STRESS ? DO YOU?????
Mengapa harus stres?
Kondisi kehidupan saat ini memang berpotensi memicu timbul dan meningkatnya stres. Bagaimana tidak, mulai dari bangun pagi sampai tidur kembali selalu ada saja permasalahan yang dihadapi. Apakah itu persoalan keseharian di lingkungan, seperti macet dan jalan rusak, sampai ke persoalan yang ruang lingkupnya menyempit, seperti permasalahan di dunia kerja, internal keluarga hingga hubungan pribadi.
Sebenarnya, apa sih stres itu?
Secara sederhana, Tay Swee Noi dan Peter J. Smith, pasangan suami istri psikolog yang telah meneliti tingkat stres di Asia, dan hasil penelitiannya dibukukan tahun 1990, mengajak kita memahami arti stres dari ilmu fisika. Dalam dunia fisika, stres fisik timbul bila suatu kekuatan atau tekanan ditimpakan pada suatu obyek. Para insinyur mengukurnya dengan menghitung jumlah tekanan atau kekuatan yang ditimpakan kepada obyek. Mereka juga menghitung ”toleransi stres” yakni besarnya tekanan atau kekuatan yang mampu DITAHAN obyek sebelum akhirnya obyek tersebut melengkung atau PUTUS. Beberapa benda ada yang lentur dan elastis sehingga ketahanannya lebih baik, dalam arti tidak mudah melengkung atau bahkan putus. Ini yang dijelaskan pasangan psikolog ini di halaman ketiga dalam bukunya Managing Stress : A Guide to Asian Living.
Bila ini kita analisa dan dikaitkan dengan stres psikis, bisa dipahami bahwa, toleransi stres adalah kekuatan jiwa, hati dan fikiran (karena ketiga unsur tersebut membentuk sistem rohani, selain ruh tentunya) dalam menerima tekanan dari tuntutan hidup dan menahannya/menanggungnya. Apabila syaraf di otak, perasaan di hati dan kestabilan jiwa mulai terganggu oleh beban hidup, maka disitulah stres mulai muncul, karena toleransi stresnya telah berada di ambang batas.
Mengapa stres bisa muncul?
Menurut pasutri psikolog ini, mengatakan bahwa stres sebenarnya muncul dari dua kondisi, yaitu kekurangan stimulus (rangsangan) dan kelebihan stimulus.
Stimulus/rangsangan apa yang dimaksud disini?
Rangsangan yang bisa merangsang daya psikis dan daya fisik untuk berfungsi optimal. Bisa juga difahami sebagai tuntutan dan tantangan hidup. Jadi, bila seseorang itu tidak memiliki tuntutan sama sekali dalam hidupnya, ia akan stres. Bila sama sekali tidak ada suatu hal yang bisa menyibukkannya secara sehat maka keadaan itu akan membuatnya stres. Stres tidaklah selalu diekspresikan dalam bentuk pusing, marah-marah atau kondisi umum lainnya yang banyak diperlihatkan orang. Seorang pengangguran, atau orang yang hanya menghabiskan waktu di rumah tanpa aktifitas berarti, atau melakukan aktifitas yang monoton dan berulang-ulang, termasuk orang yang tidak banyak berhubungan dengan orang lain, tidak banyak bersentuhan dengan ”dunia” lain yang jauh ”di luar dirinya”, atau orang-orang yang hidupnya terlalu (benar-benar terlalu) senang, tidak perlu perjuangan apapun, adalah orang-orang yang kekurangan rangsangan, mereka ini rentan terhadap stres. Orang-orang seperti ini akan cepat dilanda kebosanan, kesal, muak, mungkin kesepian, kejumudan, karena ia tidak dihadapkan pada tuntutan apapun, sehingga dalam hidupnya tidak ada sesuatu yang menantang. Seorang yang telah begitu kaya raya, berhasil dalam karir, berkeluarga dan tidak ada kekurangan atau problem dalam keluarganya, kadang dilanda kesepian dan merasa tidak berartinya hidup, unmeaningful life. Ini juga bisa memicu stres.
Sebaliknya, kondisi kelebihan rangsangan, adalah kondisi dimana ada aneka ragam tuntutan yang dihadapi oleh seseorang, dan ia ditantang untuk menyelesaikan semua tuntutan itu dalam waktu singkat atau bahkan hampir bersamaan, sehingga ia merasa kewalahan, mana yang harus diprioritaskan. Atau mungkin juga karena ada masalah yang membebani hati dan fikirannya hingga mengganggu kinerja dan kemampuan berinteraksi. Kondisi seperti ini juga bisa mengakibatkan orang merasa bosan: bosan karena sering merasa dikejar-kejar tugas/kerjaan, bosan dengan masalah yang tidak kunjung selesai (mentally illnes), pun orang ini bisa merasa muak: muak dengan hidup yang baginya melelahkan, sehingga ia kesal dengan kesibukannya yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari pilihannya sendiri, atau lebih parah lagi, ia mungkin merasa bosan dan kesal menjadi dirinya yang sesibuk itu. Atau kesal dengan problematika hidup yang baginya ”seharusnya tidak perlu terjadi”, atau kadang sebagian orang mengatakan ”kenapa harus saya yang dapat masalah ini, musibah ini?” Penerimaan diri yang terganggu, tidak bisa kompromi dengan kesibukan yang tinggi, atau problem, bahkan musibah dan bencana yang terjadi, sangat memungkinkan seseorang terserang stres.
Jadi, kondisi yang memicu stres itu bisa digambarkan seperti huruf U. Kedua sisi dari huruf U ini adalah kondisi yang berpotensi menimbulkan stres. di satu sisi kelebihan rangsangan dan di sisi lain kekurangan rangsangan.
ini yang dijelaskan oleh Mr. And Mrs. Smith Psycholog tersebut.
Lalu bagaimana respon kita sebaiknya?
Pandangan saya, bila dikaitkan dengan analisa batas toleransi stres, bahwa individu yang stres itu berarti ia tidak kuat menangung beban hidupnya, jelas dari sini kita bisa menemukan jawabannya untuk mengatasi stres, yaitu AJARAN AGAMA.
Bagi kita yang notabene muslim, maka GBHH (garis-garis besar haluan hidup) kita adalah Al Qur’an dan hadits. Bukankah sudah dikatakan Nabi SAW, sebagai wasiat beliau sebelum meninggal: telah aku tinggalkan untuk engkau (engkau maksudnya umat nabi Muhammad SAW) dua hal, yang bila engkau berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat. Dua hal itu adalah al Qur’an dan hadits. NAH, sekarang, kita merujuk kepada ayat al Qur’an, di surat al Baqarah, ayat terakhir (286) dikatakan: laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa... yang berarti tidaklah memberatkan Allah akan diri (seseorang) kecuali (sesuai) batas kemampuannya.
Dari sini bisa kita pahami, bahwa ketika Allah memberi kita cobaan, musibah, entahkah itu kehilangan orang yang disayangi, pekerjaan, materi, atau kehilangan hope n chance terhadap sesuatu, sebenarnya kita pasti mampu menghadapinya, karena semua itu diturunkan Allah sesuai kadar kekuatan jiwa kita. Allah tidak pernah salah dalam bertindak, Allah pun tidak pernah menyalahi kata-katanya sendiri. Tidak seperti manusia yang bisa berubah-ubah pendirian, dan memutarbalikkan omongan. Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke golongan yang demikian, amiinn.
Lalu, kalau sang Khalik yang menciptakan kita telah menjamin, bahwa kita tidak akan diberi cobaan di luar batas kemampuan, mengapa sekarang, terkadang kita merasa : ” duuhh... kenapa hidup saya berat banget yaa.. kenapa cobaan ke saya ga pernah berhenti yaa.. kenapa masalah saya sesusah ini?, bagaimana saya harus menghadapi? Saya ga kuat lagi hidup seperti ini.... ” pernahkah kita bicara semacam ini? Pada orang lain atau hanya sekedar memelas dalam hati? Padahal Allah sudah tetapkan, apapun cobaan yang datang pastilah sesuai kemampuan hamba yang menerima. Terus terang, saya pernah seperti ini, Andapun mungkin pernah, ini manusiawi, asalkan jangan berulang-ulang. Jadi.. gimana donk?
Itu berarti, there is something wrong between us and GOD. Kenapa something wrong nya terjadi antara kita dengan Tuhan? Apakah tidak cukup dengan mengubah mindset menjadi lebih rasional dan optimis? Apakah tidak cukup dengan curhat ke sahabat, menyibukkan diri, atau konsultasi ke psikiater? Bagi saya, TIDAK CUKUP DENGAN ITU! What’s the reason? Jawabannya simple. Karena GOD yang memberikan cobaan itu, karena GOD yang menciptakan kita, termasuk memberikan kekuatan mental dan fikiran kita menghadapi masalah, dan karena GOD yang bisa memberikan pencerahan dan kekuatan mental kepada kita untuk mampu menghadapi kerasnya gelombang hidup.
So, what’s the conclusion?
Apabila merasa stress, tidak stabil secara kejiwaan dalam menghadapi problematika hidup, maka sebaiknya kita melihat ke dalam. Mengkaji lagi, lagi dan lagi, bagaimana hubungan kita dengan pencipta kita selama ini. Karena Allahlah yang mengendalikan segalanya. Termasuk usaha dan doa kita. Layaknya mobil remote control yang selalu terkoneksi dengan remote nya, hendaknya demikian jugalah kita. Semoga ini bisa menjadi renungan, sumber inspirasi serta motivasi untuk saya, dan semua yang membaca tulisan ini. Amiinnn.
Kondisi kehidupan saat ini memang berpotensi memicu timbul dan meningkatnya stres. Bagaimana tidak, mulai dari bangun pagi sampai tidur kembali selalu ada saja permasalahan yang dihadapi. Apakah itu persoalan keseharian di lingkungan, seperti macet dan jalan rusak, sampai ke persoalan yang ruang lingkupnya menyempit, seperti permasalahan di dunia kerja, internal keluarga hingga hubungan pribadi.
Sebenarnya, apa sih stres itu?
Secara sederhana, Tay Swee Noi dan Peter J. Smith, pasangan suami istri psikolog yang telah meneliti tingkat stres di Asia, dan hasil penelitiannya dibukukan tahun 1990, mengajak kita memahami arti stres dari ilmu fisika. Dalam dunia fisika, stres fisik timbul bila suatu kekuatan atau tekanan ditimpakan pada suatu obyek. Para insinyur mengukurnya dengan menghitung jumlah tekanan atau kekuatan yang ditimpakan kepada obyek. Mereka juga menghitung ”toleransi stres” yakni besarnya tekanan atau kekuatan yang mampu DITAHAN obyek sebelum akhirnya obyek tersebut melengkung atau PUTUS. Beberapa benda ada yang lentur dan elastis sehingga ketahanannya lebih baik, dalam arti tidak mudah melengkung atau bahkan putus. Ini yang dijelaskan pasangan psikolog ini di halaman ketiga dalam bukunya Managing Stress : A Guide to Asian Living.
Bila ini kita analisa dan dikaitkan dengan stres psikis, bisa dipahami bahwa, toleransi stres adalah kekuatan jiwa, hati dan fikiran (karena ketiga unsur tersebut membentuk sistem rohani, selain ruh tentunya) dalam menerima tekanan dari tuntutan hidup dan menahannya/menanggungnya. Apabila syaraf di otak, perasaan di hati dan kestabilan jiwa mulai terganggu oleh beban hidup, maka disitulah stres mulai muncul, karena toleransi stresnya telah berada di ambang batas.
Mengapa stres bisa muncul?
Menurut pasutri psikolog ini, mengatakan bahwa stres sebenarnya muncul dari dua kondisi, yaitu kekurangan stimulus (rangsangan) dan kelebihan stimulus.
Stimulus/rangsangan apa yang dimaksud disini?
Rangsangan yang bisa merangsang daya psikis dan daya fisik untuk berfungsi optimal. Bisa juga difahami sebagai tuntutan dan tantangan hidup. Jadi, bila seseorang itu tidak memiliki tuntutan sama sekali dalam hidupnya, ia akan stres. Bila sama sekali tidak ada suatu hal yang bisa menyibukkannya secara sehat maka keadaan itu akan membuatnya stres. Stres tidaklah selalu diekspresikan dalam bentuk pusing, marah-marah atau kondisi umum lainnya yang banyak diperlihatkan orang. Seorang pengangguran, atau orang yang hanya menghabiskan waktu di rumah tanpa aktifitas berarti, atau melakukan aktifitas yang monoton dan berulang-ulang, termasuk orang yang tidak banyak berhubungan dengan orang lain, tidak banyak bersentuhan dengan ”dunia” lain yang jauh ”di luar dirinya”, atau orang-orang yang hidupnya terlalu (benar-benar terlalu) senang, tidak perlu perjuangan apapun, adalah orang-orang yang kekurangan rangsangan, mereka ini rentan terhadap stres. Orang-orang seperti ini akan cepat dilanda kebosanan, kesal, muak, mungkin kesepian, kejumudan, karena ia tidak dihadapkan pada tuntutan apapun, sehingga dalam hidupnya tidak ada sesuatu yang menantang. Seorang yang telah begitu kaya raya, berhasil dalam karir, berkeluarga dan tidak ada kekurangan atau problem dalam keluarganya, kadang dilanda kesepian dan merasa tidak berartinya hidup, unmeaningful life. Ini juga bisa memicu stres.
Sebaliknya, kondisi kelebihan rangsangan, adalah kondisi dimana ada aneka ragam tuntutan yang dihadapi oleh seseorang, dan ia ditantang untuk menyelesaikan semua tuntutan itu dalam waktu singkat atau bahkan hampir bersamaan, sehingga ia merasa kewalahan, mana yang harus diprioritaskan. Atau mungkin juga karena ada masalah yang membebani hati dan fikirannya hingga mengganggu kinerja dan kemampuan berinteraksi. Kondisi seperti ini juga bisa mengakibatkan orang merasa bosan: bosan karena sering merasa dikejar-kejar tugas/kerjaan, bosan dengan masalah yang tidak kunjung selesai (mentally illnes), pun orang ini bisa merasa muak: muak dengan hidup yang baginya melelahkan, sehingga ia kesal dengan kesibukannya yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari pilihannya sendiri, atau lebih parah lagi, ia mungkin merasa bosan dan kesal menjadi dirinya yang sesibuk itu. Atau kesal dengan problematika hidup yang baginya ”seharusnya tidak perlu terjadi”, atau kadang sebagian orang mengatakan ”kenapa harus saya yang dapat masalah ini, musibah ini?” Penerimaan diri yang terganggu, tidak bisa kompromi dengan kesibukan yang tinggi, atau problem, bahkan musibah dan bencana yang terjadi, sangat memungkinkan seseorang terserang stres.
Jadi, kondisi yang memicu stres itu bisa digambarkan seperti huruf U. Kedua sisi dari huruf U ini adalah kondisi yang berpotensi menimbulkan stres. di satu sisi kelebihan rangsangan dan di sisi lain kekurangan rangsangan.
ini yang dijelaskan oleh Mr. And Mrs. Smith Psycholog tersebut.
Lalu bagaimana respon kita sebaiknya?
Pandangan saya, bila dikaitkan dengan analisa batas toleransi stres, bahwa individu yang stres itu berarti ia tidak kuat menangung beban hidupnya, jelas dari sini kita bisa menemukan jawabannya untuk mengatasi stres, yaitu AJARAN AGAMA.
Bagi kita yang notabene muslim, maka GBHH (garis-garis besar haluan hidup) kita adalah Al Qur’an dan hadits. Bukankah sudah dikatakan Nabi SAW, sebagai wasiat beliau sebelum meninggal: telah aku tinggalkan untuk engkau (engkau maksudnya umat nabi Muhammad SAW) dua hal, yang bila engkau berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat. Dua hal itu adalah al Qur’an dan hadits. NAH, sekarang, kita merujuk kepada ayat al Qur’an, di surat al Baqarah, ayat terakhir (286) dikatakan: laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa... yang berarti tidaklah memberatkan Allah akan diri (seseorang) kecuali (sesuai) batas kemampuannya.
Dari sini bisa kita pahami, bahwa ketika Allah memberi kita cobaan, musibah, entahkah itu kehilangan orang yang disayangi, pekerjaan, materi, atau kehilangan hope n chance terhadap sesuatu, sebenarnya kita pasti mampu menghadapinya, karena semua itu diturunkan Allah sesuai kadar kekuatan jiwa kita. Allah tidak pernah salah dalam bertindak, Allah pun tidak pernah menyalahi kata-katanya sendiri. Tidak seperti manusia yang bisa berubah-ubah pendirian, dan memutarbalikkan omongan. Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke golongan yang demikian, amiinn.
Lalu, kalau sang Khalik yang menciptakan kita telah menjamin, bahwa kita tidak akan diberi cobaan di luar batas kemampuan, mengapa sekarang, terkadang kita merasa : ” duuhh... kenapa hidup saya berat banget yaa.. kenapa cobaan ke saya ga pernah berhenti yaa.. kenapa masalah saya sesusah ini?, bagaimana saya harus menghadapi? Saya ga kuat lagi hidup seperti ini.... ” pernahkah kita bicara semacam ini? Pada orang lain atau hanya sekedar memelas dalam hati? Padahal Allah sudah tetapkan, apapun cobaan yang datang pastilah sesuai kemampuan hamba yang menerima. Terus terang, saya pernah seperti ini, Andapun mungkin pernah, ini manusiawi, asalkan jangan berulang-ulang. Jadi.. gimana donk?
Itu berarti, there is something wrong between us and GOD. Kenapa something wrong nya terjadi antara kita dengan Tuhan? Apakah tidak cukup dengan mengubah mindset menjadi lebih rasional dan optimis? Apakah tidak cukup dengan curhat ke sahabat, menyibukkan diri, atau konsultasi ke psikiater? Bagi saya, TIDAK CUKUP DENGAN ITU! What’s the reason? Jawabannya simple. Karena GOD yang memberikan cobaan itu, karena GOD yang menciptakan kita, termasuk memberikan kekuatan mental dan fikiran kita menghadapi masalah, dan karena GOD yang bisa memberikan pencerahan dan kekuatan mental kepada kita untuk mampu menghadapi kerasnya gelombang hidup.
So, what’s the conclusion?
Apabila merasa stress, tidak stabil secara kejiwaan dalam menghadapi problematika hidup, maka sebaiknya kita melihat ke dalam. Mengkaji lagi, lagi dan lagi, bagaimana hubungan kita dengan pencipta kita selama ini. Karena Allahlah yang mengendalikan segalanya. Termasuk usaha dan doa kita. Layaknya mobil remote control yang selalu terkoneksi dengan remote nya, hendaknya demikian jugalah kita. Semoga ini bisa menjadi renungan, sumber inspirasi serta motivasi untuk saya, dan semua yang membaca tulisan ini. Amiinnn.
0 Response to "STRESS ? DO YOU?????"
Post a Comment