Sebuah Catatan Sejarah "Darurat Militer Aceh"
Setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menolak ultimatum pemerintah Indonesia untuk menerima otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indnonesia (NKRI), serta membubarkan GAM dan Teuntra Nanggroe Aceh (TNA) sayap militer GAM, maka Darurat Militer (DM) diberlakukan untuk Aceh.
Status DM Aceh dinyatakan pada 18 Mei 2003 melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2003. Kepres ini dipersiapkan oleh Menteri Pertahanan Matori Abdul Dajil ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ini juga imbas dari gagalnya Tokyo meeting.
Status darurat militer untuk Aceh itu diumumkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono.
Konsekuensinya 30.000 tentara dikirim ke Aceh bersama 12.000 polisi. Ini merupakan pengerahan pasukan dan armada perang besar yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melumpuhkan GAM dan sayap militernya TNA. Maka perang terus berkecamuk di seantero Aceh.
Saban hari truk berisi pasukan TNI keluar masuk kampung dan lalu lalang di jalan. Pesawat tempur juga sering melintas di langit Aceh, menggempur gunung dan perbukitan yang diduga sebagai tempat markas GAM.
Aceh benar-benar menjadi daerah perang. Aceh telah menjadi daerah di bawah kekuasaan militer.
Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya ditetapkan sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD).
Pengangkatan Endang Suwarya sebagai Pangdam Iskandar Muda sekaligus penguasa PDMD di Aceh sudah dipersiapkan pemerintah Indonesia sembilan hari sebelum DM diumumkan.
Saat itu Pangdam Iskandar Muda masih dijabat Mayjen Djali Yusuf, tapi putra Aceh itu dicopot dari jabatannya oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dengan alasan memasuki masa pensiun.
Padahal Djali Yusuf baru pensiun pada September 2003. Saat Djali Yusuf sebagai Pangdam, Endang Suwarya masih berpangkar Brigadir Jenderal (Brigjen) dan menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Iskandar Muda jabatan yang hanya dijabatnya selama dua bulan. Saat diangkat menjadi Pangdam, Pangkat Endang Suwarya langsung jadi Mayjen.
Endang Suwarya bukanlah orang baru di Aceh. Sejak masih berpangkat kolonel pada April 2001 dia telah menjadi Komadan Korem 012/Teuku Umar.
Sebagai penguasa darurat di Aceh, Endang Suwarya langsung melakukan pembatasan - pembatasan bagi media. Ia melarang wartawan yang meliput di Aceh mewawancarai GAM.
Jadilah berita-berita yang muncul di media hanya berisi pernyataan sepihak dari media center PDMD. Apalagi berira-berita terkait insiden atau perang di daerah. Wartawan yang melakukan liputan juga dibekali dengan kartu pengenal khusus yang dikeluarkan PDMD.
Wartawan yang tidak memiliki kartu identitas tersebut dilarang mengikuti berbagai konferensi pers yang digelar media center PDMD. Selain itu, Endang Suwarya juga melarang wartawan memberitakan kode khusus atau sandi pasukan dan prosedur operasi TNI, rencana penyerangan, gambar instansi militer tertentu, serta infomasi intelijen terkait prosedur dan teknis perang. Ia juga melarang wartawan untuk menilis informasi dari GAM yang disebutnya sebagai propaganda musuh.
Yang lebih ironis lagi adalah Endang Suwarya selaku penguasa PDMD di Aceh mengeluarkan kebijakan identitas khusus bagi rakyat Aceh melalui KTP merah putih.
Kebijakan ini dikeluarkan pada Juni 2003. Seluruh rakyat Aceh harus memiliki KTP ini, jika tidak maka dianggap GAM. KTP ini merupakan KTP yang sangat beda dengan KTP umumnya di Indonesia karena ukurannya lebih besar yakni sekitar 13 kali 10 centimeter.
Di bagian depan berwarna merah putih dengan lambang burung garuda. Sementara bagian belakang berisi informasi data diri pemegang KTP tersebut.
Untuk mendapatkan KTP itu juga harus melalui birokrasi yang panjang, mulai dari surat keterangan dari keuchik (kepala desa), kemudian ditandatangani oleh camat, setelah itu harus diverifikasi oleh Komandan Koramil (Danramil) dan Komandan Polisi Sektor (Kapolsek) setempat.
Jadi satu KTP itu ditandatangani oleh tiga instansi terkait yakni Danramil, Kapolsek dan Camat. Bila terjadi sweeping oleh aparat keamaan, bagi yang tidak memiliki KTP merah putih ini akan berakibat pada penangkapan, bahkan tak jarang hilang hilang nyawa.
Pemerintah Indonesia memberikan melalui UU nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya yang menjadi dasar penerapan DM di Aceh, memberikan sekitar 30 hak kepada PDMD di Aceh yang sebagiannya dinilai melanggar HAM.
Mulai dari berita yang harus disensor sampai remiliterisasi lembaga/badan pemerintah. Malah Mendagri Hari Sabarno saat itu menyatakan bahwa 30 hingga 40 persen kinerja pemerintah di Aceh sudah di bawah kontrol TNI dalam upaya operasi pemantapan kinerja pemerintahan.
Sumber:steemit.com
Penulis: Iskandar Norman
0 Response to "Sebuah Catatan Sejarah "Darurat Militer Aceh" "
Post a Comment