Aceh dan Kegelapan Sejarah



Pengalaman Nurdin AR, Kepala Museum Negeri yang kebingungan menunjuk hasil kebudayaan Aceh ketika ditanya seorang turis asing, sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (24/2/07), dapat dipastikan mewakili pengetahuan masyarakat Aceh tentang sejarah negerinya.
Banyak hal tidak diketahui. Misal yang sederhana, tidak mampu secara persis kita tunjukkan dimana letak dan bagaimana sesungguhnya bentuk istana Darud-Dunia yang dibanggakan itu. Juga tidak pernah secara sempurna kita ketahui silsilah dan perjalanan sejarah kesultanan.
Tatkala menyebut Aceh, serta merta terbayang nama besar Sultan Iskandar Muda dengan kejayaannya. Namun mayoritas masyarakat belum memiliki pengetahuan secara mendetil seluk beluk sejarah Iskandar Muda dan kesultanan Aceh. Sangat jarang bahkan sulit menemukan referensi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan – secara akademik – tentang bagaimana situasi pemerintahan era kesultanan Aceh, termasuk anatomi konflik yang melingkupinya.
Sejarah Aceh pada umumnya diketahui melalui tradisi lisan dalam bentuk cerita dari mulut ke mulut. Juga melalui kesenian seperti hikayat dan penggalan-penggalan syair dalam berbagai macam pertunjukan seumpama seudati, saman, rateb-meuseukat, dan sebagainya. Namun semua itu pada umumnya dalam area tradisi lisan yang masih memungkinkan terjadi pembelokan atau terbelokkan dari aslinya. Lisan sulit terjaga sehingga tidak memiliki kepastian ilmiah serta akan kesulitan jika dihadapkan pada pembuktian empirik. Masih dapat dihitung dengan jari buku-buku yang mengetengahkan sejarah Aceh, dan kebanyakan tidak melalui penelitian sebagaimana mestinya.
Kita mengenal sederetan nama penting lain yang mengisi masa lalu Aceh, diantaranya Malikussaleh, Sultan Iskandar Tsani, Ratu Safiatuddin, Syech Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Abdurrauf Syiah Kuala, dan Nuruddin Ar-Raniry. Kita menghafal nama-nama itu, tapi tidak mampu menerangkan mendetil peranan mereka dalam perjalanan sejarah Aceh.
Tragedi Fansuri
Salah satu kegelapan sejarah yang belum tuntas terungkap adalah tragedi yang menimpa Syech Hamzah Fansuri beserta para pengikutnya. Ratusan tahun kita terbelenggu oleh klaim yang menyatakan Fansuri membawa ajaran sesat karena mengajarkan paham Wujudiyah.
Menurut sumber-sumber sejarah, klaim sesat tersebut difatwakan oleh Nuruddin Ar-Raniry, yang menjadi Mufti Kerajaan semasa Sultan Iskandar Tsani. Oleh karena ajarannya sesat, maka kitab-kitab karya Fansuri dibumihanguskan. Dan kita pun terperangkap pada opini yang menyalahkan Fansuri, padahal belum pernah mengetahui bagaimana isi ajaran itu secara substansial.
Menurut Nab Bahany AS pada tulisannya, “Hamzah Fansuri Vs Ar-Raniry dan Wujudiyah” dalam buku Kumpulan Esai Takdir-Takdir Fansuri (DKB, 2002), Hamzah Fansuri hidup dalam masa permulaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai ulama dan ahli tasawuf, ia mempunyai murid yang amat banyak. Salah satu murid terbesar Hamzah ialah Syech Syamsuddin As-Sumatrani yang kemudian menjadi pelanjut ajaran Hamzah, sekaligus diangkat Iskandar Muda menjadi Qadhi kerajaan, Malikul Adil (orang kedua dalam kerajaan). Demikian Sultan Iskandar Muda mempercayai Syamsuddin murid Hamzah yang beraliran Wujudiyah.
Jika apa yang dikatakan Nab Bahani dari mengutip berbagai sumber itu adalah benar, maka wajar bila muncul pertanyaan kenapa tuduhan sesat dialamatkan hanya kepada Hamzah Fansuri dan para pengikutnya, sedangkan Sultan Iskandar Muda kita puja puji sebagai raja paling agung dan mulia? Bukankah Sultan Iskandar Muda telah memberi tempat terhormat kepada Syamsuddin As-Sumatrani sebagai Qadhi Malikul Adil dalam kerajaan Aceh? Tidakkah hal ini menunjukkan Iskandar Muda juga sebagai salah satu pengikut ajaran Hamzah Fansuri melalui Syamsuddin As-Sumatrani, bahkan telah ikut mengantarkan kerajaan Islam Aceh pada puncak kegemilangannya? Konon, ada pula yang menyebutkan Hamzah Fansuri masih memiliki pertalian darah dengan Malikussaleh, raja pertama yang memerintah Kerajaan Pase. Sedangkan Ar-Raniry berasal dari India.
Banyak pertanyaan belum terjawab, umpama, apakah benar Syech Hamzah Fansuri dihukum serta kitab-kitabnya dibumihanguskan karena membawa ajaran sesat? Bagaimana Syech Nuruddin Ar-Raniry mengkomunikasikan soal Wujudiyah dan mengklasifikasikan permasalahan antara Fansuri dan Iskandar Muda, sehingga Fansuri dituduh zindik (sesat) sedangkan Iskandar Muda diagung-agungkan? Bagaimana situasi politik kerajaan pada masa itu sehingga Syech Abdurrauf Syiah Kuala memilih sikap diam dan tetap berada di Makkah memperdalam ilmu pengetahuan Islam? Bahkan sangat ironi ketika tidak ditemukan catatan yang pasti dan akurat tentang dimana kedua tokoh ini (Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry) mengakhiri hidupnya.
Berbagai pendapat bermunculan. Ada yang mengatakan Nuruddin Ar-Raniry pada masa kemudian kembali lagi ke India dan berada di sana hingga akhir hayat. Sedangkan Hamzah Fansuri menurut satu pendapat disebutkan mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dan dimakamkan di Ujong Pancu – Aceh Besar, namun ada pula yang mengatakan mengakhiri hidupnya secara wajar dan dimakamkan di Singkil.
Tragedi Meurah Pupok
Seperti kebanyakan kisah kerajaan, Aceh pun memiliki banyak pengalaman tragis. Diriwayatkan bahwa Sang Putra Mahkota, Meurah Pupok, harus mengakhiri hidupnya di ujung pedang ayahanda tercinta dan agung, Sultan Iskandar Muda. Meurah Pupok dituduh telah berbuat zina. Perbuatan yang sangat mencoreng kehormatan kerajaan. Maka kepada si pelaku sekalipun dia anak raja, harus dihukum sebagai ganjaran atas perbuatannya. Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat hana pat tamita, adalah ungkapan filosofis yang beranjak dari peristiwa penghukuman oleh Sultan terhadap Putra Mahkota. Adat harus ditegakkan meski anak harus dikorbankan. Sebab menegakkan adat identik dengan menegakkan hukum Islam. Hukom ngen adat lage zat ngen sifheut.
Tuduhan berbuat zina dialamatkan kepada Meurah Pupok, namun tidak umum diketahui bagaimana proses peradilan berdasarkan hukum Islam terhadapnya. Tidak jelas siapa nama empat orang saksi yang dihadapkan ke muka pengadilan. Siapa saja yang bertindak sebagai hakim yang mengadili kasus ini. Sebab walaupun raja adalah penentu tertinggi, tapi sebagai sebuah kerajaan Islam, tentulah ketentuan-ketentuan syari’at dijunjung tinggi.
Pengetahuan tentang proses peradilan Islam pada kerajaan Aceh sangat penting. Apalagi sekarang ini Nanggroe Aceh Darussalam telah memiliki landasan yuridis UU Nomor 11 Tahun 2006 yang memberi ruang cukup luas bagi penerapan Syari’at Islam di Serambi Makkah. Pengetahuan dimaksud dapat dijadikan referensi dalam penyusunan berbagai Qanun Aceh. Oleh karena itu, study terhadap sejarah pelaksanaan hukum Islam pada masa kerajaan Aceh jauh lebih penting dibandingkan program studi banding Anggota DPRD ataupun eksekutif untuk melihat pelaksanaan hukum Islam di negara lain.
Sejarah Sebagai Pelajaran
Menguak sejarah adalah berbicara tentang masa lalu, untuk dijadikan pelajaran guna merumuskan masa depan yang lebih baik, bukan untuk larut dan terbelenggu dengan masa lampau. Maka sepahit apapun sejarah harus dikemukakan apa adanya dengan benar. Tidak perlu dibelok-belokkan.
Membuka kebenaran sejarah jangan dimaknai sebagai upaya menggetarkan luka lama dan melahirkan dendam, tapi justru harus disikapi secara dewasa untuk adanya rekonsiliasi sehingga tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan. Allah saja melalui kitab suci Al Quran mengetengahkan sejarah, antara lain secara detil memaparkan bagaimana keangkuhan Fir’aun di Mesir yang akhirnya tenggelam di Laut Merah. Juga Nabi Yunus yang ditelan ikan besar akibat meninggalkan umatnya. Serta Kapal Nuh yang menyelamatkan manusia dari banjir besar, dan lain-lain.
Aceh yang sedang berbenah diri dalam suatu kebangkitan, hendaknya dapat menelusuri kembali sejarahnya dengan baik dan benar. Banyak yang belum kita ketahui dan pahami. Oleh karena itu, penelitian yang objektif dan terbebas dari berbagai pretensi menjadi penting dilakukan.
Seminar Internasional tentang Aceh dengan biaya Rp 1,7 Milyar beberapa waktu lalu, hendaknya memiliki tindak lanjut terutama terkait dengan penelitian guna meluruskan berbagai bias pemahaman. Termasuk meluruskan sejarah tragis Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry, juga tragedy Meurah Pupok, sang Putra Mahkota yang menemui ajal di ujung pedang ayahandanya Sultan Iskandar Muda.
Setidak-tidaknya dua kasus ini dapat dijadikan momentum penting pelurusan sejarah, sebab ia dapat menguraikan benang kusut lain yang amat prismatis latar belakangnya bahkan telah melukiskan gambaran Aceh berikutnya secara tragis dan berdarah-darah. Semoga lurusnya sejarah, akan mampu mengajari kita menata hari esok yang lebih baik serta meraih peradaban yang lebih tinggi.

0 Response to "Aceh dan Kegelapan Sejarah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel