut dalam cinta dan kecemasan.

Saat kapal mulai menjauh dari dermaga, Galih melambaikan tangan kanannya karena tangan kirinya sudah terlanjur memegang sepatu hak tinggi yang menyakiti tumit, “mas….aku tunggu di sini yooooo.. hati-hati…”

Jiwa Rony seakan terbang meninggalkan raganya, belum pernah ia merasakan kesepian dan kesedihan yang begitu dalam saat beranjak jauh dari seorang wanita. Ia memang dikenal sebagai pria yang tidak tahu arti cinta dan juga tidak mau tahu. Baginya cinta hanya ada saat dua sejoli dibakar hasrat yang membara dan larut dalam kenikmatan dunia yang sesaat. Walaupun itu jelas terlarang, karena bagi Rony tidak ada pernikahan, di matanya pernikahan hanya mengebiri kekuasaannya untuk menaklukkan wanita. Namun ia tunduk kini…di tangan gadis kampung yang tidak berpendidikan, dengan keluguan dan kelembutannya membuat Rony tidak berfikir untuk mendua, bahkan sudah dimantapkannya niat untuk berpindah kerja, agar tidak terlalu sering meninggalkan istrinya itu nanti. Ia memahami keinginan orang tua Galih untuk tidak berpisah dengan anak semata wayangnya, karena itu Rony bersedia tinggal di desa.

-----------------------------------------------------------------------------------

“Halo..”

“Hai Rony…kamu udah kembali kesini ya?”

“O…ini Debby ya…ada apa ya, aku baru aja sampai kemarin”

“Ada yang mau kubicarakan dengan kamu Ron, ini penting! Tentang kita!”

“Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kita kan sudah putus? Satu minggu sebelum aku cuti panjang!! Sudah lebih dari dua bulan! Ingat??!!”

“Jangan marah-marah dulu donk Ron. Iya, aku masih ingat, tapi tetap saja kita perlu bicara, aku tunggu malam ini di café biasa. Kamu bisa kan ?... please…”

“Oc deh, aku datang setelah jam sembilan, karena ada kerja malam ini.”

Oc I am waiting…….”

----------------------------------------------------------------------------------------

Siang ini….Rony hanya bisa termangu saat Kevin mengajaknya makan siang. Di genggaman tangannya, gadis ayu bertahi lalat di bawah bibir kiri itu terus memandanginya. Senyum manisnya menghiasi wajah bulat purnama yang demikian memikat. Perlahan jantungnya berdegup kencang. Darahnya berdesir dan mengembalikan gelora hari-hari yang silam, saat ia bermesraan dengan Galih di tepian dermaga saat senja. Sudah hampir dua bulan. Ingin sekali ia kembali….

---------------------------------------------------------------------------------------

“Maaf Debby, aku rasa kamu salah orang bicara seperti ini”

“Salah orang gimana maksud kamu? Kamu fikir aku tidur dengan laki-laki lain begitu? Selama dengan kamu aku tidak berhubungan dengan pria manapun!!!”

“Berarti mungkin saja kamu tidur dengan laki-laki setelah aku pergi kedesa!!!” jangan mengada-ada!!” emosinya memuncak hingga nada suaranya meninggi dan mengejutkan pengunjung café lainnya.

“Apa???” Kamu yang mengada-ada!!! Bilang saja kalau kamu mau lari dari tanggung jawab!!” Debby meledak-ledak, ia sudah tidak perduli lagi apa penilaian pengunjung café yang memandangi mereka. “Kamu baca dong keterangan dokter ini, aku hamil lima bulan tahu!!!!” Isak tangisnya pecah setelah nada tertinggi ia keluarkan dengan kemarahan penuh.

Terhenyak. Sunyi. Pengunjung café mulai melanjutkan aktifitas masing-masing. Sekilas gadis ayu berwajah bulat purnama seakan datang menghampiri, dengan saputangan biru laut di genggaman tangan kanan…..

---------------------------------------------------------------------------------------

“Jadi kamu tetap bersedia menikahi Debby?”

“Aku gak punya pilihan lain Vin, kamu tahu kan konsekuensinya kalau aku ingkar janji?”

“Yaa kamu juga sih… kan dulu udah aku warning..jangan pacaran sama anak bos…kalau salah langkah pekerjaan kita taruhannya, bahkan bisa jadi harga diri atau nyawa kita”

“Kalau dipecat aku terima…atau diancam di bunuh pun aku ga takut…tapi ini…dia bakal masukin aku ke penjara tahu, bisa hancur harga diri dan kredibilitas gue yang selama ini aku bangun!!!”

Everything has a risk …”

“Sabar friend…mungkin Debby yang cocok buatmu..dan aku rasa si Galih itu pasti menemukan penggantimu yang lebih baik dari kmau…oc? Udah jam kerja nih..kalo Kamu ga konsen gitu hasilnya bisa kacau. Kamu harus gantiin si Larry bagian pemotretan kan?”

“Iya..Aku harus gantiin Larry…”

“……….tapi masalahnya Vin…..”

“Kenapa lagi …?”

“Ga Vin …ga apa-apa. Thanx ya friend”

“Yup!!!”

-----------------------------------------------------------------------------------------

Sudah empat bulan berlalu…sudah dua bulan pula gadis ikal itu berdiri dan berjalan menyusuri dermaga, sesuai janjinya. Begitu juga sore ini. Matanya yang selalu berharap saat ada kapal merapat dan kembali bersedih saat semua penumpang turun dan yang dicarinya tak jua kunjung memeluk dirinya. Sebulan terakhir Galih sudah agak berubah. Biasanya ia hanya tersenyum sendiri saat terkenang masa-masa penuh kehangatan bersama Mas Kusno, namun sekarang tidak lagi…..

Ia sering tertawa-tawa tanpa memperhatikan puluhan pasang mata yang menatapnya iba. Semua orang merasa kasihan padanya, juga pada Pak Sardi dan Yu Sarti, yang sekarang sudah mulai malu jualan di pasar karena semua orang membicarakan putri mereka.

Gadis itu tetap cantik. Dengan baju tidur transparan berenda ia selalu melambaikan tangan kanannya pada tiap kapal yang datang, sementara sepatu hak tinggi seakan sudah lengket dengan tangan kirinya. Rambut ikalnya yang panjang sepinggang itu menari dihembus sang bayu. Ia setia pada cintanya. Kulitnya masih seputih dulu, masih semulus dulu, senyumnya masih menggoda, tahi lalatnya masih menghiasi bagian bawah bibir kirinya, tidak ada yang berubah masih sama seperti empat atau lima bulan lau, saat ia dibuai kemesraan oleh seorang pemuda kota. Tidak ada yang berubah, selain isak tangisnya yang sesekali pecah saat tangan kanannya yang menggenggam saputangan biru laut itu, dengan gemetar dan hampa tampak mengelus-elus perutnya yang kian membesar……….

0 Response to ".... SAPUTANGAN BIRU LAUT...."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel