New Normal, E Modul




Oleh: Dudung Nurullah Koswara
(Guru SMA dan Ketua PB PGRI)

Saat ini sedang hangat diskusi di dunia medsos terkait new normal. Bagi saya, new normal tidak terlalu bermasalah terkait menormalkan layanan publik, pemerintahan, dan ekonomi. Ada satu new normal yang menurut saya harus hati-hati. Apakah itu? Terkait new normal di dunia pendidikan.

Dunia layanan publik bidang pemerintahan, ekonomi, ibadah, dan industri yang melibatkan orang dewasa silahkan di new normal. Bidang pendidikan yang melibatkan anak didik, tunggu dulu! Saya lebih setuju anak tetap di rumah dengan pola daring yang diperbaiki. Harus ada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang lebih efektif, minimal sampai Desember.

Hadirnya kurikulum darurat harus dipertimbangkan. Segera Kemdikbud, para pakar pendidikan, organisasi profesi, praktisi pendidikan terpilih mengadakan rembuk nasional terbatas atau FDG istimewa. Ini demi menyelamatkan anak didik. Saat ini sedang wabah Covid-19. Kita sedang berhadapan dengan papar penyakit, sehat adalah utama bagi anak didik.

Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini? Pemerintah jangan “mengorbankan” anak didik untuk masuk sekolah. Ingat pesan Sekolah Ramah Anak (SRA)! Tidak ada spekulasi kesehatan untuk anak didik. Penerapan prosedur kesehatan, shift belajar, mengurangi jam belajar dan segala ikhtiar di luar rumah tidak akan efektif. Anak akan berkerumun dan melintasi sejumlah ruang publik.

Mengendalikan anak tidak ada yang lebih efektif selain di rumah. Saat ini anak didik harus dijauhkan dari paparan wabah. Rumah tetap menjadi area yang terbaik bagi anak didik. Anak tidak harus masuk sekolah saat wabah, melainkan sekolah yang harus masuk rumah. Caranya? Kurikulum darurat harus dibuatkan. Anak dibuat belajar di rumah.

Bila PJJ dianggap tidak efektif, wajar karena kita masih gagap dan transisi. Ke depan segera pemerintah menciptakan kurikulum darurat “Sekolah Masuk Rumah”. Jangan terbalik, “Anak Masuk Sekolah”. Hari ini anak sudah aman di rumah. Spekulasi tingkat tinggi bila anak digiring kembali ke sekolah. Kecuali satu sekolah hanya 20 anak didik. Satu sekolah ada yang memiliki ribuan anak didik.

Pola pendidikan kita ada yang serupa sekolah terbuka, ada pola pendidikan persamaan paket B, paket C. Bahkan ada pola homeschooling dan pola pendidikan virtual. Nah pola pendidikan seperti ini yang harus diduplikasi sesuai kondisi wabah saat ini. Sekali lagi, jangan spekulasi tanggal 15 Juni anak masuk sekolah. Nilai seorang anak saat ini adalah nilai keselamatannya, bukan hak belajarnya.

New normal kenakan pada orang dewasa terkait upaya menghidupkan layanan publik, ekonomi, peribadatan dan kepentingan strategis lainnya. Anak didik harus dijaga bersama di tempat paling aman bagi dirinya. Kepentingan kesehatan anak adalah utama. Belajar adalah kepentingan lanjutan yang bisa direkayasa tanpa harus berspekulasi “mendampingkan” anak dengan Covid-19. Tidak ada pola “mendamaikan anak dengan corona” apa pun namanya! Dalam bahasa iklan, “Buat anak kok coba-coba?”

Wabah Covid-19 bagaikan Perang Dunia ke-3. Dalam perang dunia, anak tidak pernah dibiarkan melintasi ruang publik, apalagi melintasi titik-titik medan perang. Anak harus dilindungi di tempat paling aman. Hanya rumah yang paling aman. Pemerintah harus membuat pola belajar baru yang lebih efektif. Pola belajar mandiri yang memudahkan anak didik, guru, dan orangtua terlibat.

Pola E-modul, atau pola pendidikan virtual berpanduan yang dikendalikan para guru harus dipertimbangkan. Pada prinsipnya, saat wabah masih merah, bukan prioritas belajar yang utama, melainkan prioritas kesehatan anak yang utama. Anak sakit, dirawat, dan wafat karena regulasi yang salah akan menjadi dosa besar sejarah peradaban manusia. Anak kurang lancar belajar karena diproteksi dari wabah adalah dosa kecil.

Hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) melalui penyelenggaraan Belajar dari Rumah sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, ini sudah benar. Bila dalam regulasi selanjutnya anak didik harus masuk sekolah, maka “Hak Sehatnya” akan tercerabut. Hak sehat, hak terhindar dari wabah lebih utama daripada hak belajarnya.

Ungkapan Mendikbud Nadiem Makarim nampak gagap. Ia mengatakan “Mohon menunggu dan saya belum bisa memberikan statement apa pun untuk keputusan itu. Karena dipusatkan di gugus tugas. Mohon kesabaran. Kalau ada hoax-hoax dan apa sampai akhir tahun, itu tidak benar.” Nadiem nampak tidak sigap dan “menunggu”, padahal Ia sering mengatakan “Jangan tunggu aba-aba” kalau ingin lakukan lompatan atau penyelamatan dunia pendidikan.

Menarik ungkapan Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi yang mengatakan, “Mendikbud tidak meminta masukan dari PGRI, orang sudah pinter sendiri kementeriannya. Jangankan PGRI, para ahli juga tidak diminta pendapatnya, daerah juga. Padahal yang dibutuhkan adalah menghimpun pikiran.” Ahaa, biasanya pejabat yang “jaga jarak” dengan PGRI pasti terantuk. Mengapa? Di antaranya tak membumi dengan tuntutan realitas guru.

sumber : suaraguruonline


0 Response to "New Normal, E Modul"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel