Keromantisan Cinta ‘Ali – Fatimah
Rohmadi,( SABEGI ) Salam Berbagi, Ali bin Abi Thalib ra adalah sepupu Nabi Muhammad saw yang sejak usia 6 tahun diasuh oleh beliau. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ali adalah orang kedua yang masuk islam setelah Khadijah bin Khuwalid ra, yang tak lain adalah istri Rasulullah. Pada saat masuk islam usia Ali diperkirakan 10 tahun. Ali tumbuh dan berkembang dengan didikan langsung dari nabi Muhammad saw. Ali dikenal sebagai pemuda yang berani, dengan akhlak yang sangat terpuji, rendah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu menjaga silaturahmi, alim, dan cerdas.
‘Ali memendam cinta sejak lama dengan Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad saw. Seorang gadis yang mempesona, santun, cekatan, elok paras dan ibadahnya.
Beranjak dewasa, beberapa sahabat – sahabat Rasul meminang Fatimah, namun ‘Ali belum mempunyai keberanian untuk melaukan hal demikian. Yang pertama kali datang meminang Fatimah adalah Abu Bakar as Sidik. Sahabat yang paling dekat dengan nabi, saudagar yang menginfakkan seluruh hartanya pada perang Badr. Abu Bakar tentu lebih pantas dan layak membahagiakan Fatimah, dibanding dirinya yang hanya pemuda miskin yang kala itu dianggap belum cukup matang untuk menikah.
“Inilah persaudaraan dan cinta. Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.” gumam ‘Ali.
Namun tanpa disangka lamaran Abu Bakar ditolak oleh Nabi. Berselang beberapa waktu, datanglah seorang pemuka yang gagah, pemberani yang dapat membuat syetan dan musuh-musuh Allah tunggang langgang, melamar Fatimah. Yang tak lain adalah Umar bin Khattab. Namun kembali takdir berkata lain, lamaran Umar kembali ditolak. Sekaligus membuka kesempatan bagi ‘Ali.
Dalam suatu riwayat mengisahkan bahwa Rasulullah menunggu datangnya wahyu untuk urusan Fatimah. Kemudian Jibril as datang untuk mengabarkan ‘Ali bin Abi Thalib lah yang kelak menikah dengan Fatimah.
Dikisahkan pula seorang teman Anshar pernah berkata kepada ‘Ali, “Mengapa bukan engkau saja yang mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat engkaulah orang yang ditunggu – tunggu oleh Baginda Nabi.”
“Aku hanyalah pemuda miskin? Apa yang bisa aku andalkan?” jawab ‘Ali
“Kami dibelakangmu kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Pada saat itu ada dua pilihan di benak ‘Ali, yaitu melamar Fatimah lalu menikahinya tau meminta Fatimah untuk menunggu sampai ‘Ali siap menikahinya. Dengan segala keterbatasan harta yang ia miliki, ‘Ali mengumpulkan segenap keberanian untuk mempertanggungjawabkan rasa cintanya. Ia sadar bahwa meminta Fatimah menunggunya satu atau dua tahun adalah pilihan yang memalukan.
Kemudian datanglah ‘Ali ke kediaman Rasulullah saw, dengan malu-malu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Ahlan, Wasahlan!” begitulah jawab Rasulullah. Ali seketika bingung dengan maksud jawaban tersebut. Sepulangnya dari rumah Rasulullah, ‘Ali bertemu dengan teman-teman Ansharnya dan mendapat penjelasan bahwa Ahlan berarti “Ya”, Sahlan juga berarti “Ya”!
Sementara pendapat lain menyebutkan alasan Nabi menerima ‘Ali adalah ‘Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti nasab keluarga yang serumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai kenabian, yang selalu belajar di dibawah Nabi, dan banyak hal lain.
Sementara itu ketika Fatimah ditanya mengenai lamaran ‘Ali, Fatimah berdiam dan menunduk, tampak keringat membahasi keningnya, kemudaian bertanya, “Apa pendapat ayah?”
“Allah telah mengizinkannya.” Jawab Rasulullah.
“Aku ridho dengan apa yang diridhoi Allah dan Rasulnya.” Fatimah masih menundukan kepalanya.
Atas saran Rasulullah ‘Ali menjual baju perang berwarna yang merupakan pemberian Rasulullah (sebab selain pedang dan baju perang tak ada lagi yang ‘Ali punyai) seharga 470 dirham. Kemudian ia serahkan seluruhnya kepada Rasulullah, dan diserahkan kepada Bilal untuk keperluan pernikahan.
Pernikahan mereka dilaksanakan setelah Perang Badr, sekitar tahun kedua Hijriah, bulan Zulhijjah. Acara pernikahan berlangsung sederhana dan khidmat, saat itu usia ‘Ali diperkirakan 18 tahun, ada pula pendapat yang menyatakan usia ‘Ali saat itu 25 tahun (Allahu ‘Alam), sementara usia Fatimah diperkirakan 14 atau 15 tahun. Nabi melatakkan tangan Fatimah diatas tangan ‘Ali dan bersabda, “Wahai ‘Ali, Fatimah adalah istri yang baik untukmu.” Kepada Fatimah, Nabi bersabda, “Wahai Fatimah, ‘Ali adalah suami yang baik untukmu.”
Setelah menikah mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang awalnya akan disumbangkan sahabat-sahabat kepada ‘Ali, namun Rasulullah bersikukuh rumah tersebut harus dibeli dengan cara dicicil. Di dalam rumah tersebut terbentuklah cermin keluarga yang jauh dari kebodohan, penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.
Setelah pernikahan terungkap bahwa sejak lama pula Fatimah menaruh hati pada ‘Ali. Dalam suatu riwayat dikisahkan Fatimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah suatu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”. ‘Ali pun bertanya mengapa ia tetap mau menikah dengannya, apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum, Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”
‘Ali dan Fatimah dikarunia 4 orang anak, mereka adalah, Hasan, selang setahun kemudian lahirlah Husein, Zainab, dan Ummu Kultsum. Hidup dalam kesempitan tetap membuat ‘Ali menjadi penderma. Sementara keagungan dan kemuliaan Fatimah membuatnya tidak pernah mengeluh terhadap suaminya.
Ibnu Syahr Asyub berkata; Suatu hari ‘Ali bertanya kepada Fatimah, “Adakah sesuatu yang bisa dimakan di rumah? Fatimah menjawab, “Demi Allah, sudah dua hari ini aku dan anak-anakku menahan lapar.” ‘Ali pun terkejut, “Mengapa engkau tidak memberitahuku supaya aku bisa menyediakan sesuatu untuk kalian?” Fatimah menjawab, “Aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu darimu yang tidak bisa kau penuhi.” Ali segera meninggalkan rumah dan meminjam uang satu dinar dari seseorang untuk keperluan rumah. Di tegah jalan, beliau berpapasan dengan seorang sahabat yang terlihat pucat dan kebingungan. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu gelisah seperti ini?” Dia menjawab, “Aku tak mampu mendengar suara tangis anak-anakku yang kelaparan.” Mendengar itu, Ali menyerahkan uang satu dinar tadi kepada sahabat tersebut.
Begitulah romantisme cinta Fatimah dan ‘Ali. Sebelum Allah menyatukan mereka dalam pernikahan, cinta ‘Ali dan Fatimah adalah kebisuan semesta, terjaga dan tertutup rapat kerahasiaannya. Konon saking rahasianya, setan pun tidak tahu menahu soal cinta diantara mereka. Subhanallah. Hingga muncul keberanian ‘Ali untuk melamar Fatimah setelah sebelumnya lamaran kedua sahabatnya ditolak. Kemudian bersama-sama mewujudkkan rumah tangga yang diridhoi Allah, dalam kesempitan apapun. Hingga tiba waktunya berpisah sementara, Fatimah wafat beberapa bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Pada usia 27 tahun meninggalkan keempat anak mereka yang masih kecil. Sebelumnya kematiannya, Fatimah sempat berwasiat kepada ‘Ali untuk merahasiakan tempat pemakamannya kelak kepada siapapun.
( Sumber : tekatekimalam.wordpress.com )
0 Response to "Keromantisan Cinta ‘Ali – Fatimah"
Post a Comment