makna hidup
Kadang kita mudah mengatakan kata “makna hidup” tapi sebenarnya sungguhkah kita faham apa itu makna hidup?
Makna adalah sesuatu yang mampu membuat kita berarti. Jadi makna hidup adalah sesuatu yang membuat hidup kita berarti.
Sekarang pertanyaannya, apakah, atau siapakah yang bisa membuat hidup ini berarti? Bagaimana menggapainya?
Kadang sebagian kita merasa keberartian dirinya terletak pada hubungan personal yang sangat dihargainya,, misalnya dengan pasangan, dengan keluarga yang membentuknya (orang tuanya) atau dengan keluarga yang dibentuknya (ketika ia sudah berkeluarga).
Sebagian lagi dari kita ada yang merasa berarti hidupnya dengan limpahan materi yang benar-benar meluah. Mampu membeli apapun dengan harga berapapun, pergi kemanapun, kapanpun dengan biaya berapapun. Mampu menyelesaikan masalah bahkan yang terberat dengan kuasa rupiah...
Sebagian lagi dari kita ada yang mencari arti hidupnya dalam jabatan yang dikuasainya, karena mungkin dengan jabatan itu ia merasa dihargai, merasa bisa menguasai orang lain, mungkin pula berkuasa untuk menundukkan lingkungannya dengan wewenang superiornya.
Namun sadarkah kita bahwa semua yang dibanggakan saat ini suatu hari akan kita tinggalkan atau meninggalkan kita?? Bahwa pilihan terhadap dunia ini hanya dua: kita yang meninggalkan dunia atau dunia yang meninggalkan kita.
Pilihan pertama jelas maksudnya, walaupun kita masih mencintai pasangan dan keluarga besar kita, mencintai pekerjaan dan harta yang dihasilkannya, namun bila Izrail memanggil maka semua itu tak mampu menyelamatkan kita dari jemputannya.
Sedang pilihan kedua? Kadang sebagian kita dianugrahi umur yang panjang, namun keindahan dan kemegahan dunia tak lagi di rasakannya. Ataupun kalau ia merasakannya, itu hanyalah ia yang menginginkannya, sedang dunia tak lagi menginginkannya. Seperti mereka yang di usia lebih setengah abad bahkan hampir ¾ abad, namun masih berdandan ala remaja bahkan berlebihan, walaupun mungkin karena tuntutan ini tuntutan ono, namun apakah itu pantas?
Kadang ada juga orang yang menghabiskan hari-hari dengan menahan sakit, derita lahir bahkan bonus pula dengan derita batin. Tubuh yang tak lagi kencang dan berisi, wajah yang tidak bisa (terlalu) dilawan ketuaannya, kekuatan tulang yang menurun bahkan badan yang mudah sakit, itu semua menandakan keindahan dunia ini telah meninggalkan kita. Karena keindahan dunia hanya bisa digapai dengan kesehatan lahir batin...
Memang menurut Baumeister (psikolog) dalam bukunya meaning of life, mengatakan bahwa meaning mengandung beberapa bagian kepercayaan yang saling berhubungan antara benda, kejadian dan hubungan. Baumeister menekankan bahwa meaning pada akhirnya memberikan arahan, intensi pada setiap individu. Jadi wajar bila individu melekatkan dirinya pada hubungan dengan orang, kejadian atau materi.
Namun perlu diingat, bahwa psikologi Barat telah kehilangan jiwanya, itu yang dikatakan Lynn Wilcox, karena psikologi Barat meniadakan hubungan manusia dengan penciptanya.
Lynn Wilcox adalah sorang western, namun ia mempelajari sufisme sampai diakui sebagai profesor dalam bidang itu, dan ia mengatakan bahwa manusia itu bagaikan lampu, dan lampu membutuhkan ketersambungan selalu/endless connection dengan sakelar lampu, agar lampu selalu berdaya untuk bersinar dan menyinari sekelilingnya. Sakelar lampu itu dianalogikan dengan Tuhan, Allah Ta’ala, yang diistilahkan Wilcox dengan The Source/Sang Sumber. Tanpa ada energi dari The Source maka lampu manusia ini tidak akan pernah menyala dengan baik, ia tidak mampu menyinari dirinya sendiri apakah lagi orang lain.
Dalam kaitannya dengan pencarian makna hidup, disilah layaknya makna hidup kita sandarkan, yaitu pada IKATAN DENGAN ALLAH. karena apabila kita menyandarkan keberartian diri pada benda, orang atau apapun yang bersifat profan (duniawi) maka apabila semua itu hilang, akan hilang pulalah makna hidup kita.
Merasa hidup bermakna saat dicintai suami/ kekasih/keluarga/sahabat? Maka bila mereka meninggalkan kita, entah meninggal atau pergi karena tidak setia, maka hidup terasa hancur dan tidak berarti.
Merasa bermakna karena punya jabatan dan kekuasaan? Suatu saat jabatan itu akan diambil dari tangan kita, lalu siapakah kita tanpa jabatan itu? Masihkah hidup terasa berarti? Lihat saja soeharto dan saddam husain... siapa yg sangka mereka akan jatuh dengan cara seperti itu? Bukankah itu tanda jabatan setinggi apapun tidak akan mempu jadi sandaran menyelamatkan diri?
Oo, merasa punya harta tak terhitungkah?? Mampu keliling dunia, memiliki semua produk terbaik umat bangsa dari berbagai belahan bumi, bahkan bisa menundukkan hukum dengan harta?? Sampai kapan?? Bukankah selain hukum manusia juga ada hukum Tuhan?? Bila Tuhan menghukum, apalagikah arti hidup? Tuhan menciptakan dengan kebaikan, kekuatan dan diberikanNYA segala peluang kebahagiaan, tetapi kemudian Ia menghukum karena yang diciptakan tidak berjalan pada koridor yang ditetapkanNYA. Hukuman manusia sanggup ditepis, lalu hukum Tuhan?? Apa jadinya hidup bila yang memberikan hidup pun sudah membenci kita???
Inilah yang disinyalir oleh Nietzche (filsuf) juga Rollo May (psikolog) yaitu penyakit manusia modern saat ini, walaupun mereka terlihat kaya, sehat dan sukses, namun jauh dalam jiwa mereka itu ”kopong”... ada rongga yang kosong dan itu merongrong kenyamanan hidup mereka.
Walaupun Nietzche ada yang mengatakan ia atheis, lantara karyanya yang cukup kontroversial ”Tuhan Telah Mati”, namun yang sebenarnya dimaksud Nietzche adalah Tuhan telah mati di hati orang2 yang berpenyakit. Orang2 yang mengejar keduniawian, menjadikan jabatan agama atau pemerintahan untuk melegitimasi perbuatan yang mereka sesumbarkan sebagai ”atas nama umat” padahal menyengsarakan umat.
Rongga yang kopong itu adalah jiwa yang kering tidak ada koneksi dengan Tuhan, Allah SWT. Karena jiwa tidak diberikan makanannya, bahwa makanannya adalah nilai2 agama, dan tidak dipenuhi cintanya, bahwa cintanya adalah kepada The Source/Tuhan/ Allah SWT. sehingga walau cinta dan butuh terhadap duniawi: orang, barang, kekuasaan telah terpenuhi, tetap saja jiwa kesepian dan ruh yang di dalam menjerit.
Karena Allah dalam al A’raf 172, telah menjelaskan bahwa, sungguhnya calon embrio itu ketika masih di sulbi ayah, ia sudah berjanji dengan Allah: A Lastu bi rabbikum ? (apakah AKU ini bukan tuhanmu?) mereka menjawab : Betul Engkau Tuhan kami, dan kami menjadi saksi...
Lalu, ketika di dunia ternyata ruh ini jauh dari Tuhannya, disitulah ia akan merasa tersiksa. Ia menjerit karena tidak didekatkan dengan penciptanya yang Maha Menyayanginya lebih dari seisi dunia, ruh merasa dijauhkan dari kekasihnya.
Jiwa yang gelisah dan menderita karena jauh dari Tuhannya inilah yang menjadikan hidup kosong tak bermakna, walau seisi dunia bisa digenggam.
Laksana sorang kekasih yang merindukan cintanya, ingin selalu dekat dan bersama dengan yang dicintainya yang juga mencintainya. Seperti pencinta yang mabuk kepayang karna cintanya yang membuncah, sehingga ia tidak akan berhenti mencari cintanya sampai bisa dimilikinya secara utuh. Seperti itulah keadaan ruh manusia pada hakikatnya, yang selalu merindukan kasih sayang Allah di relungnya. Ruh tidak akan pernah bisa tenang sebelum ia merasakan cintanya pada Allah yang dibalas Allah dengan cintaNya pula.
Namun manusia terlalu dibutakan oleh dunia sehingga hanya mengejar keuntungan dan kebutuhan jasmani, tak sadar ia bahwa rohaninya pun butuh makan. Ketimpangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani inilah yang membawa manusia pada ketidakbermaknaan, berdiri di pinggir jurang kehancuran bathin yang akan menenggalamkan lahiriahnya juga. Sehingga tak sedikit orang bunuh diri, entahkah karena hidupnya terlalu susah dan ia tak menemukan makna positif yang tersirat dibalik penderitaannya, atau justru karena hidupnya begitu berkecukupan namun tidak bermakna karena ia jauh dari Tuhannya.
Hidup yang tidak tenang, merasa dirongrong sesuatu padahal tidak ada yang mengganggunya, gelisah dan kesepian padahal hampir semua kesenangan dunia dimilikinya, adalah salah satu bentuk usaha setan menjauhkan manusia dari hakikat tugas penciptaannya. Dikarenakan ia selalu mentaati setan untuk menimbuk kesenangan dunia hingga lupa bekal untuk akhirat tidak disiapkan, sehingga jiwanya meronta kesakitan memohon kesembuhan yang tak lain adalah ketersambungan yang kuat dengan Sang Penciptanya.
Maka bagi jiwa-jiwa yang gelisah Cuma satu jawabnya: mendekat dan mengingati allah lebih banyak lagi.
Afala bi dzikrillahi tathmainnul quluub?? ...
Bukankah hanya dengan dzikir/mengingati allah maka hati menjadi tenang?
Bila telah terasa hati gelisah, tidak tenang, namun tidak jua mengingati Allah, maka hati itu akan semakin jauh dari Allah, dan bila ia semakin jauh dari Allah maka hanya setanlah yang menjadi temannya. Dan kesudahannya, manusia yang seperti itu akan makin menjauh dari Allah, makin disenangkan pada dunia dan dienggankan memikirkan akhirat. Ini sudah diwanti-wanti oleh Allah dalam az Zukhruf : 24:
”Dan siapa saja yang berpaling dari mengingati Tuhan yang Maha Pemurah, Kami adakan setan untuk menjadi teman dekatnya”
Bila sudah semakin jauh dari Allah yang menghidupkan kita dan menyayangi dan maha mencukupkan kebutuhan kita, hingga akhirnya Allah menyediakan setan sebagai teman dekat kita, hingga kita makin lupa bahwa ada kampung akhirat sebagai tujuan akhir, bahwa di dunia ini hanya sementara dan semua perbuatan di sini akan dihitung nantinya, lalu bagaimanakah hidup ini akan tenang?? Bagaimana pula kita bisa menemukan makna sejati kehidupan bila Sang Pemberi hidup justru dijauhi???
**** hanya renungan... mudah2an bermanfaat***
Makna adalah sesuatu yang mampu membuat kita berarti. Jadi makna hidup adalah sesuatu yang membuat hidup kita berarti.
Sekarang pertanyaannya, apakah, atau siapakah yang bisa membuat hidup ini berarti? Bagaimana menggapainya?
Kadang sebagian kita merasa keberartian dirinya terletak pada hubungan personal yang sangat dihargainya,, misalnya dengan pasangan, dengan keluarga yang membentuknya (orang tuanya) atau dengan keluarga yang dibentuknya (ketika ia sudah berkeluarga).
Sebagian lagi dari kita ada yang merasa berarti hidupnya dengan limpahan materi yang benar-benar meluah. Mampu membeli apapun dengan harga berapapun, pergi kemanapun, kapanpun dengan biaya berapapun. Mampu menyelesaikan masalah bahkan yang terberat dengan kuasa rupiah...
Sebagian lagi dari kita ada yang mencari arti hidupnya dalam jabatan yang dikuasainya, karena mungkin dengan jabatan itu ia merasa dihargai, merasa bisa menguasai orang lain, mungkin pula berkuasa untuk menundukkan lingkungannya dengan wewenang superiornya.
Namun sadarkah kita bahwa semua yang dibanggakan saat ini suatu hari akan kita tinggalkan atau meninggalkan kita?? Bahwa pilihan terhadap dunia ini hanya dua: kita yang meninggalkan dunia atau dunia yang meninggalkan kita.
Pilihan pertama jelas maksudnya, walaupun kita masih mencintai pasangan dan keluarga besar kita, mencintai pekerjaan dan harta yang dihasilkannya, namun bila Izrail memanggil maka semua itu tak mampu menyelamatkan kita dari jemputannya.
Sedang pilihan kedua? Kadang sebagian kita dianugrahi umur yang panjang, namun keindahan dan kemegahan dunia tak lagi di rasakannya. Ataupun kalau ia merasakannya, itu hanyalah ia yang menginginkannya, sedang dunia tak lagi menginginkannya. Seperti mereka yang di usia lebih setengah abad bahkan hampir ¾ abad, namun masih berdandan ala remaja bahkan berlebihan, walaupun mungkin karena tuntutan ini tuntutan ono, namun apakah itu pantas?
Kadang ada juga orang yang menghabiskan hari-hari dengan menahan sakit, derita lahir bahkan bonus pula dengan derita batin. Tubuh yang tak lagi kencang dan berisi, wajah yang tidak bisa (terlalu) dilawan ketuaannya, kekuatan tulang yang menurun bahkan badan yang mudah sakit, itu semua menandakan keindahan dunia ini telah meninggalkan kita. Karena keindahan dunia hanya bisa digapai dengan kesehatan lahir batin...
Memang menurut Baumeister (psikolog) dalam bukunya meaning of life, mengatakan bahwa meaning mengandung beberapa bagian kepercayaan yang saling berhubungan antara benda, kejadian dan hubungan. Baumeister menekankan bahwa meaning pada akhirnya memberikan arahan, intensi pada setiap individu. Jadi wajar bila individu melekatkan dirinya pada hubungan dengan orang, kejadian atau materi.
Namun perlu diingat, bahwa psikologi Barat telah kehilangan jiwanya, itu yang dikatakan Lynn Wilcox, karena psikologi Barat meniadakan hubungan manusia dengan penciptanya.
Lynn Wilcox adalah sorang western, namun ia mempelajari sufisme sampai diakui sebagai profesor dalam bidang itu, dan ia mengatakan bahwa manusia itu bagaikan lampu, dan lampu membutuhkan ketersambungan selalu/endless connection dengan sakelar lampu, agar lampu selalu berdaya untuk bersinar dan menyinari sekelilingnya. Sakelar lampu itu dianalogikan dengan Tuhan, Allah Ta’ala, yang diistilahkan Wilcox dengan The Source/Sang Sumber. Tanpa ada energi dari The Source maka lampu manusia ini tidak akan pernah menyala dengan baik, ia tidak mampu menyinari dirinya sendiri apakah lagi orang lain.
Dalam kaitannya dengan pencarian makna hidup, disilah layaknya makna hidup kita sandarkan, yaitu pada IKATAN DENGAN ALLAH. karena apabila kita menyandarkan keberartian diri pada benda, orang atau apapun yang bersifat profan (duniawi) maka apabila semua itu hilang, akan hilang pulalah makna hidup kita.
Merasa hidup bermakna saat dicintai suami/ kekasih/keluarga/sahabat? Maka bila mereka meninggalkan kita, entah meninggal atau pergi karena tidak setia, maka hidup terasa hancur dan tidak berarti.
Merasa bermakna karena punya jabatan dan kekuasaan? Suatu saat jabatan itu akan diambil dari tangan kita, lalu siapakah kita tanpa jabatan itu? Masihkah hidup terasa berarti? Lihat saja soeharto dan saddam husain... siapa yg sangka mereka akan jatuh dengan cara seperti itu? Bukankah itu tanda jabatan setinggi apapun tidak akan mempu jadi sandaran menyelamatkan diri?
Oo, merasa punya harta tak terhitungkah?? Mampu keliling dunia, memiliki semua produk terbaik umat bangsa dari berbagai belahan bumi, bahkan bisa menundukkan hukum dengan harta?? Sampai kapan?? Bukankah selain hukum manusia juga ada hukum Tuhan?? Bila Tuhan menghukum, apalagikah arti hidup? Tuhan menciptakan dengan kebaikan, kekuatan dan diberikanNYA segala peluang kebahagiaan, tetapi kemudian Ia menghukum karena yang diciptakan tidak berjalan pada koridor yang ditetapkanNYA. Hukuman manusia sanggup ditepis, lalu hukum Tuhan?? Apa jadinya hidup bila yang memberikan hidup pun sudah membenci kita???
Inilah yang disinyalir oleh Nietzche (filsuf) juga Rollo May (psikolog) yaitu penyakit manusia modern saat ini, walaupun mereka terlihat kaya, sehat dan sukses, namun jauh dalam jiwa mereka itu ”kopong”... ada rongga yang kosong dan itu merongrong kenyamanan hidup mereka.
Walaupun Nietzche ada yang mengatakan ia atheis, lantara karyanya yang cukup kontroversial ”Tuhan Telah Mati”, namun yang sebenarnya dimaksud Nietzche adalah Tuhan telah mati di hati orang2 yang berpenyakit. Orang2 yang mengejar keduniawian, menjadikan jabatan agama atau pemerintahan untuk melegitimasi perbuatan yang mereka sesumbarkan sebagai ”atas nama umat” padahal menyengsarakan umat.
Rongga yang kopong itu adalah jiwa yang kering tidak ada koneksi dengan Tuhan, Allah SWT. Karena jiwa tidak diberikan makanannya, bahwa makanannya adalah nilai2 agama, dan tidak dipenuhi cintanya, bahwa cintanya adalah kepada The Source/Tuhan/ Allah SWT. sehingga walau cinta dan butuh terhadap duniawi: orang, barang, kekuasaan telah terpenuhi, tetap saja jiwa kesepian dan ruh yang di dalam menjerit.
Karena Allah dalam al A’raf 172, telah menjelaskan bahwa, sungguhnya calon embrio itu ketika masih di sulbi ayah, ia sudah berjanji dengan Allah: A Lastu bi rabbikum ? (apakah AKU ini bukan tuhanmu?) mereka menjawab : Betul Engkau Tuhan kami, dan kami menjadi saksi...
Lalu, ketika di dunia ternyata ruh ini jauh dari Tuhannya, disitulah ia akan merasa tersiksa. Ia menjerit karena tidak didekatkan dengan penciptanya yang Maha Menyayanginya lebih dari seisi dunia, ruh merasa dijauhkan dari kekasihnya.
Jiwa yang gelisah dan menderita karena jauh dari Tuhannya inilah yang menjadikan hidup kosong tak bermakna, walau seisi dunia bisa digenggam.
Laksana sorang kekasih yang merindukan cintanya, ingin selalu dekat dan bersama dengan yang dicintainya yang juga mencintainya. Seperti pencinta yang mabuk kepayang karna cintanya yang membuncah, sehingga ia tidak akan berhenti mencari cintanya sampai bisa dimilikinya secara utuh. Seperti itulah keadaan ruh manusia pada hakikatnya, yang selalu merindukan kasih sayang Allah di relungnya. Ruh tidak akan pernah bisa tenang sebelum ia merasakan cintanya pada Allah yang dibalas Allah dengan cintaNya pula.
Namun manusia terlalu dibutakan oleh dunia sehingga hanya mengejar keuntungan dan kebutuhan jasmani, tak sadar ia bahwa rohaninya pun butuh makan. Ketimpangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani inilah yang membawa manusia pada ketidakbermaknaan, berdiri di pinggir jurang kehancuran bathin yang akan menenggalamkan lahiriahnya juga. Sehingga tak sedikit orang bunuh diri, entahkah karena hidupnya terlalu susah dan ia tak menemukan makna positif yang tersirat dibalik penderitaannya, atau justru karena hidupnya begitu berkecukupan namun tidak bermakna karena ia jauh dari Tuhannya.
Hidup yang tidak tenang, merasa dirongrong sesuatu padahal tidak ada yang mengganggunya, gelisah dan kesepian padahal hampir semua kesenangan dunia dimilikinya, adalah salah satu bentuk usaha setan menjauhkan manusia dari hakikat tugas penciptaannya. Dikarenakan ia selalu mentaati setan untuk menimbuk kesenangan dunia hingga lupa bekal untuk akhirat tidak disiapkan, sehingga jiwanya meronta kesakitan memohon kesembuhan yang tak lain adalah ketersambungan yang kuat dengan Sang Penciptanya.
Maka bagi jiwa-jiwa yang gelisah Cuma satu jawabnya: mendekat dan mengingati allah lebih banyak lagi.
Afala bi dzikrillahi tathmainnul quluub?? ...
Bukankah hanya dengan dzikir/mengingati allah maka hati menjadi tenang?
Bila telah terasa hati gelisah, tidak tenang, namun tidak jua mengingati Allah, maka hati itu akan semakin jauh dari Allah, dan bila ia semakin jauh dari Allah maka hanya setanlah yang menjadi temannya. Dan kesudahannya, manusia yang seperti itu akan makin menjauh dari Allah, makin disenangkan pada dunia dan dienggankan memikirkan akhirat. Ini sudah diwanti-wanti oleh Allah dalam az Zukhruf : 24:
”Dan siapa saja yang berpaling dari mengingati Tuhan yang Maha Pemurah, Kami adakan setan untuk menjadi teman dekatnya”
Bila sudah semakin jauh dari Allah yang menghidupkan kita dan menyayangi dan maha mencukupkan kebutuhan kita, hingga akhirnya Allah menyediakan setan sebagai teman dekat kita, hingga kita makin lupa bahwa ada kampung akhirat sebagai tujuan akhir, bahwa di dunia ini hanya sementara dan semua perbuatan di sini akan dihitung nantinya, lalu bagaimanakah hidup ini akan tenang?? Bagaimana pula kita bisa menemukan makna sejati kehidupan bila Sang Pemberi hidup justru dijauhi???
**** hanya renungan... mudah2an bermanfaat***
0 Response to "makna hidup"
Post a Comment