KONSEP MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN KURIKULUM
KONSEP MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN KURIKULUM
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna penciptaannya “sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut Raghib Al Asfahani seorang pakar bahasa al Qur’an, sebagaimana dikutip Quraish Shihab memandang kata taqwim disini sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibandingkan binatang, yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak lurus. Jadi, kalimat ahsanu taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Berarti sebaik-baik bentuk dalam ayat ini tidak bisa hanya difahami baik dalam bentuk fisik semata, namun juga baik dalam bentuk psikisnya. Allah berbuat demikian karena Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Oleh karenanya Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk, sehingga tidak ada satu makhlukpun yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Makhluk lain yang diciptakan oleh Allah tidak memiliki dua dimensi secara utuh layaknya manusia. Hewan dan tumbuhan memiliki dimensi jasmani yang lengkap. Sementara dimensi rohaninya tidaklah lengkap. Hewan hanya dibekali insting sebagai modal baginya untuk menyambung dan mempertahankan hidup, tetapi tidak diberi akal. Bahkan tumbuhan tidak memiliki dimensi rohani yang demikian. Makhluk lainnya seperti malaikat, tidak memiliki dimensi jasmani, demikian juga bangsa syetan dan jin, tidak memiliki dimensi jasmani. Sementara manusia, Allah menata susunan diri manusia dengan dua dimensi, jasmani dan rohani . Khatib al Baghdadi mengistilahkannya dengan ruh dan jasad, bahwa diri manusia terbangun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad. Jasad adalah organ tubuh bersifat materi, dan ruh bersifat immateri terdiri dari dua unsur lagi yaitu akal dan qalb. Akal adalah daya berfikir yang berpusat di kepala dan qalb adalah daya merasa yang berpusat di dada . Itulah yang menjadikan manusia makhluk paling sempurna dalam hal penciptaannya.
Kedua dimensi ini sudah membawa fitrahnya atau potensinya masing-masing dari kelahirannya. Hal ini diisyaratkan al Qur’an, dimana kata fitrah terulang sampai 28 kali, diantaranya dalam surat ar Rum ayat 30 yang berbunyi: “maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Kefitrahan manusia disini bermakna manusia berpotensi untuk mengenal dan beriman kepada Allah, ditandai degan adanya qalbu dan akal di dalam dirinya . Namun walau begitu, tetap saja manusia perlu mendapat pendidikan yang bisa membimbingnya untuk mengoptimalkan kemampuan dan potensi yang sudah dimilikinya itu. Agar kemampuan dan potensi yang dimaksudkan dapat berkembang dengan baik dan menuju arah yang tepat, maka dibutuhkan pendidikan dengan kurikulum yang tepat pula. Kurikulum yang bisa membantu manusia mengembangkan kemampuannya, bukan kurikulum yang justru mengekang dan mengubur potensi itu. Apalagi terkait dengan situasi dunia hari ini, dimana persaingan untuk mempertahankan hidup menjadi semakin ketat. Sehingga perjuangan yang diperlukanpun menjadi semakin keras.
Dalam kehidupan yang semakin cepat dan menuntut kemampuan serta kualitas diri yang lebih dari sekedar, manusia terutama generasi muslim mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan itu. Penyesuaian ini amatlah urgen karena bila generasi muslim terlambat membaca perubahan dan memahami tuntutan ini maka akibatnya akan semakin tertinggal dengan manusia lain, umat lain yang dengan cekatan telah mengambil posisi dan peran penting dalam persaingan global ini. Sebaliknya apabila generasi muslim dapat cepat tanggap terhadap tuntutan ini, maka umat Islam bisa berjuang dan bersaing dengan umat lain dalam banyak hal positif sehingga menjadi umat yang terbaik. Untuk mencetak manusia dan umat yang tahan uji, mampu bersaing dengan manusia dan umat lain modal utama yang harus diberikan adalah pendidikan. Karena pendidikan merupakan unsur kedua selain potensi lahiriah manusia yang merupakan modal dasar bagi kemajuan manusia itu sendiri.
Setiap program, jenjang atau jenis pendidikan memerlukan dan memiliki kurikulum. Karena kurikulum yang sudah terencana rapi akan mempermudah proses pembelajaran dalam mencapai tujuannya. Terkait dengan konsep manusia yang terdiri dari dua dimensi ini, maka kurikulum yang disodorkan haruslah dapat dengan cermat dan tepat mengena serta mengexplore potensi yang dimiliki. Namun sebelum membahas kurikulum yang dimaksud, lebih urgen lagi untuk mengetahui dan benar-benar memahami konsep manusia tersebut. Dengan adanya pengertian yang komprehensif tentang dua dimensi manusia, maka akan mudah diketahui kurikulum apa yang tepat bagi pengembangan potensi dua dimensi tersebut.
DIMENSI JASMANI
Mengenai dimensi jasmani, agaknya hal ini sudah bisa dipahami secara umum. Dimensi ini terdiri dari organ-organ tubuh yang bekerja secara terorganisir untuk kesehatan tubuh. Agar organ-organ dapat bekerja dengan maksimal dan menjalankan fungsinya masing-masing tanpa hambatan, maka perlu diberikan asupan gizi dan latihan-latihan yang bisa menjaga kesehatan organ tubuh. Oleh karenanya penting dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi diberikan pendidikan olehraga.
Bedanya dalam pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas olahraga menjadi mata pelajaran wajib yang tidak terpisah dari kurikulum sekolah, sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, olahraga tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum wajib untuk dijalani. Karena pada jenjang pendidikan tinggi, setiap lembaga pendidikan diberi otoritas penuh untuk menentukan kurikulum yang akan diterapkan pada peserta didik. Sehingga disetiap lembaga pendidikan tinggi, hampir tidak ada yang mewajibkan mata kuliah olahraga karena lebih terfokus pada mata kuliah yang lebih menunjang dan terkait dengan bidang kajian yang diinginkan atau diarahkan lembaga pendidikan tersebut. Latihan-latihan fisik atau olahraga lebih menjadi ekstra kurikuler yang bersifat tidak wajib diikuti daripada menjadi pilihan mata kuliah wajib. Ini disebabkan lembaga pendidikan tinggi tidak harus mengikuti kurikulum manapun. Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama pun tidak mewajibkan atau memberikan arahan kurikulum. Sementara untuk jenjang pendidikan dibawahnya, baik depdiknas maupun depag memiliki kewenangan untuk mengatur dan menentukan arahan kurikulum dan mata pelajaran yang harus diikuti oleh setiap lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas, dan pendidikan olahraga dan kesehatan merupakan pelajaran wajib untuk dipelajari.
Perihal olahraga dan kesehatan tidak bisa diabaikan, karena tanpa adanya ilmu tentang olahraga dan kesehatan, manusia akan kesulitan menjaga kesehatan tubuhnya. Adanya pengetahuan tentang makanan sehat, sumber-sumber gizi yang penting untuk tubuh, cara-cara pencegahan dan pengobatan penyakit secara umum serta latihan fisik yang baik dan benar, merupakan modal dasar untuk menuju tubuh yang sehat. Tubuh yang sehat merupakan syarat mutlak untuk bisa bersaing dan berjuang demi mendapatkan peran dan fungsi penting dalam persaingan hidup hari ini. Oleh karenanya sangatlah benar bila pelajaran olahraga menjadi bagian penting dan mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan baik dari lembaga pendidikan dasar sampai menengah atas. Adapun bagi peserta didik pada perguruan tinggi, karena lembaga pendidikan tinggi tidak mewajibkan mata kuliah olahraga, maka peserta didik pada lembaga pendidikan tinggi yang pada umumnya sudah memasuki rentang umur dewasa , diharapkan dapat menjaga kesehatannya tubuhnya sendiri tanpa harus diberikan tuntunan secara teratur seperti pada lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya.
DIMENSI ROHANI
Sebaik apapun dimensi jasmani apabila dimensi rohaninya tidak terurus dengan baik, maka manusia akan sama dengan hewan. Bertingkah laku dan berfikir layaknya hewan, yang hanya memiliki insting untuk memperjuangkan hidupnya. Hewan tidak punya hati dan akal fikiran, insting yang diberikan Allah kepadanya hanya berguna untuk mencari makanan dan mempertahankan diri dari musuh. Karena tidak adanya hati dan akal fikiran maka hewan bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan makanan sebagai usaha menyambung hidup dan bisa menyerang siapa saja atau apa saja dengan cara apapun sebagai usahanya mempertahankan hidup. Apabila manusia tidak mendapat pendidikan yang tepat untuk membimbing rohaninya, maka manusia akan kehilangan fungsi dimensi rohaninya ini sehingga dapat melakukan apa saja, menyerang dan menyakiti siapa saja asalkan kebutuhan hidupnya terpenuhi dan merasa puas, walaupun untuk kepuasan itu ia mengorbankan kepentingan dan kebahagiaan manusia lain, layaknya hewan.
Seperti dikatakan bahwa hewan bertingkah laku hewani karena dimensi rohaninya tidak lengkap, hanya ada insting tanpa ada hati dan akal fikiran, maka sebaliknya manusia diharapkan dapat bertingkah laku manusiawi karena memiliki apa yang tidak dimiliki hewan yaitu hati dan akal fikiran; inilah yang menjadi bagian penting dimensi rohani manusia. Manusia perlu mendapatkan pendidikan yang tepat agar potensi dimensi rohaninya berkembang ke arah yang benar. Sebelumnya harus dipahami dulu apa yang dimaksud dengan hati dan akal sehingga dapat dengan lebih baik menentukan dan memilih kurikulum yang tepat untuk pengembangannya.
HATI
Dalam kamus besar bahasa Indonesia hati memiliki arti bebeapa macam, salah satunya bisa diartikan organ tubuh yang berwarna kemeah-merahan di bagian kanan rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan, dan ada juga arti lain : sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian atau perasaan apapun .bila dibicarakan dari sudut medis maka yang dikatakan hati adalah liver, namun bukan hati yang ini yang dimaksudkan. Lebih tepat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hati dari sudut pandang psikologi yaitu labih mengacu kepada perasaan. Hati sendiri dalam al Qur’an dibahasakan dengan istilah qalbu, sementara term qalbu ini tidak hanya berarti hati saja, tetapi juga jantung, isi, akal, semangat keberanian, bagian dalam, dan juga untuk menyebut sesuatu yang murni , bukan untuk menyebut hati dalam istilah medis yaitu liver. Sementara untuk hati dalam pengertian liver ini diberikan term al kabid.
Al Qur’an menggunakan term qalbu dan fu’ad untuk menyebut hati manusia,
al Qur’an juga menggunakan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebut suasana hati dan jiwa sebagai suatu kesatuan psikologis : . Selanjutnya al Qur’an menggunakan term qalbu dalam pengertian akal : . Kadang qalbu juga berarti ruh .
Secara lughawi qalbu artinya bolak-balik, dan ini menjadi karakteristik dari qalbu itu sendiri, yaitu tidak konsisten, demikian Ahmad Mubarok menjelaskan. Selanjutnya Ahmad Mubarok membagi gagasan tentang qalbu ini menjadi tiga bagian: fungsi dan potensi hati, kandungan hati dan sifat-sifat hati.
Fungsi dan potensi qalbu
Fungsi yang utama dari qalbu adalah untuk memahami realitas dan nilai-nilai maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? . Pada ayat ini qalbu memiliki potensi yang sama dengan akal. Berangkat dari fungsi inilah maka qalbu secara sadar dapat memutuskan atau melakukan sesuatu , dan dari potensi inilah maka yang harus dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allah adalah apa yang disadari oleh qalbu : “ Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja untuk bersumpah oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyantun”. Begitu juga dengan pengertian istilah fu’ad dalam ayat ini “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Selanjutnya potensi hati yang diungkapkan al Qur’an adalah :
Bisa berpaling :
Merasa kesal dan kecewa :
Secara sengaja memutuskan dan melakukan sesuatu
Berprasangka : Al Fath 48 : 12
Menolak sesuatu : Al Tawbah 9 : 8
Mengingkari : Al Nahl 16 : 22
Dapat diuji : Al Hujurat 49 : 3
Dapat ditundukkan : Al Hajj 22 : 54
Dapat diperluas dan dipersempit : Al An’am 6 : 125
Bisa ditutup rapat : Al Baqarah 2 : 7
Kandungan qalbu
Menurut Mubarok, dalam al Qur’an sudah dipaparkan kandungan hati, yaitu sebagai berikut
Kedamaian : al Fath 48 : 4
Penyakit, diterangkan sebagai penyakit lemah keyakinan dalam ayat Al Baqarah 2 : 10 dan penyakit kenakalan diterangkan dalam surat Al Ahzab 33 : 32
Perasaan takut : Ali Imran 3 : 151
Keberanian : Ali Imran 3 : 126
Cinta dan kasih sayang :Al Hadid 57 : 27
Kebaikan :Al Anfal 8: 70
Iman :Al Hujurat 49,: 7, 14
Kedengkian :Al Hasyr 59 :10
Kufur : Al Baqarah 2: 93
Kesesatan : Ali Imran 3 : 71
Penyesalan : Ali Imran 3 : 156
Panas hati : Al Tawbah 9 :15
Keraguan : Al Tawbah 9 : 45
Kemunafikan : Al tawbah 9 : 77
Kesombongan : Al Fath 48 : 26
Sesuai dengan karakternya yang bolak balik maka kadar kandungan hati juga dapat berubah-ubah.
Sifat dan keadaan qalbu
Qalbu mempunyai karakter yang tidak konsisten, hingga karenanya sering terkena konflik batin. Interaksi yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai positif dengan tarikan potensi negatif yang berasal dari kandungan hatinya, melahirkan suatu keadaan psikologis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi tersendiri dari qalbu itu. Proses pencapaian kondisi qalbu melalui tahapan-tahapan perjuangan rohaniah, dan dalam prose itu menurut al Qur’an, manusia bersifat tergesa-gesa dan sering berkeluh kesah, masih menurut Mubarok.
Proses interaksi psikologis itu mengantar hati pada kondisi dan kualitas hati yang berbeda-beda, diantaranya :
Keras dan kasar hati : ali Imran 3 : 159
Hati yang bersih : Al Syuara 26 : 89
Hati yang terkunci mati : Al Syura 42 : 24
Hati yang bertaubat :Qaf 50 : 33
Hati yang berdosa : Al Baqarah 2 : 283
Hati yang terdinding : Al Anfal 8 : 24
Hati yang tetap tenang : An Nahl 6 : 106
Hati yang lalai : Al Anbiya 21 : 3
Hati yang menerima petunjuk tuhan : Al Taghabuun 64 : 11
Hati yang teguh : Al Qashshash 28 : 10
Hati yang takwa : Al Hajj 22 : 32
Hati yang buta : Al Hajj 22 : 46
Hati yang terguncang : Al Nur 24 : 37
Hati yang sesak : Al Mukmin 40 : 18
Hati yang tersumbat :Al Baqarah 2 : 88
Hati yang sangat takut : An Naziat 79 : 8
Hati yang condong kepada kebaikan : At Tahrim 66 : 4
Hati yang keras membatu : Al Baqarah 2 : 74
Hati yang lebih suci : Al Ahzab 33 : 53
Hati yang hancur Al Tawbah 9 : 110
Hati yang inkar : Al Nahl 16 : 22
Hati yang kosong : Ibrahim 14 : 43
Hati yang terbakar : Al Humazah 104 : 6-7
Dari keterangan di atas, yang berkaitan dengan fungsi, potensi, kandungan dan kualitas hati yang disebut dalam al Qur’an, disimpulkan bahwa qalb memiliki kedudukan yang tinggi dalam pengaturan arah hidup manusia. Qalb lah yang memutuskan dan menolak sesuatu, juga bertanggung jawab atas apa yang diputuskan. Sesuai pula dengan hadits nabi yang diriwayatkan Bukhari Muslim yang mengatakan bahwa qalb adalah penentu bagi kesehatan manusia secara komprehensif “sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, tetapi diantara yang halal dan yang haram itu banyak perkara syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga diri dari yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus ke dalam syubhat berarti ia telah terjerumus ke dalam yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekeliling tanah larangan, dikhawatirkan akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan, dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan. Ketahuilah bahwa dalam setiap tubuh manusia ada sepotong organ yang jika ia sehat maka seluruh tubuhnya sehat, tetapi jika ia rusak maka seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa organ itu adalah hati.”
AKAL
Kata akal dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai daya berfikir, dan mengingat berasal dari bahasa Arab (aql ) yang mengandung arti mengikat atau menahan tetapi secara umum akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, demikian yang dikutip Achmad Mubarok . Dalam psikologi modern akal dipahami sebagai kecakapan untuk menyelesaikan masalah (problem solving capacity).
Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa akal adalah daya berfikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya jiwa, mengandung arti berfikir, memahami, dan mengerti . Dalam al Qur’an aql tidak disebutkan dalam bentuk kata benda yang berdiri sendiri, melainkan dalam bentuk kata kerja, baik dalam bentuk fi’il madli maupun fi’il mudlari. Dalam al Qur’an, kalimat aql disebut dalam 49 ayat, satu kali dalam bentuk ‘aqiluuhh 24 kali dalam bentuk kalimat ta’qiluun satu kali dalam bentuk na’qilu satu kali dalam bentuk ya’qiluhaa dan 22 kali dalam bentuk kalimat ya’qiluuna.
Menurut Lisan Al ‘Arab, al ‘aql juga berarti al hajar yang artinya menahan, sehingga yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al Qur’an juga menyebut orang yang berakal dengan beberapa istilah yaitu uulinnuhaa yang berarti orang yang memiliki pencegah atau akal yang mencegah dari keburukan , uulul ilmi yang berarti orang yang berilmu , uuluul albab yang berarti orang yang mempunyai saripati akal , uulul abshaar yang berarti orang yang mempunyai pandangan yang tajam , dan dzuu hijr yaitu orang yang mempunyai daya tahan .
Kata aqala mengandung arti yang pasti yang mengerti, memahami dan berfikir. Hanya saja al Qur’an tidak menjelaskan bagaimana proses berfikir itu, pun tidak membedakan di mana letak daya berfikir dan letak alat berfikir. Juga tidak mengatakan pusat berfikir itu apakah di kepala atau di dada, karena qalb yang ada di dada juga kadang diterjemahkan dengan makna berfikir layaknya akal. Hal itu bisa dilihat di Al Tawbah 9:93 dan surat Muhammad 47:24. Jadi menurut al Qur’an aktivitas berfikir dan merasa tidak hanya menggunakan akal saja atau hati saja tetapi keduanya memiliki peranan yang sama penting. Sejalan dengan itu Abu Hudzail Al Allaf berpendapat bahwa akal berasal dari qalb, apabila mencapai kesempurnaan, akal ini berakhir pada otak manusia yang disebut dengan ilmu, sedangkan yang bersemayam dalam qalb adalah iradah yang menimbulkan harikah atau gerak. Untuk itu, akal haruslah berakal dari qalb agar dapat dikendalikan oleh qalb. Optimalisasi peran akal adalah untuk melakukan observasi, penelitian dan menentukan pilihan. Akal merupakan jalinan rasa dan rasio, yang mampu menerima segala sesuatu yang ditangkap panca indra dan sesuatu yang diluar pengalaman empiris. Akal berfungsi untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan dan mencarikan solusinya .
Sementara itu psikologi sudah mengkaji teknis kerja sistem jiwa dengan bahasan yang sangat rinci. Tentang otak, telah dibahas bahwa otak merupakan alat berfikir, dimana bagian kiri bekerja untuk hal-hal yang logis, seperti berbicara, bahasa, hitungan matematika, menulis dan ilmu pengetahuan yang bersifat logika, otak kanan bekerja untuk hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi, demikian tulis Mubarok.
Kapasitas akal
Manusia adalah makhluk yang perkembangannya sangat lambat dan bertahap di banding hewan. Walau begitu, manusia memiliki kapasitas kemampuan kerja yang sangat jauh lebih tinggi daripada hewan. Pembicaraan mengenai kapasitas akal ini sudah menarik perhatian para pemikir dari zaman dulu. Dalam lapangan teologi, aliran-aliran teologi seperti Mu’tazilah, Asy ‘ariyah dan Maturidiyah menempatkan pembahasan mengenai akal pada posisi dan fungsi yang penting, yaitu fungsi akal terhadap pengetahuan tentang keberadaan Tuhan dan tentang baik dan buruk. Dalam urusan pemaknaan hadits, para ahli hadits juga mengakui kehebatan daya analisis akal, sehingga dibolehkan penafsiran hadits bir ra’yi dengan berbagai persyaratannya. Tidak ketinggalan di kalangan fuqaha, kualitas akal juga diterima dan diapresiasi, sehingga membolehkan orang-orang dengan kualitas dan kapasitas akal tertentu untuk berijtihad terhadap suatu masalah. Bahkan metode ijtihadpun diakui penggunaannya terhadap suatu masalah yang benar-benar tidak ada pemecahannya sedikitpun setelah dirujuk kepada Al Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Tentang kapasitas akal, al Qur’an menurut Achmad Mubarok menjelaskan sebagai berikut :
Dengan akal, manusia dimungkinkan untuk berfikir menemukan kebenaran dan mengikutinya sebaliknya kekeliruan cara berfikir dapat menempatkan manusia sejajar dengan makhluk yang tidak berakal. Ini diisyaratkan dalam surat al Furqan 25:44. Sejalan dengan ini Ibnu Miskawaih –seperti yang diungkap Usman Najati mengatakan bahwa manusia memiliki daya fikir. Daya fikir menurut Miskawaih adalah daya yang menimbulkan proses berfikir dan ini mengarah pada kemampuan akal. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan atau daya ini. Daya inilah yang membedakan manusia dari hewan. Derajat manusia dan tingkat perbedaannya dengan hewan atau makhluk tidak berakal lainnya tergantung pada tingkat dinamika, konsistensi, kebenaran penalaran, serta kemampuan membedakan dari daya ini. Intinya kadar kemanusiaan manusia bergantung pada kadar penerimaannya terhadap pengaruh akal. Hampir serupa dengan ungkapan Ikhwan ash Shafa bahwa akal adalah salah satu diantara daya-daya jiwa manusia yang fungsinya merenung, berfikir, merasionalkan, membedakan dan melaksanakan pekerjaan. Berfikir bagi ash Shafa adalah mengeluarkan semua pengetahuan yang dikenal, merenung adalah mengatur barang milik dan menyiasati masalah, mengkonsepsi adalah menjelajahi hakikat segala sesuatu, mensintesis adalah mengenal segala jenis dan macam, dan menganalogi adalah menjelajahi segala sesuatu yang hilang karena waktu dan ruang .
Akal mampu memahami hukum kausalitas, dalam surat al Mu’minun 23:18 dijelaskan bahwa Allah menyuruh manusia berfikir tentang Zat yang menghidupkan dan mematikan serta pertukaran malam dan siang.
Akal mampu memahami adanya system jagad raya, tercermin dalam dialog panjang antara Nabi Musa dan Fir’aun dalam surat As Syu’ara 26 : 18-68. Fungsi akal yang ini juga dilontarkan oleh Abu Bakar Ar Razi .
Mampu berfikir distinktif, yaitu mampu memilah-milah permasalahan dan menyusun sistematika dari fenomena yang diketahui, diisyaratkan ayat ke empat surat al Ra’ad. “dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami air yang sama,. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Mampu menyusun argumen yang logis. Ini diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 65-68 yang berisi teguran bagi kaum ahli kitab yang saling berbantah tanpa argumen yang logis, “hai ahli kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berfikir.”
Mampu berfikir kritis, yaitu kritis terhadap pendapat dan gagasan yang disampaikan orang lain yang tidak memiliki pijakan yang benar, dipaparkan dalam surat al Maidah ayat 103.
Mampu mengambil pelajaran dari pengalaman. Sepeti teguran Allah terhadap orang Yahudi yang tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah yang telah mereka lalui. Ini tergambar dalam surat al A’raf ayat 164-169, yang diakhiri dengan kalimat : “apakah kamu tidak berfikir”.
Setelah uraian panjang di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hati dan akal merupakan sebuah pasangan kekuatan yang harus bersinergi untuk mengendalikan tingkah laku, sikap dan perbuatan manusia. Intinya hati dan akal harus memainkan peran yang besar dalam pengendalian kehidupan manusia ke arah yang benar. Menurut Buya Hamka, orang yang ada hati, orang itulah yang disebut berfikir. Ada hati artinya adalah ada inti fikiran dan ada akal budi. Apapun yang didengar telinga, dilihat mata, kesemuanya itu dibawa ke dalam hati, maka akan timbullah pertimbangan dan penelitian mendalam. Dua pasang panca indera secara aktif menyambungkan diri manusia dengan alam sekitarnya, yaitu penglihatan mata dan pendengaran telinga yang kemudian dicerna di dalam hati. Oleh sebab itu sangat tercela orang yang ada hati tetapi tidak berjalan fikirannya, ada mata tetapi tidak melihat, ada telinga tetapi tidak mendengar, sedangkan kedua panca indera itulah yang menghubungkan manusia dengan alam di luar dirinya. Kehalusan dan kecepatan tanggapan pendengaran, penglihatan dan hati itulah yang mempertinggi kecerdasan manusia di dunia ini .
Untuk peranan yang sebesar dan sepenting itu, hati dan akal tidak begitu saja menjadi mampu dan berkualitas secara instan seiring pertambahan umur manusia. Manusia memerlukan pendidikan yang baik untuk memberi pembelajaran terhadap hati dan akalnya.
KAITANNYA DENGAN KURIKULUM
Keberhasilan pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari kurikulum yang telah direncanakan. Sehingga kurikulum memang memegang peranan penting bagi suksesnya sebuah proses pendidikan. Kurikulum yang dijalankan di sekolah-sekolah haruslah mengandung pelajaran-pelajaran yang memang dibutuhkan untuk pendidikan jasmani dan rohani peserta didik.
Untuk dimensi jasmaninya, pendidikan olahraga dan kesehatan sudah memiliki porsi dan posisi sebagai mata pelajaran yang wajib untuk diberikan pada peserta didik. Sementara untuk dimensi rohaninya, yaitu pendidikan hati dan akal, sampai saat ini pemerintah sepertinya masih terus mencari, mengolah dan mengujicobakan model-model kurikulum yang berganti-ganti. Kesemuanya itu dengan tujuan lebih memberdayakan lagi kompetensi hati dan akal peserta didik.
Pendidikan kualitas hati yang bagi Ibnu Qayyim al Jauziyah disebut “tarbiyatul qulb”, bagi al Ghazali dinamakan “riyadhatul qalbi”, sementara Buya Hamka menyebutnya dengan pendidikan hati, sangatlah berpengaruh terhadap pola berfikir akal nantinya. Oleh karena itu pendidikan hati tidak bisa dijadikan bahasan sampingan, karena ia memiliki pengaruh dan bahkan bisa menjadi pengendali terhadap cara kerja otak atau kinerja akal. Untuk tujuan peningkatan kualitas hati, jelas pendidikan agama memegang peranan terpenting dan terutama.
Pendidikan agama merupakan modal dasar manusia untuk menjadi baik dari segala segi, apakah itu sikap, perbuatan, perkataan bahkan pola fikir. Bicara mengenai pendidikan agama, maka kurikulum dan proses pendidikan agama yang paling mendasar terdapat bukan di lingkungan sekolah, melainkan di lingkungan keluarga dengan pendidik utama dan pelaksana kurikulum adalah orang tua. Anak merupakan investasi atau modal yang ditanam orang tua untuk bekal di akhirat kelak. Oleh karenanya orang tua hendaklah merawat, menyantuni dan bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan anak semaksimal mungkin.
Atas dasar ini dapat dilihat bentuk hubungan orang tua dan anak dalam tiga segi , yaitu:
1. hubungan tanggung jawab
anak adalah amanah yang dititipkan Allah dan kelak Allah akan bertanya bagaimana pertanggungjawaban atas amanah yang telah dititipkan tersebut. Allah menyuruh orang tua untuk menyayangi, memenuhi kebutuhan dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Pendek kata orang tua berkewajiban memimpin anak-anaknya dalam menjalani hidup ini dan nanti kepemimpinannya itu akan dipertanyakan allah di akhirat.
2. hubungan kasih sayang
anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang, itu merupakan suatu yang alami. Bak sebuah perhiasan yang memperindah, begitulah gambaran kehadiran anak dalam hidup orang tua, sebagai perhiasan dunia yang memperindah kehidupan, begitu pula dengan harta. Namun bukan berarti orang tua boleh menyayangi anaknya tanpa batas, karena perasaan cinta terbesar hanyalah milik Allah. Allah melarang manusia sangat mencintai atau bahkan menggantungkan harapan kepada anak dan juga harta, walau kedua hal ini memang perhiasan dunia, dimana tanpa keduanya kehidupan orang tua akan terasa kurang lengkap.
3. hubungan masa depan
anak merupakan investasi orang tua di akhirat, oleh karenanya sangatlah urgen bagi orang tua untuk mendidik anaknya dengan pendidikan agama yang cukup. Karena pendidikan agama menjadi penentu arah dalam hidup anak nantinya terutama setelah kepergian orang tua ke alam baqa. Bila anak menjadi tidak tahu menahu dengan norma agama, dan itu karena kurangnya pengawasan dan pendidikan agama dari orang tua maka itu akan menjadi beban yang sangat berat bagi orang tua di akhirat. Karena orang tua melalaikan kewajiban pemeliharaan anak yang telah dititipkan Allah, dan itu adalah dosa yang akan ditebus orang tua. Sebaliknya orang tua yang berhasil menjadikan anaknya hamba yang shaleh, berarti ia berhasil menunaikan kewajiban sebaik mungkin dan di akhirat nanti ia tidak akan di azab karena melalaikan kewajiban yang diembankan Allah di bahunya.
Salah satu bagian dari pendidikan agama adalah pendidikan akhlak dan moral. Pendidikan akhlak merupakan materi penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Karena manusia yang tidak berakhlak dan tidak bermoral walaupun kemampuan akalnya sangat tinggi akan jauh lebih membahayakan dari pada manusia yang bermoral dengan kemampuan akal yang tidak terlalu tinggi. Akhlaklah yang mampu menjadi rambu bagi manusia untuk tidak melakukan sesuatu yang asusila. Akhlak yang mulia akan menjadi pilar utama untuk tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Kemampuan untuk bertahan hidup ditentukan oleh sejauh mana rakyat dari bangsa tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan moral. Semakin baik akhlak dan moral masyarakat suatu bangsa, maka akan semakin baik semua sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut , demikian menurut salah satu mantan mentri agama negeri ini, Said Agil Munawwar.
Kekuatan akhlak sebagai rambu ini baru akan berfungsi bila akhlak itu sudah ditanamkan sejak dini. Karena akhlak dalam Islam bukan hanya sekedar indoktrinasi hukum-hukum yang dilegalisir dengan ayat-ayat, namun merupakan refleksi dari kualitas iman yang dimiliki individu. Oleh karenanya pendidikan akhlak juga tidak terlepas dari pendidikan keimanan. Akhlak yang ditanamkan tidak berbarengan dengan pendidikan keimanan, lambat laun hanya akan menjadi keharusan atau bahkan formalitas, dimana sesuatu yang bersifat kebiasaan atau formalitas bisa ditinggalkan sewaktu-waktu bila ada yang lebih penting untuk dilakukan. Sebaliknya akhlak yang ditanamkan seiring dengan pendidikan keimanan, lambat laun norma-norma akhlak tersebut akan menjadi bagian dari identitas diri, bagian dari konsep diri, dan akhirnya menjadi suatu kebutuhan bukan kebiasaan. Dimana segala sesuatu yang bersifat kebutuhan akan selalu dilakukan, sampai rasa pemenuhan terhadap kebutuhan itu tercapai. Intinya, manusia yang sejak dini mendapat pendidikan akhlak yang cukup disertai pendidikan keimanan yang memadai maka ia akan menjadikan akhlak sebagai bagian dari dirinya dan akan selalu ia jaga karena ia merasa butuh untuk berakhlak.
Pendidikan akhlaq terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun sekolah perlu dilakukan dengan beberapa cara :
1. menumbuhkembangkan dorongan dari dalam, yang bersumber pada iman dan taqwa
2. meningkatkan pengetahuan tentang akhlaq yang dianjurkan leweat ilmu pengetahuan, pengamalan dan latihan. Agar dapat membedkan yang baik dan yang buruk
3. meningkatkan pendidikan keimanan yang menumbuhkembangkan pada diri manusia kebebasan memilih yang baik dan melaksanakannya, selanjutnya keimanan itu akan mempengaruhi perasaan dan fikiran.
4. latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan baik tanpa paksaan
5. pembiasaan dan pengulangan melakukan hal-hal yang baik sehingga perbuatan baik menjadi keharusan moral, kebiasaan yang mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar dalam diri manusia
Keberhasilan pendidikan moral selain harus ditunjang oleh keberhasilan sub pendidikan agama lainnya, seperti pendidikan tentang keimanan, pendidikan tentang materi ibadah dan lainnya, tidak lupa peranan pendidik dalam mendidik akhlak dan moral peserta didik juga sangat menentukan keberhasilan pendidikan moral tersebut. Pendidik atau orang tua yang dipandang kurang berakhlak bahkan nyaris tidak bermoral dalam sikap keseharian, perbuatan dan perkataannya cenderung akan menghasilkan peserta didik yang bisa lebih tidak bermoral dan tidak berakhlak lagi. Emile Durkheim berpendapat bahwa tanggung jawab mendidik moral anak didik ada pada Negara, karena masalah moralitas tidak bisa dikaitkan dengan agama dan bukanlah tanggung jawab orang tua . Pendapat Durkheim ini tidak berlaku di dunia pendidikan Islam, karena justru sebaliknya, dalam Islam orang tua merupakan guru pertama bagi anak hampir dalam segala hal, terutama moral atau akhlak.
Apabila pendidikan keimanan telah mulai ditanamkan sejak dini seiring itu pula pendidikan akhlak bisa diterima oleh anak, sehingga anak bisa mulai dilatih berakhlak yang baik dengan dikenalkan kepada dasar-dasar sebab mengapa ia harus berakhlak baik. Ini akan membuat anak lebih mudah diajak berakhlak apabila ia diberikan dalil –sesuai kemampuan penerimaannya- yang menuntut ia untuk berakhlak. Apabila dari rumah anak sudah dibekali “basic” pendidikan keimanan dan pendidikan akhlak maka ketika di sekolah ia akan lebih mudah menerima pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan keimanan dan akhlak, sehingga lebih mudah pula penerapannya. Pada kelanjutannya, anak yang terpelihara pendidikan agamanya baik sisi keimanan maupun akhlaknya sedari dini di rumah dan di sekolah, bisa diharapkan untuk menjadi manusia yang beragama dan berakhlak. Dengan kata lain, manusia yang memiliki kualitas hati yang bersih dan bagus.
Namun, jika melihat tantangan hidup hari ini, memiliki hati yang baik dan akhlaq mulia saja belum cukup untuk hidup bahagia. Karena dunia sekarang menuntut skill yang lebih dari sekedar. Kemampuan nalar yang lebih dari standar, dan kualitas akal yang tidak bisa hanya pas-pasan. Untuk itu, anak didik juga perlu diberikan asupan materi pelajaran yang bisa merangsang daya nalar dan mempertinggi daya tanggap akal. Salah satu pelajaran penting yang tidak bisa ditinggalkan adalah matematika, walau kenyataannya banyak pelajar yang merasa bermusuhan dengan mata pelajaran ini, namun sesungguhnya mereka tidak menyadari bahwa matematika adalah salah satu ilmu yang bisa merangsang daya nalar dan mempercepat proses kerja otak. Salah satu pelajaran lain yang penting untung merangsang daya kerja akal adalah sejarah, dalam pelajaran sejarah terdapat pendidikan untuk menguatkan memori daya ingat, dan juga kemampuan menganalisa. Tidak beda halnya dengan ilmu biologi, kimia dan fisika, didalamnyapun terdapat latihan untuk menganalisa fenomena-fenomena tertentu, yang pada gilirannya kemampuan menganalisa dan mengkritisi fenomena ini bisa digunakan anak didik –saat ia telah dewasa- untuk menganalisa dan mengkritisi masalah-masalah dalam kehidupan, tantangan dan hambatan di dunia kerja dan sebagainya.
Terkait dengan ini, Ibu Hanifah mengajarkan tentang penganalisaan suatu masalah dengan pencarian hakikat seperti inti persoalan dan pengenalan alasan serta hukum-hukum dibalik teks-teks tertulis dengan menggunakan metode berfikir secara analisis dan kritis. Karena bagi Hanifah pendidikan pada hakikatnya adalah kemampuan kerja fikir untuk menganalisa suatu masalah yang ada di sekitarnya. Taraf berfikir menurut Hanifah adalah 1) pengetahuan : pada tahap ini anak didik baru belajar reseptif atau menerima apa yang diberikan. 2) komprehensi : pada tahap ini anak didik mulai berfikir dalam konsep tertentu dan belajar pengertian, 3) aplikasi : di tahap ini anak didik mulai belajar menerapkan apa yang sudah di dapatkan, 4) analisa dan sintesa : anak didik diajar untuk menguraikan fakta-fakta dan mulai menggabungkan, yang terakhir yaitu 5) evaluasi : ini tahap terakhir, disini anak didik dituntut untuk berfikir kreatif atau berfikir untuk memecahkan masalah .
Pada dasarnya semua ilmu memiliki fungsinya tersendiri bagi perkembangan otak anak didik. Oleh karenanya tidaklah benar bila dikotomi ilmu pengetahuan masih juga diberlakukan. Baik ilmu yang membahas ketauhidan tuhan, agama –termasuk didalamnya ilmu tentang al Qur’an dan hadits, fiqih dan ilmu kalam, dsb- , bahasa arab atau apapun yang menunjang dan berkaitan dengan kesemua itu adalah sama pentingnya untuk dipelajari dan dimengerti dengan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, sejarah manusia atau kelompok bangsa tertentu, bahasa inggris atau mandarin, atau ilmu tentang tehnik mesin, komputer dan sejenisnya atau yang berkaitan dengannya. Bahwa mengamati fenomena alam dalam biologi sama baiknya dengan mempelajari ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentang keharusan bersyukur, karena lewat pengamatan terhadap fenomena alam manusiapun bisa bersyukur. Bahwa mempelajari tehnik informasi komputer sama baiknya dengan mempelajari ilmu dagang dalam kacamata Islam, jangan karena dahulu Nabi berdagang maka mata pencaharian yang halal hanya berdagang, sementara menjadi tehnisi komputer tidak halal. Karena sesungguhnya yang memegang kendali adalah hati, sehingga walaupun jenis pekerjaan yang dijalani halal namun bila hati tidak bersih maka akan selalu ada cara untuk menjalani pekerjaan halal itu dengan cara-cara yang haram sehingga hasil pekerjaan itu menjadi haram. Akan lebih baik menjadi tehnisi TV atau komputer tetapi berusaha dengan jujur tidak ada penipuan sehingga uang yang didapatkan halal, daripada menjadi pedagang kain seperti sejarah Nabi namun menipu pelanggan dan itu adalah haram, sehingga uang yang dihasilkan haram.
Karena dalam surat al Qashshash diisyaratkan bahwa Allah menyuruh manusia untuk tidak melupakan nasibnya di dunia walaupun tujuan terpenting adalah kampung akhirat, hidup sesudah mati. Ini berarti Allah membolehkan manusia untuk berusaha sehabis kemampuan akal dan tenaganya untuk bisa menggapai kebahagiaan dunia dengan tetap memperhatikan rambu-rambu yang telah dipancangkan agama. Ini juga berarti Allah tidak menyukai manusia yang tidak mau berjuang mencapai kebahagiaan hidup, hanya pasrah dan tidak mau mengeksplorasi kemampuan akal dan tenaganya untuk bersaing dan berusaha mengambil peran penting dalam hidup hingga ia bisa bermanfaat bagi dirinya dan manusia lainnya. Berarti kurikulum yang tepat dan sesuai dengan konsep manusia seperti yang dipaparkan di atas adalah kurikulum yang didalamnya tidak ada dikotomi ilmu, tidak membatasi dan mengungkung daya nalar. Tidak mengikat anak didik untuk hanya belajar pelajaran-pelajaran tentang agama sementara materi-materi penting yang berkaitan dengan tuntutan hidup hari ini seperti halnya memahami tehnologi informasi komputer, tehnik mesin, kedokteran, bahasa asing selain bahasa arab dan lain sebagainya dianggap tidak perlu dipelajari. Sebaiknya anak didik diberi kebebasan memilih sendiri materi yang diinginkannya sebagai modal untuk mencari penghidupan. Apakah itu tehnik pertanian, ilmu politik atau apapun, dan untuk sebagai penyeimbang hendaknyalah pendidikan agama sudah terlebih dahulu dipupukkembangkan dalam diri anak didik, sedari dini baik melalui pendidikan agama di sekolah terutama di rumah. Apabila hatinya sudah mantap dengan nilai-nilai keagamaan, baik itu keyakinannya terhadap tuhannya, cara-cara beribadah, dan juga nilai-nilai akhlak karimahnya, maka tidak menjadi soal apabila setelah dewasa ia lebih memilih mendalami ilmu-ilmu yang dianggap ilmu “umum”.
Agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, sebagai khalifah Allah di bumi, dan ia bermanfaat bukan hanya bagi dirinya tetapi juga manusia sekelilingnya, dan terutama ia bisa menjalankan kewajibannya kepada Allah yaitu beribadah, maka manusia haruslah memiliki bekal hati dan akal yang berkualitas.
Manusia berkewajiban beribadah kepada Allah, karena memang untuk itulah manusia diciptakan, dan ibadah dalam arti yang luas bukanlah hanya menjalankan shalat dan syariah wajib lainnya, tetapi yang juga dinamakan ibadah ialah menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak melanggar norma-norma agama, sehubungan dengan keberadaan dan posisinya hidup di dunia. Apabila ia sebagai suami maka ia harus bekerja giat dan dengan cara halal untuk menghidupi anak istri, apabila ia seorang istri hendaklah ia menjadi istri yang bisa menjaga harga dirinya, juga harga diri suaminya, harta suaminya dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak dan penuh kasih terhadap keluarganya. Apabila ia seorang dosen atau guru harusnya ia mengajar dengan profesional dan memperhatikan kode etik guru sehingga ia menjadi panutan bagi anak didiknya, apabila ia seorang atasan maka ia mengatur urusan dan orang-orang yang bekerja untuknya dengan adil dan objektif, sehingga tidak satupun bawahan atau pegawainya yang merasa dirugikan atau bahkan terzhalimi karena sikapnya. Apabila ia seorang pemimpin dalam masyarakat maka hendaklah ia menjadi pemimpin yang arif bijaksana, aspiratif, adil dan bertanggung jawab penuh terhadap semua tugas-tugasnya mensejahterakan masyarakat atau rakyatnya. Hingga akhirnya dalam skop yang lebih besar, masing-masing individu haruslah memiliki kualitas akal dan hati yang baik, agar bisa memimpin dirinya sendiri ke arah yang baik dan selanjutnya mampu mempengaruhi bahkan memimpin orang lain di sekitarnya untuk ikut menjadi baik. Dan kesemuanya itu, haruslah dimulai dengan pendidikan yang mengarah kepada peningkatan kualitas hati dan akal. Pendidikan itu haruslah seimbang, asupan materi yang diberikan untuk kedua wilayah yaitu hati dan akal haruslah setara. Karena pendidikan Islam yang didasarkan kepada ajaran al Qur’an berpijak kepada keseimbangan dan keadilan dalam memperlakukan seluruh potensi yang dimiliki manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawwar, Said Aqil Husain Aktualisasi nilai-nilai Qur’ani dalam system pendidikan Islam, (Ciputat Press, Jakarta, 2005) Cet. 1
Darajat, Zakiah, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, dan Sekolah, (Bandung, Remaja Rosdakarya Offset, 1995)
Departemen Agama, Al Qur’an al Karim dan terjemahnya,(Semarang : Toha Putra, tt)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) Cet ke 9,
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Terj. Lukas GInting, (Jakarta: Erlangga, 1990)
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal Cet ke 2
Hamka, Tafsir Al Azhar
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta, LPPI, 2002) Cet. Ke V,hal 172-174
Mubarok, Achmad, Jiwa Dalam Al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. ke 1
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum,. ( Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal 7
Shihab, M. Quraish, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7, hal 378
Shihab, Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998)
Suwito dan Fauzan (Editor), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung : Angkasa, 2003)
Najati, Usman Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Terj.(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet ke 1
Nata, Abudin H, MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Media Gaya Pratama, 2005), cet ke 1
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna penciptaannya “sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut Raghib Al Asfahani seorang pakar bahasa al Qur’an, sebagaimana dikutip Quraish Shihab memandang kata taqwim disini sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibandingkan binatang, yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak lurus. Jadi, kalimat ahsanu taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Berarti sebaik-baik bentuk dalam ayat ini tidak bisa hanya difahami baik dalam bentuk fisik semata, namun juga baik dalam bentuk psikisnya. Allah berbuat demikian karena Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Oleh karenanya Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk, sehingga tidak ada satu makhlukpun yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Makhluk lain yang diciptakan oleh Allah tidak memiliki dua dimensi secara utuh layaknya manusia. Hewan dan tumbuhan memiliki dimensi jasmani yang lengkap. Sementara dimensi rohaninya tidaklah lengkap. Hewan hanya dibekali insting sebagai modal baginya untuk menyambung dan mempertahankan hidup, tetapi tidak diberi akal. Bahkan tumbuhan tidak memiliki dimensi rohani yang demikian. Makhluk lainnya seperti malaikat, tidak memiliki dimensi jasmani, demikian juga bangsa syetan dan jin, tidak memiliki dimensi jasmani. Sementara manusia, Allah menata susunan diri manusia dengan dua dimensi, jasmani dan rohani . Khatib al Baghdadi mengistilahkannya dengan ruh dan jasad, bahwa diri manusia terbangun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad. Jasad adalah organ tubuh bersifat materi, dan ruh bersifat immateri terdiri dari dua unsur lagi yaitu akal dan qalb. Akal adalah daya berfikir yang berpusat di kepala dan qalb adalah daya merasa yang berpusat di dada . Itulah yang menjadikan manusia makhluk paling sempurna dalam hal penciptaannya.
Kedua dimensi ini sudah membawa fitrahnya atau potensinya masing-masing dari kelahirannya. Hal ini diisyaratkan al Qur’an, dimana kata fitrah terulang sampai 28 kali, diantaranya dalam surat ar Rum ayat 30 yang berbunyi: “maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Kefitrahan manusia disini bermakna manusia berpotensi untuk mengenal dan beriman kepada Allah, ditandai degan adanya qalbu dan akal di dalam dirinya . Namun walau begitu, tetap saja manusia perlu mendapat pendidikan yang bisa membimbingnya untuk mengoptimalkan kemampuan dan potensi yang sudah dimilikinya itu. Agar kemampuan dan potensi yang dimaksudkan dapat berkembang dengan baik dan menuju arah yang tepat, maka dibutuhkan pendidikan dengan kurikulum yang tepat pula. Kurikulum yang bisa membantu manusia mengembangkan kemampuannya, bukan kurikulum yang justru mengekang dan mengubur potensi itu. Apalagi terkait dengan situasi dunia hari ini, dimana persaingan untuk mempertahankan hidup menjadi semakin ketat. Sehingga perjuangan yang diperlukanpun menjadi semakin keras.
Dalam kehidupan yang semakin cepat dan menuntut kemampuan serta kualitas diri yang lebih dari sekedar, manusia terutama generasi muslim mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan itu. Penyesuaian ini amatlah urgen karena bila generasi muslim terlambat membaca perubahan dan memahami tuntutan ini maka akibatnya akan semakin tertinggal dengan manusia lain, umat lain yang dengan cekatan telah mengambil posisi dan peran penting dalam persaingan global ini. Sebaliknya apabila generasi muslim dapat cepat tanggap terhadap tuntutan ini, maka umat Islam bisa berjuang dan bersaing dengan umat lain dalam banyak hal positif sehingga menjadi umat yang terbaik. Untuk mencetak manusia dan umat yang tahan uji, mampu bersaing dengan manusia dan umat lain modal utama yang harus diberikan adalah pendidikan. Karena pendidikan merupakan unsur kedua selain potensi lahiriah manusia yang merupakan modal dasar bagi kemajuan manusia itu sendiri.
Setiap program, jenjang atau jenis pendidikan memerlukan dan memiliki kurikulum. Karena kurikulum yang sudah terencana rapi akan mempermudah proses pembelajaran dalam mencapai tujuannya. Terkait dengan konsep manusia yang terdiri dari dua dimensi ini, maka kurikulum yang disodorkan haruslah dapat dengan cermat dan tepat mengena serta mengexplore potensi yang dimiliki. Namun sebelum membahas kurikulum yang dimaksud, lebih urgen lagi untuk mengetahui dan benar-benar memahami konsep manusia tersebut. Dengan adanya pengertian yang komprehensif tentang dua dimensi manusia, maka akan mudah diketahui kurikulum apa yang tepat bagi pengembangan potensi dua dimensi tersebut.
DIMENSI JASMANI
Mengenai dimensi jasmani, agaknya hal ini sudah bisa dipahami secara umum. Dimensi ini terdiri dari organ-organ tubuh yang bekerja secara terorganisir untuk kesehatan tubuh. Agar organ-organ dapat bekerja dengan maksimal dan menjalankan fungsinya masing-masing tanpa hambatan, maka perlu diberikan asupan gizi dan latihan-latihan yang bisa menjaga kesehatan organ tubuh. Oleh karenanya penting dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi diberikan pendidikan olehraga.
Bedanya dalam pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas olahraga menjadi mata pelajaran wajib yang tidak terpisah dari kurikulum sekolah, sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, olahraga tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum wajib untuk dijalani. Karena pada jenjang pendidikan tinggi, setiap lembaga pendidikan diberi otoritas penuh untuk menentukan kurikulum yang akan diterapkan pada peserta didik. Sehingga disetiap lembaga pendidikan tinggi, hampir tidak ada yang mewajibkan mata kuliah olahraga karena lebih terfokus pada mata kuliah yang lebih menunjang dan terkait dengan bidang kajian yang diinginkan atau diarahkan lembaga pendidikan tersebut. Latihan-latihan fisik atau olahraga lebih menjadi ekstra kurikuler yang bersifat tidak wajib diikuti daripada menjadi pilihan mata kuliah wajib. Ini disebabkan lembaga pendidikan tinggi tidak harus mengikuti kurikulum manapun. Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama pun tidak mewajibkan atau memberikan arahan kurikulum. Sementara untuk jenjang pendidikan dibawahnya, baik depdiknas maupun depag memiliki kewenangan untuk mengatur dan menentukan arahan kurikulum dan mata pelajaran yang harus diikuti oleh setiap lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas, dan pendidikan olahraga dan kesehatan merupakan pelajaran wajib untuk dipelajari.
Perihal olahraga dan kesehatan tidak bisa diabaikan, karena tanpa adanya ilmu tentang olahraga dan kesehatan, manusia akan kesulitan menjaga kesehatan tubuhnya. Adanya pengetahuan tentang makanan sehat, sumber-sumber gizi yang penting untuk tubuh, cara-cara pencegahan dan pengobatan penyakit secara umum serta latihan fisik yang baik dan benar, merupakan modal dasar untuk menuju tubuh yang sehat. Tubuh yang sehat merupakan syarat mutlak untuk bisa bersaing dan berjuang demi mendapatkan peran dan fungsi penting dalam persaingan hidup hari ini. Oleh karenanya sangatlah benar bila pelajaran olahraga menjadi bagian penting dan mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan baik dari lembaga pendidikan dasar sampai menengah atas. Adapun bagi peserta didik pada perguruan tinggi, karena lembaga pendidikan tinggi tidak mewajibkan mata kuliah olahraga, maka peserta didik pada lembaga pendidikan tinggi yang pada umumnya sudah memasuki rentang umur dewasa , diharapkan dapat menjaga kesehatannya tubuhnya sendiri tanpa harus diberikan tuntunan secara teratur seperti pada lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya.
DIMENSI ROHANI
Sebaik apapun dimensi jasmani apabila dimensi rohaninya tidak terurus dengan baik, maka manusia akan sama dengan hewan. Bertingkah laku dan berfikir layaknya hewan, yang hanya memiliki insting untuk memperjuangkan hidupnya. Hewan tidak punya hati dan akal fikiran, insting yang diberikan Allah kepadanya hanya berguna untuk mencari makanan dan mempertahankan diri dari musuh. Karena tidak adanya hati dan akal fikiran maka hewan bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan makanan sebagai usaha menyambung hidup dan bisa menyerang siapa saja atau apa saja dengan cara apapun sebagai usahanya mempertahankan hidup. Apabila manusia tidak mendapat pendidikan yang tepat untuk membimbing rohaninya, maka manusia akan kehilangan fungsi dimensi rohaninya ini sehingga dapat melakukan apa saja, menyerang dan menyakiti siapa saja asalkan kebutuhan hidupnya terpenuhi dan merasa puas, walaupun untuk kepuasan itu ia mengorbankan kepentingan dan kebahagiaan manusia lain, layaknya hewan.
Seperti dikatakan bahwa hewan bertingkah laku hewani karena dimensi rohaninya tidak lengkap, hanya ada insting tanpa ada hati dan akal fikiran, maka sebaliknya manusia diharapkan dapat bertingkah laku manusiawi karena memiliki apa yang tidak dimiliki hewan yaitu hati dan akal fikiran; inilah yang menjadi bagian penting dimensi rohani manusia. Manusia perlu mendapatkan pendidikan yang tepat agar potensi dimensi rohaninya berkembang ke arah yang benar. Sebelumnya harus dipahami dulu apa yang dimaksud dengan hati dan akal sehingga dapat dengan lebih baik menentukan dan memilih kurikulum yang tepat untuk pengembangannya.
HATI
Dalam kamus besar bahasa Indonesia hati memiliki arti bebeapa macam, salah satunya bisa diartikan organ tubuh yang berwarna kemeah-merahan di bagian kanan rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan, dan ada juga arti lain : sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian atau perasaan apapun .bila dibicarakan dari sudut medis maka yang dikatakan hati adalah liver, namun bukan hati yang ini yang dimaksudkan. Lebih tepat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hati dari sudut pandang psikologi yaitu labih mengacu kepada perasaan. Hati sendiri dalam al Qur’an dibahasakan dengan istilah qalbu, sementara term qalbu ini tidak hanya berarti hati saja, tetapi juga jantung, isi, akal, semangat keberanian, bagian dalam, dan juga untuk menyebut sesuatu yang murni , bukan untuk menyebut hati dalam istilah medis yaitu liver. Sementara untuk hati dalam pengertian liver ini diberikan term al kabid.
Al Qur’an menggunakan term qalbu dan fu’ad untuk menyebut hati manusia,
al Qur’an juga menggunakan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebut suasana hati dan jiwa sebagai suatu kesatuan psikologis : . Selanjutnya al Qur’an menggunakan term qalbu dalam pengertian akal : . Kadang qalbu juga berarti ruh .
Secara lughawi qalbu artinya bolak-balik, dan ini menjadi karakteristik dari qalbu itu sendiri, yaitu tidak konsisten, demikian Ahmad Mubarok menjelaskan. Selanjutnya Ahmad Mubarok membagi gagasan tentang qalbu ini menjadi tiga bagian: fungsi dan potensi hati, kandungan hati dan sifat-sifat hati.
Fungsi dan potensi qalbu
Fungsi yang utama dari qalbu adalah untuk memahami realitas dan nilai-nilai maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? . Pada ayat ini qalbu memiliki potensi yang sama dengan akal. Berangkat dari fungsi inilah maka qalbu secara sadar dapat memutuskan atau melakukan sesuatu , dan dari potensi inilah maka yang harus dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allah adalah apa yang disadari oleh qalbu : “ Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja untuk bersumpah oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyantun”. Begitu juga dengan pengertian istilah fu’ad dalam ayat ini “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Selanjutnya potensi hati yang diungkapkan al Qur’an adalah :
Bisa berpaling :
Merasa kesal dan kecewa :
Secara sengaja memutuskan dan melakukan sesuatu
Berprasangka : Al Fath 48 : 12
Menolak sesuatu : Al Tawbah 9 : 8
Mengingkari : Al Nahl 16 : 22
Dapat diuji : Al Hujurat 49 : 3
Dapat ditundukkan : Al Hajj 22 : 54
Dapat diperluas dan dipersempit : Al An’am 6 : 125
Bisa ditutup rapat : Al Baqarah 2 : 7
Kandungan qalbu
Menurut Mubarok, dalam al Qur’an sudah dipaparkan kandungan hati, yaitu sebagai berikut
Kedamaian : al Fath 48 : 4
Penyakit, diterangkan sebagai penyakit lemah keyakinan dalam ayat Al Baqarah 2 : 10 dan penyakit kenakalan diterangkan dalam surat Al Ahzab 33 : 32
Perasaan takut : Ali Imran 3 : 151
Keberanian : Ali Imran 3 : 126
Cinta dan kasih sayang :Al Hadid 57 : 27
Kebaikan :Al Anfal 8: 70
Iman :Al Hujurat 49,: 7, 14
Kedengkian :Al Hasyr 59 :10
Kufur : Al Baqarah 2: 93
Kesesatan : Ali Imran 3 : 71
Penyesalan : Ali Imran 3 : 156
Panas hati : Al Tawbah 9 :15
Keraguan : Al Tawbah 9 : 45
Kemunafikan : Al tawbah 9 : 77
Kesombongan : Al Fath 48 : 26
Sesuai dengan karakternya yang bolak balik maka kadar kandungan hati juga dapat berubah-ubah.
Sifat dan keadaan qalbu
Qalbu mempunyai karakter yang tidak konsisten, hingga karenanya sering terkena konflik batin. Interaksi yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai positif dengan tarikan potensi negatif yang berasal dari kandungan hatinya, melahirkan suatu keadaan psikologis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi tersendiri dari qalbu itu. Proses pencapaian kondisi qalbu melalui tahapan-tahapan perjuangan rohaniah, dan dalam prose itu menurut al Qur’an, manusia bersifat tergesa-gesa dan sering berkeluh kesah, masih menurut Mubarok.
Proses interaksi psikologis itu mengantar hati pada kondisi dan kualitas hati yang berbeda-beda, diantaranya :
Keras dan kasar hati : ali Imran 3 : 159
Hati yang bersih : Al Syuara 26 : 89
Hati yang terkunci mati : Al Syura 42 : 24
Hati yang bertaubat :Qaf 50 : 33
Hati yang berdosa : Al Baqarah 2 : 283
Hati yang terdinding : Al Anfal 8 : 24
Hati yang tetap tenang : An Nahl 6 : 106
Hati yang lalai : Al Anbiya 21 : 3
Hati yang menerima petunjuk tuhan : Al Taghabuun 64 : 11
Hati yang teguh : Al Qashshash 28 : 10
Hati yang takwa : Al Hajj 22 : 32
Hati yang buta : Al Hajj 22 : 46
Hati yang terguncang : Al Nur 24 : 37
Hati yang sesak : Al Mukmin 40 : 18
Hati yang tersumbat :Al Baqarah 2 : 88
Hati yang sangat takut : An Naziat 79 : 8
Hati yang condong kepada kebaikan : At Tahrim 66 : 4
Hati yang keras membatu : Al Baqarah 2 : 74
Hati yang lebih suci : Al Ahzab 33 : 53
Hati yang hancur Al Tawbah 9 : 110
Hati yang inkar : Al Nahl 16 : 22
Hati yang kosong : Ibrahim 14 : 43
Hati yang terbakar : Al Humazah 104 : 6-7
Dari keterangan di atas, yang berkaitan dengan fungsi, potensi, kandungan dan kualitas hati yang disebut dalam al Qur’an, disimpulkan bahwa qalb memiliki kedudukan yang tinggi dalam pengaturan arah hidup manusia. Qalb lah yang memutuskan dan menolak sesuatu, juga bertanggung jawab atas apa yang diputuskan. Sesuai pula dengan hadits nabi yang diriwayatkan Bukhari Muslim yang mengatakan bahwa qalb adalah penentu bagi kesehatan manusia secara komprehensif “sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, tetapi diantara yang halal dan yang haram itu banyak perkara syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga diri dari yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus ke dalam syubhat berarti ia telah terjerumus ke dalam yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekeliling tanah larangan, dikhawatirkan akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan, dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan. Ketahuilah bahwa dalam setiap tubuh manusia ada sepotong organ yang jika ia sehat maka seluruh tubuhnya sehat, tetapi jika ia rusak maka seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa organ itu adalah hati.”
AKAL
Kata akal dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai daya berfikir, dan mengingat berasal dari bahasa Arab (aql ) yang mengandung arti mengikat atau menahan tetapi secara umum akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, demikian yang dikutip Achmad Mubarok . Dalam psikologi modern akal dipahami sebagai kecakapan untuk menyelesaikan masalah (problem solving capacity).
Dalam ensiklopedi Islam dikatakan bahwa akal adalah daya berfikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya jiwa, mengandung arti berfikir, memahami, dan mengerti . Dalam al Qur’an aql tidak disebutkan dalam bentuk kata benda yang berdiri sendiri, melainkan dalam bentuk kata kerja, baik dalam bentuk fi’il madli maupun fi’il mudlari. Dalam al Qur’an, kalimat aql disebut dalam 49 ayat, satu kali dalam bentuk ‘aqiluuhh 24 kali dalam bentuk kalimat ta’qiluun satu kali dalam bentuk na’qilu satu kali dalam bentuk ya’qiluhaa dan 22 kali dalam bentuk kalimat ya’qiluuna.
Menurut Lisan Al ‘Arab, al ‘aql juga berarti al hajar yang artinya menahan, sehingga yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al Qur’an juga menyebut orang yang berakal dengan beberapa istilah yaitu uulinnuhaa yang berarti orang yang memiliki pencegah atau akal yang mencegah dari keburukan , uulul ilmi yang berarti orang yang berilmu , uuluul albab yang berarti orang yang mempunyai saripati akal , uulul abshaar yang berarti orang yang mempunyai pandangan yang tajam , dan dzuu hijr yaitu orang yang mempunyai daya tahan .
Kata aqala mengandung arti yang pasti yang mengerti, memahami dan berfikir. Hanya saja al Qur’an tidak menjelaskan bagaimana proses berfikir itu, pun tidak membedakan di mana letak daya berfikir dan letak alat berfikir. Juga tidak mengatakan pusat berfikir itu apakah di kepala atau di dada, karena qalb yang ada di dada juga kadang diterjemahkan dengan makna berfikir layaknya akal. Hal itu bisa dilihat di Al Tawbah 9:93 dan surat Muhammad 47:24. Jadi menurut al Qur’an aktivitas berfikir dan merasa tidak hanya menggunakan akal saja atau hati saja tetapi keduanya memiliki peranan yang sama penting. Sejalan dengan itu Abu Hudzail Al Allaf berpendapat bahwa akal berasal dari qalb, apabila mencapai kesempurnaan, akal ini berakhir pada otak manusia yang disebut dengan ilmu, sedangkan yang bersemayam dalam qalb adalah iradah yang menimbulkan harikah atau gerak. Untuk itu, akal haruslah berakal dari qalb agar dapat dikendalikan oleh qalb. Optimalisasi peran akal adalah untuk melakukan observasi, penelitian dan menentukan pilihan. Akal merupakan jalinan rasa dan rasio, yang mampu menerima segala sesuatu yang ditangkap panca indra dan sesuatu yang diluar pengalaman empiris. Akal berfungsi untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan dan mencarikan solusinya .
Sementara itu psikologi sudah mengkaji teknis kerja sistem jiwa dengan bahasan yang sangat rinci. Tentang otak, telah dibahas bahwa otak merupakan alat berfikir, dimana bagian kiri bekerja untuk hal-hal yang logis, seperti berbicara, bahasa, hitungan matematika, menulis dan ilmu pengetahuan yang bersifat logika, otak kanan bekerja untuk hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi, demikian tulis Mubarok.
Kapasitas akal
Manusia adalah makhluk yang perkembangannya sangat lambat dan bertahap di banding hewan. Walau begitu, manusia memiliki kapasitas kemampuan kerja yang sangat jauh lebih tinggi daripada hewan. Pembicaraan mengenai kapasitas akal ini sudah menarik perhatian para pemikir dari zaman dulu. Dalam lapangan teologi, aliran-aliran teologi seperti Mu’tazilah, Asy ‘ariyah dan Maturidiyah menempatkan pembahasan mengenai akal pada posisi dan fungsi yang penting, yaitu fungsi akal terhadap pengetahuan tentang keberadaan Tuhan dan tentang baik dan buruk. Dalam urusan pemaknaan hadits, para ahli hadits juga mengakui kehebatan daya analisis akal, sehingga dibolehkan penafsiran hadits bir ra’yi dengan berbagai persyaratannya. Tidak ketinggalan di kalangan fuqaha, kualitas akal juga diterima dan diapresiasi, sehingga membolehkan orang-orang dengan kualitas dan kapasitas akal tertentu untuk berijtihad terhadap suatu masalah. Bahkan metode ijtihadpun diakui penggunaannya terhadap suatu masalah yang benar-benar tidak ada pemecahannya sedikitpun setelah dirujuk kepada Al Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Tentang kapasitas akal, al Qur’an menurut Achmad Mubarok menjelaskan sebagai berikut :
Dengan akal, manusia dimungkinkan untuk berfikir menemukan kebenaran dan mengikutinya sebaliknya kekeliruan cara berfikir dapat menempatkan manusia sejajar dengan makhluk yang tidak berakal. Ini diisyaratkan dalam surat al Furqan 25:44. Sejalan dengan ini Ibnu Miskawaih –seperti yang diungkap Usman Najati mengatakan bahwa manusia memiliki daya fikir. Daya fikir menurut Miskawaih adalah daya yang menimbulkan proses berfikir dan ini mengarah pada kemampuan akal. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan atau daya ini. Daya inilah yang membedakan manusia dari hewan. Derajat manusia dan tingkat perbedaannya dengan hewan atau makhluk tidak berakal lainnya tergantung pada tingkat dinamika, konsistensi, kebenaran penalaran, serta kemampuan membedakan dari daya ini. Intinya kadar kemanusiaan manusia bergantung pada kadar penerimaannya terhadap pengaruh akal. Hampir serupa dengan ungkapan Ikhwan ash Shafa bahwa akal adalah salah satu diantara daya-daya jiwa manusia yang fungsinya merenung, berfikir, merasionalkan, membedakan dan melaksanakan pekerjaan. Berfikir bagi ash Shafa adalah mengeluarkan semua pengetahuan yang dikenal, merenung adalah mengatur barang milik dan menyiasati masalah, mengkonsepsi adalah menjelajahi hakikat segala sesuatu, mensintesis adalah mengenal segala jenis dan macam, dan menganalogi adalah menjelajahi segala sesuatu yang hilang karena waktu dan ruang .
Akal mampu memahami hukum kausalitas, dalam surat al Mu’minun 23:18 dijelaskan bahwa Allah menyuruh manusia berfikir tentang Zat yang menghidupkan dan mematikan serta pertukaran malam dan siang.
Akal mampu memahami adanya system jagad raya, tercermin dalam dialog panjang antara Nabi Musa dan Fir’aun dalam surat As Syu’ara 26 : 18-68. Fungsi akal yang ini juga dilontarkan oleh Abu Bakar Ar Razi .
Mampu berfikir distinktif, yaitu mampu memilah-milah permasalahan dan menyusun sistematika dari fenomena yang diketahui, diisyaratkan ayat ke empat surat al Ra’ad. “dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami air yang sama,. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Mampu menyusun argumen yang logis. Ini diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 65-68 yang berisi teguran bagi kaum ahli kitab yang saling berbantah tanpa argumen yang logis, “hai ahli kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berfikir.”
Mampu berfikir kritis, yaitu kritis terhadap pendapat dan gagasan yang disampaikan orang lain yang tidak memiliki pijakan yang benar, dipaparkan dalam surat al Maidah ayat 103.
Mampu mengambil pelajaran dari pengalaman. Sepeti teguran Allah terhadap orang Yahudi yang tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah yang telah mereka lalui. Ini tergambar dalam surat al A’raf ayat 164-169, yang diakhiri dengan kalimat : “apakah kamu tidak berfikir”.
Setelah uraian panjang di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hati dan akal merupakan sebuah pasangan kekuatan yang harus bersinergi untuk mengendalikan tingkah laku, sikap dan perbuatan manusia. Intinya hati dan akal harus memainkan peran yang besar dalam pengendalian kehidupan manusia ke arah yang benar. Menurut Buya Hamka, orang yang ada hati, orang itulah yang disebut berfikir. Ada hati artinya adalah ada inti fikiran dan ada akal budi. Apapun yang didengar telinga, dilihat mata, kesemuanya itu dibawa ke dalam hati, maka akan timbullah pertimbangan dan penelitian mendalam. Dua pasang panca indera secara aktif menyambungkan diri manusia dengan alam sekitarnya, yaitu penglihatan mata dan pendengaran telinga yang kemudian dicerna di dalam hati. Oleh sebab itu sangat tercela orang yang ada hati tetapi tidak berjalan fikirannya, ada mata tetapi tidak melihat, ada telinga tetapi tidak mendengar, sedangkan kedua panca indera itulah yang menghubungkan manusia dengan alam di luar dirinya. Kehalusan dan kecepatan tanggapan pendengaran, penglihatan dan hati itulah yang mempertinggi kecerdasan manusia di dunia ini .
Untuk peranan yang sebesar dan sepenting itu, hati dan akal tidak begitu saja menjadi mampu dan berkualitas secara instan seiring pertambahan umur manusia. Manusia memerlukan pendidikan yang baik untuk memberi pembelajaran terhadap hati dan akalnya.
KAITANNYA DENGAN KURIKULUM
Keberhasilan pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari kurikulum yang telah direncanakan. Sehingga kurikulum memang memegang peranan penting bagi suksesnya sebuah proses pendidikan. Kurikulum yang dijalankan di sekolah-sekolah haruslah mengandung pelajaran-pelajaran yang memang dibutuhkan untuk pendidikan jasmani dan rohani peserta didik.
Untuk dimensi jasmaninya, pendidikan olahraga dan kesehatan sudah memiliki porsi dan posisi sebagai mata pelajaran yang wajib untuk diberikan pada peserta didik. Sementara untuk dimensi rohaninya, yaitu pendidikan hati dan akal, sampai saat ini pemerintah sepertinya masih terus mencari, mengolah dan mengujicobakan model-model kurikulum yang berganti-ganti. Kesemuanya itu dengan tujuan lebih memberdayakan lagi kompetensi hati dan akal peserta didik.
Pendidikan kualitas hati yang bagi Ibnu Qayyim al Jauziyah disebut “tarbiyatul qulb”, bagi al Ghazali dinamakan “riyadhatul qalbi”, sementara Buya Hamka menyebutnya dengan pendidikan hati, sangatlah berpengaruh terhadap pola berfikir akal nantinya. Oleh karena itu pendidikan hati tidak bisa dijadikan bahasan sampingan, karena ia memiliki pengaruh dan bahkan bisa menjadi pengendali terhadap cara kerja otak atau kinerja akal. Untuk tujuan peningkatan kualitas hati, jelas pendidikan agama memegang peranan terpenting dan terutama.
Pendidikan agama merupakan modal dasar manusia untuk menjadi baik dari segala segi, apakah itu sikap, perbuatan, perkataan bahkan pola fikir. Bicara mengenai pendidikan agama, maka kurikulum dan proses pendidikan agama yang paling mendasar terdapat bukan di lingkungan sekolah, melainkan di lingkungan keluarga dengan pendidik utama dan pelaksana kurikulum adalah orang tua. Anak merupakan investasi atau modal yang ditanam orang tua untuk bekal di akhirat kelak. Oleh karenanya orang tua hendaklah merawat, menyantuni dan bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan anak semaksimal mungkin.
Atas dasar ini dapat dilihat bentuk hubungan orang tua dan anak dalam tiga segi , yaitu:
1. hubungan tanggung jawab
anak adalah amanah yang dititipkan Allah dan kelak Allah akan bertanya bagaimana pertanggungjawaban atas amanah yang telah dititipkan tersebut. Allah menyuruh orang tua untuk menyayangi, memenuhi kebutuhan dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Pendek kata orang tua berkewajiban memimpin anak-anaknya dalam menjalani hidup ini dan nanti kepemimpinannya itu akan dipertanyakan allah di akhirat.
2. hubungan kasih sayang
anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang, itu merupakan suatu yang alami. Bak sebuah perhiasan yang memperindah, begitulah gambaran kehadiran anak dalam hidup orang tua, sebagai perhiasan dunia yang memperindah kehidupan, begitu pula dengan harta. Namun bukan berarti orang tua boleh menyayangi anaknya tanpa batas, karena perasaan cinta terbesar hanyalah milik Allah. Allah melarang manusia sangat mencintai atau bahkan menggantungkan harapan kepada anak dan juga harta, walau kedua hal ini memang perhiasan dunia, dimana tanpa keduanya kehidupan orang tua akan terasa kurang lengkap.
3. hubungan masa depan
anak merupakan investasi orang tua di akhirat, oleh karenanya sangatlah urgen bagi orang tua untuk mendidik anaknya dengan pendidikan agama yang cukup. Karena pendidikan agama menjadi penentu arah dalam hidup anak nantinya terutama setelah kepergian orang tua ke alam baqa. Bila anak menjadi tidak tahu menahu dengan norma agama, dan itu karena kurangnya pengawasan dan pendidikan agama dari orang tua maka itu akan menjadi beban yang sangat berat bagi orang tua di akhirat. Karena orang tua melalaikan kewajiban pemeliharaan anak yang telah dititipkan Allah, dan itu adalah dosa yang akan ditebus orang tua. Sebaliknya orang tua yang berhasil menjadikan anaknya hamba yang shaleh, berarti ia berhasil menunaikan kewajiban sebaik mungkin dan di akhirat nanti ia tidak akan di azab karena melalaikan kewajiban yang diembankan Allah di bahunya.
Salah satu bagian dari pendidikan agama adalah pendidikan akhlak dan moral. Pendidikan akhlak merupakan materi penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Karena manusia yang tidak berakhlak dan tidak bermoral walaupun kemampuan akalnya sangat tinggi akan jauh lebih membahayakan dari pada manusia yang bermoral dengan kemampuan akal yang tidak terlalu tinggi. Akhlaklah yang mampu menjadi rambu bagi manusia untuk tidak melakukan sesuatu yang asusila. Akhlak yang mulia akan menjadi pilar utama untuk tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Kemampuan untuk bertahan hidup ditentukan oleh sejauh mana rakyat dari bangsa tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan moral. Semakin baik akhlak dan moral masyarakat suatu bangsa, maka akan semakin baik semua sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut , demikian menurut salah satu mantan mentri agama negeri ini, Said Agil Munawwar.
Kekuatan akhlak sebagai rambu ini baru akan berfungsi bila akhlak itu sudah ditanamkan sejak dini. Karena akhlak dalam Islam bukan hanya sekedar indoktrinasi hukum-hukum yang dilegalisir dengan ayat-ayat, namun merupakan refleksi dari kualitas iman yang dimiliki individu. Oleh karenanya pendidikan akhlak juga tidak terlepas dari pendidikan keimanan. Akhlak yang ditanamkan tidak berbarengan dengan pendidikan keimanan, lambat laun hanya akan menjadi keharusan atau bahkan formalitas, dimana sesuatu yang bersifat kebiasaan atau formalitas bisa ditinggalkan sewaktu-waktu bila ada yang lebih penting untuk dilakukan. Sebaliknya akhlak yang ditanamkan seiring dengan pendidikan keimanan, lambat laun norma-norma akhlak tersebut akan menjadi bagian dari identitas diri, bagian dari konsep diri, dan akhirnya menjadi suatu kebutuhan bukan kebiasaan. Dimana segala sesuatu yang bersifat kebutuhan akan selalu dilakukan, sampai rasa pemenuhan terhadap kebutuhan itu tercapai. Intinya, manusia yang sejak dini mendapat pendidikan akhlak yang cukup disertai pendidikan keimanan yang memadai maka ia akan menjadikan akhlak sebagai bagian dari dirinya dan akan selalu ia jaga karena ia merasa butuh untuk berakhlak.
Pendidikan akhlaq terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun sekolah perlu dilakukan dengan beberapa cara :
1. menumbuhkembangkan dorongan dari dalam, yang bersumber pada iman dan taqwa
2. meningkatkan pengetahuan tentang akhlaq yang dianjurkan leweat ilmu pengetahuan, pengamalan dan latihan. Agar dapat membedkan yang baik dan yang buruk
3. meningkatkan pendidikan keimanan yang menumbuhkembangkan pada diri manusia kebebasan memilih yang baik dan melaksanakannya, selanjutnya keimanan itu akan mempengaruhi perasaan dan fikiran.
4. latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan baik tanpa paksaan
5. pembiasaan dan pengulangan melakukan hal-hal yang baik sehingga perbuatan baik menjadi keharusan moral, kebiasaan yang mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar dalam diri manusia
Keberhasilan pendidikan moral selain harus ditunjang oleh keberhasilan sub pendidikan agama lainnya, seperti pendidikan tentang keimanan, pendidikan tentang materi ibadah dan lainnya, tidak lupa peranan pendidik dalam mendidik akhlak dan moral peserta didik juga sangat menentukan keberhasilan pendidikan moral tersebut. Pendidik atau orang tua yang dipandang kurang berakhlak bahkan nyaris tidak bermoral dalam sikap keseharian, perbuatan dan perkataannya cenderung akan menghasilkan peserta didik yang bisa lebih tidak bermoral dan tidak berakhlak lagi. Emile Durkheim berpendapat bahwa tanggung jawab mendidik moral anak didik ada pada Negara, karena masalah moralitas tidak bisa dikaitkan dengan agama dan bukanlah tanggung jawab orang tua . Pendapat Durkheim ini tidak berlaku di dunia pendidikan Islam, karena justru sebaliknya, dalam Islam orang tua merupakan guru pertama bagi anak hampir dalam segala hal, terutama moral atau akhlak.
Apabila pendidikan keimanan telah mulai ditanamkan sejak dini seiring itu pula pendidikan akhlak bisa diterima oleh anak, sehingga anak bisa mulai dilatih berakhlak yang baik dengan dikenalkan kepada dasar-dasar sebab mengapa ia harus berakhlak baik. Ini akan membuat anak lebih mudah diajak berakhlak apabila ia diberikan dalil –sesuai kemampuan penerimaannya- yang menuntut ia untuk berakhlak. Apabila dari rumah anak sudah dibekali “basic” pendidikan keimanan dan pendidikan akhlak maka ketika di sekolah ia akan lebih mudah menerima pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan keimanan dan akhlak, sehingga lebih mudah pula penerapannya. Pada kelanjutannya, anak yang terpelihara pendidikan agamanya baik sisi keimanan maupun akhlaknya sedari dini di rumah dan di sekolah, bisa diharapkan untuk menjadi manusia yang beragama dan berakhlak. Dengan kata lain, manusia yang memiliki kualitas hati yang bersih dan bagus.
Namun, jika melihat tantangan hidup hari ini, memiliki hati yang baik dan akhlaq mulia saja belum cukup untuk hidup bahagia. Karena dunia sekarang menuntut skill yang lebih dari sekedar. Kemampuan nalar yang lebih dari standar, dan kualitas akal yang tidak bisa hanya pas-pasan. Untuk itu, anak didik juga perlu diberikan asupan materi pelajaran yang bisa merangsang daya nalar dan mempertinggi daya tanggap akal. Salah satu pelajaran penting yang tidak bisa ditinggalkan adalah matematika, walau kenyataannya banyak pelajar yang merasa bermusuhan dengan mata pelajaran ini, namun sesungguhnya mereka tidak menyadari bahwa matematika adalah salah satu ilmu yang bisa merangsang daya nalar dan mempercepat proses kerja otak. Salah satu pelajaran lain yang penting untung merangsang daya kerja akal adalah sejarah, dalam pelajaran sejarah terdapat pendidikan untuk menguatkan memori daya ingat, dan juga kemampuan menganalisa. Tidak beda halnya dengan ilmu biologi, kimia dan fisika, didalamnyapun terdapat latihan untuk menganalisa fenomena-fenomena tertentu, yang pada gilirannya kemampuan menganalisa dan mengkritisi fenomena ini bisa digunakan anak didik –saat ia telah dewasa- untuk menganalisa dan mengkritisi masalah-masalah dalam kehidupan, tantangan dan hambatan di dunia kerja dan sebagainya.
Terkait dengan ini, Ibu Hanifah mengajarkan tentang penganalisaan suatu masalah dengan pencarian hakikat seperti inti persoalan dan pengenalan alasan serta hukum-hukum dibalik teks-teks tertulis dengan menggunakan metode berfikir secara analisis dan kritis. Karena bagi Hanifah pendidikan pada hakikatnya adalah kemampuan kerja fikir untuk menganalisa suatu masalah yang ada di sekitarnya. Taraf berfikir menurut Hanifah adalah 1) pengetahuan : pada tahap ini anak didik baru belajar reseptif atau menerima apa yang diberikan. 2) komprehensi : pada tahap ini anak didik mulai berfikir dalam konsep tertentu dan belajar pengertian, 3) aplikasi : di tahap ini anak didik mulai belajar menerapkan apa yang sudah di dapatkan, 4) analisa dan sintesa : anak didik diajar untuk menguraikan fakta-fakta dan mulai menggabungkan, yang terakhir yaitu 5) evaluasi : ini tahap terakhir, disini anak didik dituntut untuk berfikir kreatif atau berfikir untuk memecahkan masalah .
Pada dasarnya semua ilmu memiliki fungsinya tersendiri bagi perkembangan otak anak didik. Oleh karenanya tidaklah benar bila dikotomi ilmu pengetahuan masih juga diberlakukan. Baik ilmu yang membahas ketauhidan tuhan, agama –termasuk didalamnya ilmu tentang al Qur’an dan hadits, fiqih dan ilmu kalam, dsb- , bahasa arab atau apapun yang menunjang dan berkaitan dengan kesemua itu adalah sama pentingnya untuk dipelajari dan dimengerti dengan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, sejarah manusia atau kelompok bangsa tertentu, bahasa inggris atau mandarin, atau ilmu tentang tehnik mesin, komputer dan sejenisnya atau yang berkaitan dengannya. Bahwa mengamati fenomena alam dalam biologi sama baiknya dengan mempelajari ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentang keharusan bersyukur, karena lewat pengamatan terhadap fenomena alam manusiapun bisa bersyukur. Bahwa mempelajari tehnik informasi komputer sama baiknya dengan mempelajari ilmu dagang dalam kacamata Islam, jangan karena dahulu Nabi berdagang maka mata pencaharian yang halal hanya berdagang, sementara menjadi tehnisi komputer tidak halal. Karena sesungguhnya yang memegang kendali adalah hati, sehingga walaupun jenis pekerjaan yang dijalani halal namun bila hati tidak bersih maka akan selalu ada cara untuk menjalani pekerjaan halal itu dengan cara-cara yang haram sehingga hasil pekerjaan itu menjadi haram. Akan lebih baik menjadi tehnisi TV atau komputer tetapi berusaha dengan jujur tidak ada penipuan sehingga uang yang didapatkan halal, daripada menjadi pedagang kain seperti sejarah Nabi namun menipu pelanggan dan itu adalah haram, sehingga uang yang dihasilkan haram.
Karena dalam surat al Qashshash diisyaratkan bahwa Allah menyuruh manusia untuk tidak melupakan nasibnya di dunia walaupun tujuan terpenting adalah kampung akhirat, hidup sesudah mati. Ini berarti Allah membolehkan manusia untuk berusaha sehabis kemampuan akal dan tenaganya untuk bisa menggapai kebahagiaan dunia dengan tetap memperhatikan rambu-rambu yang telah dipancangkan agama. Ini juga berarti Allah tidak menyukai manusia yang tidak mau berjuang mencapai kebahagiaan hidup, hanya pasrah dan tidak mau mengeksplorasi kemampuan akal dan tenaganya untuk bersaing dan berusaha mengambil peran penting dalam hidup hingga ia bisa bermanfaat bagi dirinya dan manusia lainnya. Berarti kurikulum yang tepat dan sesuai dengan konsep manusia seperti yang dipaparkan di atas adalah kurikulum yang didalamnya tidak ada dikotomi ilmu, tidak membatasi dan mengungkung daya nalar. Tidak mengikat anak didik untuk hanya belajar pelajaran-pelajaran tentang agama sementara materi-materi penting yang berkaitan dengan tuntutan hidup hari ini seperti halnya memahami tehnologi informasi komputer, tehnik mesin, kedokteran, bahasa asing selain bahasa arab dan lain sebagainya dianggap tidak perlu dipelajari. Sebaiknya anak didik diberi kebebasan memilih sendiri materi yang diinginkannya sebagai modal untuk mencari penghidupan. Apakah itu tehnik pertanian, ilmu politik atau apapun, dan untuk sebagai penyeimbang hendaknyalah pendidikan agama sudah terlebih dahulu dipupukkembangkan dalam diri anak didik, sedari dini baik melalui pendidikan agama di sekolah terutama di rumah. Apabila hatinya sudah mantap dengan nilai-nilai keagamaan, baik itu keyakinannya terhadap tuhannya, cara-cara beribadah, dan juga nilai-nilai akhlak karimahnya, maka tidak menjadi soal apabila setelah dewasa ia lebih memilih mendalami ilmu-ilmu yang dianggap ilmu “umum”.
Agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, sebagai khalifah Allah di bumi, dan ia bermanfaat bukan hanya bagi dirinya tetapi juga manusia sekelilingnya, dan terutama ia bisa menjalankan kewajibannya kepada Allah yaitu beribadah, maka manusia haruslah memiliki bekal hati dan akal yang berkualitas.
Manusia berkewajiban beribadah kepada Allah, karena memang untuk itulah manusia diciptakan, dan ibadah dalam arti yang luas bukanlah hanya menjalankan shalat dan syariah wajib lainnya, tetapi yang juga dinamakan ibadah ialah menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak melanggar norma-norma agama, sehubungan dengan keberadaan dan posisinya hidup di dunia. Apabila ia sebagai suami maka ia harus bekerja giat dan dengan cara halal untuk menghidupi anak istri, apabila ia seorang istri hendaklah ia menjadi istri yang bisa menjaga harga dirinya, juga harga diri suaminya, harta suaminya dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak dan penuh kasih terhadap keluarganya. Apabila ia seorang dosen atau guru harusnya ia mengajar dengan profesional dan memperhatikan kode etik guru sehingga ia menjadi panutan bagi anak didiknya, apabila ia seorang atasan maka ia mengatur urusan dan orang-orang yang bekerja untuknya dengan adil dan objektif, sehingga tidak satupun bawahan atau pegawainya yang merasa dirugikan atau bahkan terzhalimi karena sikapnya. Apabila ia seorang pemimpin dalam masyarakat maka hendaklah ia menjadi pemimpin yang arif bijaksana, aspiratif, adil dan bertanggung jawab penuh terhadap semua tugas-tugasnya mensejahterakan masyarakat atau rakyatnya. Hingga akhirnya dalam skop yang lebih besar, masing-masing individu haruslah memiliki kualitas akal dan hati yang baik, agar bisa memimpin dirinya sendiri ke arah yang baik dan selanjutnya mampu mempengaruhi bahkan memimpin orang lain di sekitarnya untuk ikut menjadi baik. Dan kesemuanya itu, haruslah dimulai dengan pendidikan yang mengarah kepada peningkatan kualitas hati dan akal. Pendidikan itu haruslah seimbang, asupan materi yang diberikan untuk kedua wilayah yaitu hati dan akal haruslah setara. Karena pendidikan Islam yang didasarkan kepada ajaran al Qur’an berpijak kepada keseimbangan dan keadilan dalam memperlakukan seluruh potensi yang dimiliki manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawwar, Said Aqil Husain Aktualisasi nilai-nilai Qur’ani dalam system pendidikan Islam, (Ciputat Press, Jakarta, 2005) Cet. 1
Darajat, Zakiah, Pendidikan Islam Dalam Keluarga, dan Sekolah, (Bandung, Remaja Rosdakarya Offset, 1995)
Departemen Agama, Al Qur’an al Karim dan terjemahnya,(Semarang : Toha Putra, tt)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) Cet ke 9,
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Terj. Lukas GInting, (Jakarta: Erlangga, 1990)
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal Cet ke 2
Hamka, Tafsir Al Azhar
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta, LPPI, 2002) Cet. Ke V,hal 172-174
Mubarok, Achmad, Jiwa Dalam Al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. ke 1
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum,. ( Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal 7
Shihab, M. Quraish, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7, hal 378
Shihab, Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998)
Suwito dan Fauzan (Editor), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung : Angkasa, 2003)
Najati, Usman Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Terj.(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet ke 1
Nata, Abudin H, MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Media Gaya Pratama, 2005), cet ke 1
0 Response to "KONSEP MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN KURIKULUM"
Post a Comment