rencana proposal disertasi

PERKEMBANGAN DAYA KOGNISI ANAK AUTISTIK

A. Latar Belakang Masalah
Rentang kehidupan manusia telah dibagi oleh ahli psikologi ke dalam beberapa masa, dimana dalam setiap masanya ada tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai dan tercapai. Karena pencapaian tugas perkembangan pada satu tahapan kehidupan mempengaruhi pencapaian perkembangan pada tahap atau masa berikutnya. Pada rentang umur 2 sampai 6 tahun anak dikatakan berada pada masa Anak Awal (early childhood). Pada usia ini, terdapat berbagai macam istilah yang dapat diberikan, yaitu:
1. Orang tua sering menyebutnya dengan “problem age” atau “troublesome age”. Karena, pada periode ini orang tua sering dihadapkan pada problem tingkah laku, misalnya keras kepala, tidak menurut, negativisme, tempertantrums, mimpi buruk, iri hati, ketakutan yang tidak masuk akal pada siang hari, dan sebagainya.
2. Para pendidik menyebut periode ini sebagai usia pra sekolah (pre-school age), yaitu periode persiapan untuk masuk sekolah dasar. Biasanya anak-anak usia 2-6 tahun memasuki Taman Kanak-kanak.
3. Para psikolog memberikan istilah pada periode ini sebagai usia pra gang (pre-gang age). Dikatakan demikian, karena anak harus mulai belajar dasar-dasar tingkah laku sosial sebagai persiapan untuk penyesuaian dirinya terhadap kehidupan sosial yang lebih tinggi nanti setelah dewasa.
4. Selain itu, para psikolog juga menyebut periode ini sebagai periode eksplorasi. Hal ini disebabkan karena perkembangan yang utama pada periode ini ialah menguasai dan mengontrol lingkungan. Mereka selalu ingin tahu apa dan bagaimana lingkungan itu. Sehingga periode ini juga disebut dengan usia bertanya (questioning age).
Pada masa ini, berbagai gangguan perkembangan bisa saja menyerang anak dan melumpuhkan kemampuannya untuk berkembang, salah satunya adalah sindrom autisme (autism syndrome). Yaitu sebuah kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Istilah Autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran, sehingga autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Oleh karena itu autistik adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun, namun pada autistik infantil gejala yang diartikan memiliki keanehan dalam bersosialisasi dengan dunia di luar dirinya. Banyak penderita dengan sindrom ini memiliki inteligensi rata-rata atau sering kali juga di atas rata-rata, tetapi umumnya mereka sudah didiskreditkan sejak awal, demikian menurut Kanner.
Dalam sebuah Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, dimana penderita menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, serta keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Anak autistik adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrim. Anak autistik bisa duduk serta bermain-main selama berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Tampaknya anak tersebut tenggelam dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.
Autisme merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif.
Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan ini memiliki ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Gangguan ini membuat anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme ini merupakan suatu kecatatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan serta interaksi sosial pada usia di bawah 3 tahun yang berdampak pada perolehan pendidikan anak, dimana anak tersebut sering melakukan pengulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tidak lazim terhadap perasaan. Gejala yang timbul pada anak autistik sangatlah bervariasi. Saat ini yang lebih banyak dikenal, karena lebih banyak menyerang anak-anak adalah istilah Autistic Spectrum Disorder atau Gangguan Spektrum Autistik.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yaitu antara lain tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya.
Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom).
Menurut Lumbantobing, penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh:
1. Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua, tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.
2. Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus, ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi dan fragilee X syndrome. Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI dan VII. Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme dapat diidentifikasi faktor penyebabnya
3. Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0%
4. Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus, dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa gestasi.
5. Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia, neonatus
6. Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan liquor cerebrospinal.

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal ada 2 gejala dari yang tertera berikut ini:
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila dipanggil tidak menengok. Perilaku anak autistik sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut. Penderita austistik hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang kosong Mereka tidak menunjukkan rasa kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya. Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain, tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain.
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional.
Yang dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok. Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa, kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat. penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal ada 1 gejala dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b. Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar

5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.
Bila disimpulkan maka secara umum penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu: sulit sekali berinteraksi, gangguan komunikasi verbal, sering tertawa terbahak-bahak tidak pada tempatnya, kegiatan dan minat yang aneh, menyukai sesuatu dengan cara yang aneh dan berlebihan, suka berjinjit (berjalan dengan jari kakinya saja), kurang/tidak suka berkontak mata dengan siapapun, tidak suka dipeluk, disayangi atau menyayangi, sering menarik diri dalam pergaulan/keramaian, tidak perduli bahaya, tahan rasa sakit, terpaku pada benda tertentu, sering berputar atau memutarkan benda, mudah sekali mengamuk, secara fisik hiperaktif, atau bahkan tidak aktif sama sekali, tidak tertarik dengan metode pengajaran biasa, sangat membenci rutinitas.
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain. Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya. Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anak autis belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi agumentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya. Tujuan dari pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan aktifitas favorit serta teman dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi bagian dari sistem gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya.
Anak autis memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya, dan hak ini telah dilindungi oleh peraturan pemerintah maupun secara universal. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya.
Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum dan bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
Sejalan dengan itu, dewasa ini, telah lebih mudah ditemui lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal, yang berfokus pada pendidikan anak autisme, sehingga memudahkan masyarakat yang ingin mengetahui informasi mengenai autisme. Salah satu yang benar-bvenar memfokuskan diri pada bidang perluasan informasi dan wawasan mengenai autisme adalah Yayasan Autisme Indonesia. Yayasan ini memfokuskan diri bukan pada pelatihan dan pembelajaran anak autisme, melainkan menjadikan dirinya sebagai pusat informasi autisme bagi masyarakat. Yayasan ini mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga pembelajaran anak autistik di seluruh jabodetabek dan juga bekerja sama dengan mereka dalam menyebarluaskan informasi tentang adanya seminar/simposium yang mengangkat masalah autisme.
Adanya yayasan atau lembaga pendidikan/pusat informasi seperti ini sangat menguntungkan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak autistik, karena mereka bisa dengan mudah mendapatkan keterangan dimana lembaga pengasuhan dan pembelajaran anak autistik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dari lembaga ini pula peneliti mendapatkan informasi alamat dan nomor telpon seluruh lembaga autisme yang ada di jabodetabek. Dari lembaga-lembaga inilah kemudian dikumpulkan data tentang program pengajaran yang diterapkan untuk anak autisme dalam upaya meningkatkan kemampuan kognisinya.
Setiap lembaga yang menangani autisme ini menerapkan terapi, metode dan kurikulum pembelajaran yang berbeda antara satu lembaga dengan lainnya. Walaupun perbedaan itu tidak terlalu besar, karena memang mengikuti standar terapi dan kurikulum yang sudah disetujui sebelumnya oleh psikolog atau pakar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, dan kurikulum yang diterapkan tersebut berbeda dengan yang ada di sekolah umum. Ini disebabkan kondisi anak autistik yang tidak bisa mengikuti pelajaran dengan metode yang biasa. Pemberian kurikulum ini juga mempertimbangkan gejala yang diderita anak.
Anak autisme tidaklah seluruhnya memiliki kadar IQ yang rendah, sebagian malah memiliki kecakapan istimewa yang terpendam, yang baru akan tersalurkan dengan baik bila pendidik dan terutama keluarga dekatnya memberikan dukungan mental dan kasih sayang yang merupakan obat utama bagi anak autistik. Selain itu pembelajaran dengan metode dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka juga akan mempercepat proses penyesuaian diri mereka dan untuk selanjutnya bisa membuka jalan agar mereka bisa berprestasi dan maju seperti anak –anak normal.
Karena autisme adalah kekurangan pada saraf otak, maka setiap anak autistik dipastikan mengalami perkembangan kognisi yang jauh lebih lamban dibanding anak normal seumurnya. Perkembangan kognisi yang terlambat dan terhambat itu ditandai antaranya dengan susahnya berkomunikasi verbal dan non verbal, susahnya beradaptasi, sulitnya berkonsentrasi, dan juga sulitnya diajari dengan metode pengajaran konvesional. Oleh karenanya, untuk membuat anak autistik sebisa mungkin hidup seperti anak normal yang pertama diperhatikan adalah daya kognisinya. Karena dengan daya kognisi yang membaik, anak akan semakin bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain, dan itu merupakan awal yang baik bagi kesembuhannya.
Dengan berlatar belakang keadaan ini, maka diupayakanlah penelitian ini untuk mengetahui metode terapi, model pembelajaran dan kurikulum apa saja yang telah dikembangkan oleh yayasan dan lembaga pendidikan autisme, (khususnya daerah jabodetabek) untuk meningkatkan daya kognisi anak autistik.


B. Identifikasi masalah
Dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Apakah informasi tentang autisme ini sudah menyebar rata di masyarakat luas?
2. Apakah pemerintah daerah (pemda) di jabodetabek ikut menangani masalah penanganan autisme di daerahnya masing-masing?
3. Apakah departemen pendidikan nasional kantor wilayah setempat ikut andil dalam mempersiapkan kurikulum atau terapi yang diterapkan lembaga pendidikan autisme?
4. Apakah lembaga pendidikan autisme yang ada di jabodetabek ini melaporkan kurikulum yang digunakan ke Direktorat Pendidikan Luar Biasa departemen pendidikan nasional?
5. Apakah Direktorat Pendidikan Luar biasa memantau perkembangan efektifitas dari metode, terapi dan kurikulum yang diterapkan oleh lembaga pendidikan autisme?
6. Apakah lembaga pendidikan autisme dalam penggunaan kurikulum dan model terapi untuk anak autisme selalu menyesuaikan dengan perkembangan mengenai kurikulum dan model terapi autisme yang diterapkan secara internasional?
7. Apa saja strategi, dan rencana yang dimiliki lembaga pendidikan autisme dalam menerapkan kurikulum dan model terapi terhadap anak penderita autisme?
8. Apa saja faktor penunjang dan penghambat yang mempengaruhi keberhasilan lembaga pendidikan autisme dalam menjalankan misinya?

C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus dalam pembahasan, maka dibatasilah masalah yang ada sebagai berikut:
1. Apa kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme di jabodetabek?
2. Apa faktor penunjang dan penghambat keberhasilan kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme?

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah penelitian ini adalah: ”Seperti apa dan bagaimana kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme dan apa saja faktor penghambat dan penunjangnya?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara kritis pelaksanaan kurikulum dan terapi bagi anak autistik (penderita autisme) dalam upaya peningkatan daya kognitif.
Secara operasionalnya, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, yaitu:
1. Mendapatkan gambaran yang utuh tentang fenomena autisme di jabodetabek dan penanganan yang diberikan oleh lembaga pendidikan autisme
2. mengetahui kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh direktorat pendidikan luar biasa untuk menangani pendidikan anak penderita autisme khususnya di wilayah penelitian jabodetabek
3. menguraikan secara analitis kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme terhadap anak autistik.

Mengenai manfaat penelitian ini, secara teoritis adalah untuk: memberikan wawasan baru bagi semua orang yang perduli pada pendidikan anak terutama anak penyandang autisme, bahwa autisme bukanlah tidak bisa disembuhkan. Bahwa anak penyandang autisme jugs memiliki kemampuan intelektual, dan daya kognisi yang bisa dikembangkan dan juga dilatih, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.
Sedangkan secara praktisnya adalah sebagai tambahan wawasan atau bahan perbandingan bagi peneliti lain yang mungkin akan membahas masalah serupa.

F. Metodologi Penelitian
Untuk mencapai hasil yang diinginkan maka dirancanglah metodologi penelitian sebagai berikut:
Dari sudut lokasi sumber data maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian lapangan, dan dari segi sifat data bisa dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.
Melalui penelitian lapangan ini, peneliti akan mengumpulkan data tentang lembaga pendidikan autisme di sembilan (9) wilayah jabodetabek, (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Dari setiap wilayah tersebut akan diambil satu lembaga pendidikan autisme saja, yang dianggap bisa mewakili lembaga lainnya. Ini dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan data dan analisa nantinya. Berarti dari 9 wilayah penelitian tersebut didapatkan 9 lembaga pendidikan autisme.
Pengumpulan data lebih dititikberatkan kepada kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme tersebut, juga kepada faktor penunjang serta penghambat keberhasilan program atau misi lembaga pendidikan tersebut. Untuk sampai pada data tersebut maka peneliti perlu menganalisa kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang dan terapi, kualitas sumber daya manusia yang menjalankan kurikulum dan terapi dimaksud, juga supervisi atas pelaksanaan kurikulum dan terapi.
Pengumpulan data melalui metode kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan di lembaga pendidikan yang menjadi objek penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui misi dan visi lembaga dalam membuka pendidikan bagi anak penyandang autisme ini, mengetahui kurikulum dan terapi yang seperti apa yang diterapkan di lembaga tersebut, bagaimana prosedur pelaksanaannya, kualitas pelaksana dari kurikulum dan terapi dimaksud, juga untuk mengetahui tehnik supervisi yang dilakukan pihak lembaga terhadap SDM-nya sendiri. Untuk kepentingan ini perlu dilakukan wawancara intensif (depth interview) kepada pimpinan lembaga, tenaga pengajar dan terapis, juga kepada wali murid atau orang tua dari anak autis yang bersekolah di lembaga pendidikan tersebut, guna mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kurikulum dan terapi yang telah dijalankan.
Selain itu, peneliti juga mengadakan pengamatan terlibat, yaitu pengamatan yang dilakukan sembari sedikit berperan serta dalam kehidupan orang-orang yang diteliti. Denzin menyebutkan bahwa pengamatan terlibat adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informan, partisipasi langsung dan observasi, juga introspeksi. Peneliti memilih metode ini karena sifat penelitian yang terbuka, berdasarkan fakta kondisi dan data di lapangan dan juga dapat dipadukan dengan teori dan data dari metode lain.
Sasaran dari pengamatan terlibat ini adalah aktifitas tenaga pengajar dan terapis di dalam dan di luar kelas, baik pada situasi belajar maupun bermain. Dalam memberikan pelajaran sesuai kurikulum yang digunakan, juga aktifitas memberikan terapi sesuai kebutuhan anak autistik. Peneliti melakukan pengamatan seperti ini dengan tujuan menjustifikasi data yang didapat melalui wawancara sebelumnya, dan juga untuk menambah data yang mungkin belum terungkapkan melalui wawancara.
Selanjutnya, penghimpunan data dilakukan melalui pengumpulan dokumen mengenai kondisi anak autistik di sekolah tersebut, jumlah siswa yang masuk setiap tahun, data tertulis atau berupa grafik yang menjelaskan bagaimana kondisi awal daya kognisi anak autistik saat pertama kali datang di lembaga, dan kemudian kondisi yang ada saat ini, data yang lebih menggambarkan peningkatan kemampuan kognisi anak selama belajar dan mendapat terapi di lembaga tersebut. Keluhan, penghargaan, kritik maupun saran yang diterima lembaga dari masyarakat sekitarnya terutama orang tua atau wali dari murid autistik yang dibina oleh lembaga tersebut. Penghimpunan data melalui metode ini bermaksud untuk meng”crosschek”, data yang telah didapatkan dari dua data di atas, yaitu wawancara dan pengamatan terlibat.
Setelah data terkumpul melalui metode ini kemudian dilakukan klasifikasi data, dengan menggabungkan data yang didapatkan dengan wawancara dan pengamatan terlibat. Setelah data terklasifikasi dengan baik kemudian dianalisa secara mendalam sesuai pendekatan penelitian yang digunakan. Dalam menganalisa data mengenai kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga, peneliti menggunakan acuan teori dari buku-buku yang bersifat handbook mengenai hal bersangkutan. Selanjutnya analisis teoritis sangat diperlukan untuk menguji kebenaran teori yang telah baku tersebut dengan kondisi nyata yang berlangsung di lapangan penelitian.
Kajian-kajian terdahulu juga dijadikan bahan analisa tambahan dan acuan berfikir dalam mengkritisi penerapan kurikulum dan terapi yang telah berlangsung di lembaga pendidikan dimaksud.

G. Penelitian Terdahulu
Ada dua penelitian terdahulu yang peneliti paparkan di sini:
1. R. Peter Hobson, Autism and The Developmental of Mind, London, (1993). Dalam penelitian ini, Hobson melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa kemampuan berfikir anak autistik bisa ditingkatkan, juga dijelaskan beberapa teori dan tehnis pelaksanaan terapi untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
2. Mohammad Anas, Adaptasi Penyandang Autisme di Sekolah, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (2003). Dalam penelitiannya ini Anas menyebutkan gangguan dan masalah yang mungkin timbul saat anak dengan ASD bersekolah. Anas juga menjelaskan beberapa teori untuk mengatasi keadaan tersebut.
Selanjutnya untuk ruang lingkup penelitian di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, peneliti belum menemukan penelitian serupa, yang membahas autisme dari sisi peningkatan daya kognisi.

H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini tidak lebih dari lima bab. Pada bab pertama, yaitu bab pendahuluan, peneliti akan memaparkan poin-poin berikut: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfa’at penelitian, metodologi penelitian, penelitian terdahulu, sistematika penulisan.
Dilanjutkan dengan bab kedua, yaitu kerangka teori, sub poin dari bab dua adalah sebagai berikut: bagian (A) Autisme, yang dibahas dalam bagian A ini adalah ciri-ciri umum, beberapa jenis sindrom yang terkait dengan autisme, daya kognisi anak autistik, gaya belajar anak autistik, kondisi di Indonesia. Bagian (B), yang dibahas dalam bagian B ini: kurikulum dan terapi untuk anak autistik, individualized curriculum, home education, terapi lovaas/ABA, terapi perilaku, terapi biomedik, terapi sensori integrasi, upaya pemerintah dalam penanganan autisme di Indonesia, kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Bias, lembaga pendidikan autisme non formal.
Kemudian setelahnya bab tiga, yaitu metodologi penelitian. Sub poin dari metode penelitian ini adalah: jenis dan pendekatan penelitian, obyek penelitian, instrumen penelitian, pengumpulan data, pengolahan dan analisa data.
Bab keempat, yaitu hasil penelitian, yang menjadi temuan utama dalam bab 4 ada 9 sub poin. Pertama adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Pusat, yang dibahas dalam lembaga ini adalah kurikulum dan terapi yang dijalankan, kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang kurikulum dan terapi. Kualitas sumber daya manusia pelaksana kurikulum dan terapi, supervisi berkala pelaksanaan kurikulum dan terapi. Faktor penunjang dan penghambat keberhasilan lembaga.
Subpoin kedua dan seterusnya adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Timur, di Jakarta Utara, di Jakarta Selatan, di Bogor, di Depok, di Tangerang, di Bekasi. Kesemua subpoin ini memiliki ruang lingkup pembahasan yang sama.
Terakhir adalah bab kelima, seperti pada umumnya sub poin penutup ini terdiri dari kesimpulan dan implikasi.
























DAFTAR PUSTAKA


Aeni, dkk., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., 2001, Vol : 22(2)

Azrin & Fox, Teaching Develompentally Disable Children, Pro-ed., Texas: Austin Publisher, 1971

Bandi, Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: Refika Utama, 2006 Cet. Ke 1


Campbell, M, Shay dkk, Pervassif Development Disorder, Comprehensive Text Book of Psychiatry, USA, Mc Millan Publishing, 1983

Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Courchesne., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, (Jurnal Medika Nusantara. 1991, Vol : 22(2)


Djohan. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik, 1999
Hartono., Infantil Autism, Majalah Medical Indonesia., Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia, 1998, edisi V

H.S., Kaplan, Saddock, B.J., Greb,J.A , Synopsis of Psychiatry Behavioral Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Baltimore: Williams & Wilkins, 1994

Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in Autisme – Improving Communication with Visual Strategies, Quick Roberts Publishing: Michigan-US, 1999, 1st ed

Hurlock, Elizabeth, Child Development, USA: Mc Graw Hill, 1978 6th ed.

Marat, S., & Siregar, J.R. Pengantar Psikologi Perkembangan, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, 1991

M, Budiman,., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium : Seputar Autisme, 1997
Meng, Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for Children for School Readiness in Singapore Mainstream Education, 2002; WeCAN Third Annual Autisme Best Practices Conference November 2002

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999


Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Newson,dkk., Long-term Outcome For Children With Autism Who Received Early Intensive Behavioral Treatment, Los Angeles, University of California, 1998

0 Response to "rencana proposal disertasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel