Jejak Badut di Kota Hujan
Ilustrasi Foto melalui situs, catatanbaskoro.wordpress.com karena dokumentasi hilang. |
Sesapan kopi mengawali segar udara pagi itu. Tepat pukul 06.00, Rian (23) sibuk mengemasi perlengkapan badutnya. Demi mengganjal perut hingga tengah hari nanti, sebungkus nasi uduk pun rupanya ia santap. Tak hanya sendiri, dalam hunian petak itu pria berperawakan tegap dan tak terlalu tinggi itu tinggal bersama kakak sepupu, serta rekan badut lainnya.
Sindang Barang Jero, menjadi titik tolak keberangkatan untuk mengais rupiah di jalan. Kali ini ia akan menghibur orang-orang di Lapangan Sempur Bogor. Setiap Sabtu dan Minggu tempat tersebut merupakan sasaran pertama yang disinggahinya. Berikut doa serta harap yang terpanjat, kuda besinya pun siap melaju.
Meski pekerjaan ini terbilang sederhana, nyatanya Rian dan kawan-kawan tetap memperhartikan kebersihan dan kerapian kostum. Seperti malam sebelumnya. Usai melepas penat di tengah malam, ia menyempatkan untuk mencuci sebagian kepala badut yang kotor. Sementara, teman yang lain ada yang beristirahat sambil mengopi, mengobrol santai, dan ada pula yang memperbaiki salah satu sepatu badut.
Mereka memang tinggal berkelompok. Merajut asa setiap harinya berpacu dengan bising kendaraan serta debu di jalanan. Sesekali tawa gadis kecilyang ingin foto bersama jadi penghibur di tengah pengapnya kostum. Goyang kiri, goyang kanan sambil melambai tangan. Berlengkapkan dengan sebuah kotak musik, si badut gemas langkah sana dan sini. Diseling lagu dan irama dangdut kekinian maupun era 80-an.
Tak sedikit jua keluhan yang terdengar. Justru dengan peluh keringat bercururan, dengan penuh syukurnya Rian merasa cukup atas rezeki yang diperolehnya kala itu. Berada dalam kostum badut selama tiga puluh menit, sangat tidak mudah. Tapi begitulah perjuangan. Rian harus kerja keras, agar sebisa mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tidak sampai di situ. Siang hari, sekelompok badut itu termasuk Rian pun mulai menyambangi sekitar trotoar jalan Bangbarung. Ah, ya. Sudah seperti biasa mereka berteduh dari terik, beristirahat, dan mengobrol layaknya keluarga di tempat itu. Setiap harinya, ada tiga sampai lima badut yang diturunkan di daerah tersebut secara bergantian. Biasanya mereka istirahat sejenak, setiap lima belas menit sekali.
Menurut Rian, bekerja sebagai badut merupakan pilihan setelah masa kontrak kerjanya habis. "Ya, daripada jadi pengangguran, nyari pekerjaan juga sulit. Saya lulusan SMA tahun 2015." Meski begitu, sisi lain Rian mengatakan ia bekerja ini sekaligus agar bisa menghibur orang. Setiap hari rata-rata penghasilannya yaitu seratur ribu rupiah.
"Seratus ribu itu untuk dibagi dua. Lima puluh untuk A Abuy, lima puluh untuk saya. Tapi itu sudah uang bersih. Makan sama rokok dapet lagi dari A Abuy," jelasnya, sambil bersiap mengenakan kepala badut.
Sapaan Abuy alias Budi, ialah sosok yang mengarahkan para badut di lapangan ini. Tak lain, ialah yang mengawali profesi badut di kawasan Bangbarung. Hal itu mulanya terinspirasi dari seorang teman yang juga lebih dulu bekerja sebagai badut di dekat Jalan Juanda, Bogor.
Bermodalkan uang satu juta tiga ratus ribu rupiah, Abuy bisa membeli satu kostum badut bekas. Kurang lebihnya selama sepuluh tahun kerja badut dilakoninya. Namun kini, ia mengaku sudah tidak turun lapangan. Kini tugasnya hanya bantu mengarahkan anak buahnya yang berjumlah delapan orang dan mengelola pendapatan harian.
Menarik dari Rian dan Abuy yang melakoni sebagai "Badut Pinggir Jalan". Semoga langkah mereka selalu dipenuhi ikhlas, sabar dan syukur ya. Apapun pekerjaannya, selagi itu halal, tetap semangat Kawan!
0 Response to "Jejak Badut di Kota Hujan"
Post a Comment