TERAPI PEMULIHAN TRAUMA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
(Kajian dari Sudut Pandang Pendidikan dan Psikologi Islam)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bahwa anak adalah permata hati orang tua, itu sudah pasti. Bahwa kejiwaan anak sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, demikianpun sudah pasti. Maka orang tua yang memang merasa menyayangi permata hatinya mestilah berusaha semaksimal mungkin agar perkembangan mental anak terjaga dengan baik dan menuju ke arah yang normal dan sehat. Namun bukan hanya kedua orang tua yang berkewajiban menjaga dan harus bersumbangsih terhadap perkembangan mental anak, seluruh anggota keluarga baik itu keluarga inti maupun keluarga majemuk si anak memiliki andil dan peran yang sama terhadap kewajiban ini, hanya saja intensitasnya yang berbeda.
Seluruh individu dalam satu rumpun keluarga bisa mempengaruhi perkembangan dan kemampuan mental anak. Sumbangan keluarga bagi anak jelas berbentuk materi, kecukupan fasilitas, transformasi pendidikan, jembatan menuju alam sosial yang lebih luas, namun yang lebih terpenting dari semua itu adalah keluarga sangat berperan dan berpengaruh dalam membangun kondisi mental anak.
Seharusnya memang demikian, bahwa orang tua, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek dan bahkan saudara lainnya hendaknya memberi good influence terhadap perkembangan anak terutama mentalnya. Karena inti dari struktur diri manusia itu adalah struktur rohani. Walaupun kondisi fisik kurang sempurna namun bila psikis berkembang ke arah yang normal dan sehat maka kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah yang bisa menghambat kemajuan hidup.
Namun yang terjadi di masyarakat luas tidaklah seperti yang seharusnya. Ada catatan hitam tentang kekerasan anak yang ironisnya dilakukan oleh orang dalam keluarga itu sendiri. Banyak kasus anak yang diperkosa atau dilecehkan secara seksual, menerima kekerasan fisik yang tidak seharusnya diterima anak dari siapapun, terlebih dari orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan si anak.
Anak di bawah umur dan balita menjadi korban kekerasan seksual terbesar sepanjang 2003. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) mendata, ada sekitar 50 persen anak di bawah umur dan balita yang menjadi korban dari total 239 kasus (sampai bulan Oktober).
Jenis kekerasan yang dialami berupa perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan dan pelecehan seksual. Dalam laporan catatan akhir yang disampaikan LBH APIK pada hari ini, Rabu 31/12 di Jakarta, pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban. "Bahkan memiliki hubungan darah dengan korban (incest)," ujar Vonny Reyneta, Ketua LBH APIK .
Komnas HAM Perlindungan Anak mengeluarkan data selama medio 2006 - 2007 , dalam setiap bulannya terdapat 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Jakarta. ketujuh belas kasus ini melibatkan anak sebagai korban maupun anak sebagai pelakunya. Kasus terakhir yang mengemuka adalah terjadi pada Kamis 8 Maret 2007 lalu, adalah Muna Nuria (14) diperkosa dan dihabisi nyawanya oleh 2 pelaku yakni Gusti Randa (17) dan Hendra Saputra (15) . Kedua pelaku ini telah ditangkap Polres Jakarta Utara. Kejadian ini membuat dilematis Komnas HAM Perlindungan Anak. Disatu sisi Komnas harus membela kepentingan korban, dan lainnya komnas terbentur untuk melindungi hak kedua pelakunya yang juga masih tergolong ABG itu. Kejadian ini tergolong sadis karena para pelaku yang masih ABG ini tega menghabisi nyawa sang korban, setelah tewas korban diperkosa secara bergiliran. Hal ini telah diakui kedua pelaku sendiri. Masa depan kedua pelaku ABG ini terbayang suram karena meraka dikenakan pasal 340 KUHP pembunuhan berencana dan pasal subsider pasal 338 tentang pembunuhan tanpa rencana yang diancam humuman mati.
Kasus kekerasan seksual anak-anak di Indonesia selama beberapa tahun ini meningkat dengan sangat tajam.Di wilayah Jawa Barat, dari data yang dihimpun dari Polda Jabar dalam kurun waktu 6 bulan (Oktober 2001-Maret 2002) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual kepada anak-anak.Kasus-kasus itu meliputi 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan , 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas hanyalah data mengenai kasus-kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum terungkap bisa jadi jauh lebih besar lagi.Kasus perkosaan yang dilakukan oleh kerabat dekat korban misalnya, kasus-kasus semacam ini biasanya baru terungkap. setelah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga diperkirakan masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak pernah terungkap.
Bicara mengenai kekerasan seksual berarti bicara mengenai pelecehan seksual, penyerangan dan penganiayaan seksual, sampai pemerkosaan. Pelecehan seksual yang disertai atau tidak dengan kekerasan merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat. Inilah yang kemudian menyebabkan pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, karena pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk tidak membuka mulut.
Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap masalah ini menjadi salah satu faktor pendukung tindak kekerasan tersebut. Banyak tetangga -bahkan keluarga- yang enggan melaporkan suatu tindak kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah keluarga tersebut. Akibatnya, banyak pelaku dengan bebas kembali melakukan berulangkali kekerasan tersebut. Dalam beberapa contoh kasus yang bisa diamati di media massa baik cetak maupun elektronik terlihat bahwa anak-anak sering sekali menjadi objek kekerasan fisik dan seksual.
Kekerasan merupakan suatu tindak kejahatan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup, bersifat menyerang ataupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Thomas Santoso menjelaskan empat sifat kekerasan:
1. Kekerasan terbuka: adalah tindak kekerasan yang secara transparan dilakukan baik dengan kekuatan kata-kata yang kasar maupun kekuatan fisik seperti menempeleng dan semacamnya.
2. Kekerasan tertutup: tindak kekerasan yang inheren sifatnya, tidak langsung disampaikan dalam bentuk kata-kata kasar maupun perbuatan fisik tetapi tersirat dalam sikap yang mengancam, baik mengancam itu dengan kata-kata, dengan alat atau dengan mimik wajah.
3. Kekerasan agresif: kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu
4. Kekerasan defensif: kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan sesuatu
Umumnya kekerasan tidak terlepas dari ancaman, ini dikarenakan umumnya pihak korban kekerasan tidak menerima begitu saja sikap yang menyakiti tersebut, sementara pihak yang mengancam tentu saja tidak akan berhenti dengan mudahnya dalam berusaha mendapatkan keinginannya. Lagi pula menurut Weber (1958) ancaman dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan. Dengan mengancam sebahagian orang merasa bisa mengontrol dan mengendalikan orang lain. Ancaman menurut Weber merupakan suatu kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan.
Sedangkan mengenai dimensinya, seorang Gandhian Johan Galtung mengatakan bahwa kekerasan memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik dan psikis
Kajian fisik dan psikis merupakan ’area’ yang sering menjadi pelampiasan dari orang yang suka melakukan kekerasan. Walaupun disebutkan terpisah namun bukan berarti kekerasan fisik tidak berpengaruh pada kondisi psikologis anak korban kekerasan.
2. Kekerasan berpengaruh yang positif dan negatif
Kekerasan bisa saja bervalue positif tetapi hanya pada para pelakunya, karena dengan ini pelaku mendapatkan kemenangan emosi dan kepuasan kebutuhan, sementara bagi korban cenderung berakibat negatif, bahkan terkadang dalam jangka waktu yang lama dan seringkali tidak terdeteksi secara langsung. Bisa juga dipahami dalam bentuk sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian –tidak bebas-, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun mungkin menimbulkan perasaan yang euphoria.
3. Kekerasan ada objek atau tak ada objek
Secara umum kekerasan selalu membutuhkan objek, walaupun itu hanya sebotol kaleng softdrink kosong yang ditendang sekeras-kerasnya atau secangkir kopi yang sengaja dicampakkan ke lantai.
4. Kekerasan ada subjek atau tak ada subjek
Bila kekerasan terjadi dengan adanya subjek disebut personal, berarti kekerasan di sini dilakukan oleh perorangan, namun terkadang kekerasan bisa juga dilakukan oleh bukan orang, yaitu sistem. Suatu sistem yang sangat memaksa, memeras, menekan dan membuat orang menjadi sangat terpaksa mengikuti karena kewajiban tertentu, namun tidak menguntungkan atau hanya memberi keuntungan kecil (tidak sepadan dengan besarnya tekanan) pada orang yang mengikuti.
5. Kekerasan yang disengaja atau tidak disengaja
Kesengajaan atau ketidaksengajaan ini dilihat dari tujuan melakukan kekerasan tersebut bukan dari perbuatannya. Umumnya kekerasan yang bersifat agresif cenderung berdimensi disengaja walau ada beberapa kasus dimana kekerasan bersifat agresif terjadi tanpa sengaja. Namun pada kasus kekerasan yang defensif kekerasan yang terjadi umumnya tidak sengaja.
6. Kekerasan yang tampak atau tersembunyi
Kekerasan yang tampak seperti yang telah dijelaskan, yaitu dengan kata-kata kasar, perbuatan dan penggunaan alat yang bisa menyakiti orang lain dimana tindakan itu terlihat jelas. Kekerasan tersembunyi yaitu kata-kata yang menyiratkan ancaman, dan sikap yang mengancam.
Bila kekerasan seksual dikaitkan dengan dimensi dan sifat kekerasan yang telah diuraikan, bisa diamati bahwa kekerasan seksual bersifat terbuka, tertutup, dan agresif, tidak bersifat defensif. Karena jelas kekerasan seksual terjadi saat pihak pelaku menyerang korban yaitu anak di bawah umur untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya tdak boleh didapatkannya dari anak itu.
Untuk dimensinya maka kekerasan seksual memiliki dimensi kekerasan fisik juga psikis, positif bagi pelaku dan negatif bagi korban, berdimensi kekerasan dengan objek dan subjek (personal/langsung), kekerasan ini juga berdimensi sengaja dan tampak, walaupun juga sering berdimensi tersembunyi, karena seringkali kekerasan seksual didahului dengan ancaman.
Sebenarnya apa definisi yang pasti mengenai kekerasan seksual? Secara umumnya kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan dan hujan begitu jugalah hubungan seks dan kekerasan. Selama ada hubungan seks maka selama itu pula kekerasan selalu bersifat possible. Untuk pengertian kekerasan seksual yang diakui dalam perundangan adalah dapat dipahami dengan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak tentang Ketentuan Pidana Pasal 81 ayat 1 dan 2:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana denagn pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam undang-undang tertera dengan jelas bahwa yang dinamakan kekerasan seksual terhadap anak adalah menggunakan segala cara baik dengan cara yang mengancam jiwa anak maupun bukan dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual yang diinginkan pelaku.
Dalam makalahnya yang berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak" Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Definisi lainnya mengenai kekerasan seksual, yaitu kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, dimana anak digunakan untuk mendapatkan kepuasan seksual oleh orang dewasa atau orang lain. Biasanya, penganiayaan seksual dilakukan oleh orang yang lebih tua dari korbannya, atau yang memiliki posisi lebih tinggi dari anak tersebut, jenis kelamin yang berbeda, aktivitas seksual tidak sesuai dengan umur anak, terdapat unsur paksaan, tekanan, ancaman, atau harus merahasiakan, korban yang melawan, dan sering disertai penganiayaan fisik.
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
3. Kekerasan dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
4. Kekerasan dalam lingkungan institusi (Institutional abuse)
5. Kekerasan dalam lingkungan anak jalanan (Street or stranger abuse)
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Ditegaskan oleh Prof. Dr. Soetjiningsih yang memberikan makalah berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak". Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini. Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orang tua yang tinggal bersama, maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah
3. Kekerasan seksual dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu ritual agama atau berdalih untuk ritual agama.
4. Kekerasan seksual dalam lingkungan institusi tertentu (Institutional abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu institusi tertentu, mungkin di sekolah, di tempat kursus, tempat penitipan anak.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum oleh orang yang tidak dikenal oleh korban. Bisa dengan ancaman atau dengan rayuan memberikan permen, diajak jalan-jalan dan semacamnya.
Perlu dipahami, persoalan-persoalan kekerasan seksual terhadap anak perempuan terutama yang juga berakhir dengan KTD (Kehamilan yang Tidak Dikehendaki), bukan persoalan sederhana yang bisa diselesaikan dengan 'cara' sederhana pula. Misalnya, ada yang kemudian mencoba menyelesaikan persoalan dengan menikahkan anak yang sudah hamil tersebut, baik dengan pelaku ataupun dengan orang lain. Ketika korban seorang pelajar, tidak jarang pihak sekolah menyelesaikan masalah dengan mengeluarkan anak yang hamil dari sekolah. Alasannya, sekolah sudah memiliki peraturan yang tidak mengijinkan siswanya hamil. Penyelesaian-penyelesaian tersebut sungguh bukan mengatasi masalah, tapi justru menambah masalah, khususnya bagi korban.
Harus diakui, isu kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan atau perkosaan, kurang terangkat ke permukaan dibandingkan isu lain. Berbeda dengan masalah trafficking/perdagangan anak, pedofilia, juga pornografi yang jauh lebih banyak dibahas dalam masyarakat. Hal yang makin memprihatinkan ialah, menurut KUHP, hukuman pemerkosa anak lebih ringan di banding hukuman terhadap pemerkosa perempuan dewasa. Sementara di sisi lain, masyarakat bisa sedikit lega dengan adanya Undang Undang Perlindungan Anak yang memberikan hukuman minimal tiga tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual, walaupun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.
Dampak kekerasan seksual bagi anak perempuan tidaklah sesaat, tapi bisa jadi seumur hidup. Banyak dari mereka yang setelah mengalami kekerasan seksual, karena merasa sudah tidak perawan lagi dan masa depan suram, pada akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi anak. Dalam hal ini, kekerasan dan eksploitasi seksual menjadi semakin dekat dengan dengan kehidupan anak-anak tersebut. Teguh Vedder menjelaskan beberapa akibat yang rentan menyerang anak korban kekerasan seksual, diantaranya:
memiliki self esteem yang rendah
rasa harga diri baru bisa muncul denagn baik dan normal bila individu tidak mengalami hal-hal yang mungkin akan menjatuhkan harga dirinya. Sedangkan pada anak korban kekerasan, sudah jelas anak tersebut direnggut harga dirinya, dianggap rendah oleh pelakunya dan apa hyang terjadi itu bisa melukai rasa percaya dirinya. Masa lalu yang buruk ini akan terus menghantui fikirannya, mungkin jadi mimpi buruk ayng membangunkannya di tengah amlam dan sedikit abnyak akan mempengaruhi pola tingkah lakunya terutama terhadap lawan jenis.
Rusaknya hubungan antara orang tua korban dan korban terhadap pelaku.
Hubungan keluarga yang tadinya utuh menjadi rusak. Karena perbuatan pelaku. Baik orang tua korban maupun korban sendiri pada saat dewasa menyimpan dendam yang tidak akan hilang begitu saja terhadap pelaku. Satu sisi mungkin ingin mengadukan pelaku pada yang berwajib agar mendapatkan hukuman tetapi di sisi lain ada rasa malu yang timbul andainya aib tersebut diketahui saudara lainnya atau kemungkinan akan dipermalukan tetangga. Akhirnya rasa sakit tersebut hanya dipendam saja membuat dendam yang terasa di hati makin membuat lobang yang meregangkan hubungan darah mereka.
Ditambahkan oleh Hurlock, bahwa anak-anak yang mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu akan berakibat bagi penerimaan dirinya. Apalagi kalau hal buruk tersebut diberikan oleh keluarga, karena menurut Hurlock keluarga adalah faktor yang paling penting dan paling besar mempengaruhi kepribadian. Bila keluarga justru memberikan masalah besar saat anak masih dalam pembentukan kepribadian, maka cenderung kepribadian anak akan mengarah pada kepribadian yang bernilai kurang positif.
Menurut Nilam Widyarini, incest merupakan aib yang sangat memalukan bagi keluarga, dan sangat menyakiti dan melukai harga diri anak yang jadi korban. Keengganan keluarga membongkar aib justru membuat pelaku semakin berkuasa dan leluasa mengulangi dan mengulangi kembali perbuatan hina itu. Incest sering terjadi antar kakak laki-laki terhadap adik perempuan, atau mungkin adik laki-laki yang bertubuh besar terhadap kakak perempuan yang tidak jauh perbedaan umurnya dan bertubuh lebih kecil, walaupun ini cukup jarang terjadi. Atau antara ayah dengan anak gadisnya apakah itu kandung, tiri atau angkat. Antara anak laki-laki dewasa terhadap ibunya mungkin juga terjadi, tetapi persentasenya cukup kecil. Jelasnya, dalam kekerasan seksual hampir bisa dipastikan wanita berada pada posisi korban dan laki-laki pada posisi pelaku.
Dalam incest ini jarang ditemukan unsur suka – sama –suka. Oleh karenanya bisa dicurigai bahwa ayah atau kakak yang melakukan sexual abuse sampai pemerkosaan terhadap anak gadis atau kakaknya menggunakan kekerasan dalam mencapai maksudnya. Hampir tidak pernah terdengar ada perempuan yang memperkosa laki-laki. Ini dikarenakan karena stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, lagipula dengan sifat khas yang dimiliki laki-laki maupun perempuan memang hampir tidak mungkin perempuan bisa ”memperkosa” perempuan.
Saat incest dicurigai terjadi oleh salah satu anggota keluarga maka cenderung kecurigaan itu di redam, bahkan ketika sampai ke pihak yang berwajibpun cenderung ada pihak keluarga yang terkesan menutupi atau bahkan menyembunyikan fakta. Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi, keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada salah satu anak di dalam keluarga.
Untuk alasan inilah pelecehan seksual atau bahkan kekerasan seksual dalam keluarga menjadi lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan/kekerasan seksual dalam keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Ada beberapa penyebab atau pemicu timbulnya incest menurut Widyarini. Akar dan penyebab tersebut tidak lain diantaranya adalah pertama, karena pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri individu.
Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung dianggap
dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan
menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif,yakni dorongan seksual ataupun agresivitas.
Dorongan primitif ini menjadi lebih buruk lagi karena disupport dengan kemajuan tehnologi yang memang bermata dua. Pada satu sisi kemajuan tehnologi sangat membantu percepatan pembangunan, dan penyebaran lebih banyak informasi pada lebih banyak kalangan dan daerah. Namun seiring itu hi-tech ternyata juga berperan dalam peningkatan jumlah kejahatan, jenis dan modus operandinya. Dalam kasus kekerasan seksual ini pelaku cenderung terobsesi pada korban awalnya belum tentu dimulai dari korban sendiri. Inilah sebab incest yang kedua yaitu konflik budaya.
Anggapan masyarakat pada korban yang memasuki usia remaja, kekerasan seksual yang terjadi dipicu oleh tingkah dan perilaku mereka sendiri, namun anggapan ini tentu tidak bisa diterapkan pada kasus pelecehan atau penganiayaan seksual yang terjadi pada anak di bawah delapan tahun. Banyaknya film porno dalam bentuk cd atau dvd yang mudah didapatkan, murahnya harga player cd atau dvd sehingga banyak yang memiliki, atau beredarnya video porno lewat internet yang di download oleh orang-orang yang memiliki HP dengan fasilitas kamera, kesemua ini bisa menjadi pemicu meningkatnya perkosaan yang dilakukan pada perempuan usia berapapun. Juga media cetak yang sering mengangkat tema pornografi diiringi gambar-gambar seronok, yang demikian ini tentu memancing dan mengarahkan otak pada hal-hal yang bersifat seksualitas.
Penyebab ketiga adalah kemiskinan. Meskipun incest dapat terjadi dalam segala lapisan ekonomi, secara khusus kondisi kemiskinan merupakan rantai situasi yang sangat potensial menimbulkan incest. Sejak krisis 1998, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin meninggi. Banyak keluarga miskin hanya memiliki satu petak rumah. Tidak ada sekat antara kamar tidur orang tua dengan anak. Ini bisa memicu nafsu seksual dari kakak laki-laki terhadap adik perempuan atau nafsu ayah terhadap gadis kecilnya karena mereka tidur di satu tempat yang sama.
Sebab yang keempat adalah pengangguran. Banyaknya kasus PHK pada masa krisis membuat banyak ayah menjadi pengangguran. Kondisi ini memaksa perempuan untuk akhirnya sering keluar rumah untuk bekerja. Akhirnya di saat istri semakin jarang di rumah membuat kesempatan terjadinya incest antara ayah dengan anak atau dengan anggota keluarga lainnya semakin besar.
Bicara mengenai asal lingkungan pelaku kekerasan seksual, anak juga harus dijaga dari ancaman dari pihak luar keluarga. Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.
Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarahan dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang dimana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai. Lebih jelas lagi akan dirinci tahapan terjadinya sexual abuse:
Fase perjanjian. Pelaku akan menjanjikan akan memberikan sesuatu yang menarik hati si anak. Mungkin berupa makanan, minuman, uang cash, atau diajak jalan-jalan oleh si pelaku sampai anak tidak merasa curiga sedikitpun bahkan sebaliknya merasa nyaman dan dekat dengan si pelaku.
Fase rahasia. Pelaku hampir selalu mengatakan “jangan bilang siapa-siapa ya…” pada anak calon korbannya. Terkadang kata-kata seperti ini disampaikan secara baik-baik tetapi tidak jarang disertai dengan ancaman.
Fase penyingkapan. Biasanya baru terjadi apabila orang tua benar-benar merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada putrinya. Atau mungkin si anak mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu terutama organ vitalnya. Atau pada kebanyakan kasus penganiayaan seksual ini tersingkap setelah anak hamil, dan pada saat itu anak sudah mengalami penganiayaan seksual yang pastinya lebih dari sekali dua kali.
Fenomena inilah yang kadang ditutupi keluarga si anak yang bersangkutan. Walaupun ada anggota keluarga yang mengetahui tentang penganiayaan seksual ini namun membiarkan begitu saja hingga akhirnya si anak hamil. Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan bantuan pemulihan trauma setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.
Dilihat dari sudut pandang manapun, anak adalah harta yang berharga. Dalam lapangan pendidikan ada dikenal istilah periode emas, dan periode penting pertumbuhan anak. Mulai dari kelahirannya sampai akhir masa remaja anak merupakan makhluk yang rentan dan mudah lemah, terpengaruh bahkan terperosok ke lobang-lobang kejahatan dan kemaksiatan bila orang dewasa yang terdekat tidak ”rapi” dalam penjagaanya.
Demikian pula dalam pandangan Islam, anak merupakan titipan Allah yang suatu saat akan diminta pertanggungjawaban orang tua tentang perawatan dan pengasuhan anak tersebut. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi dan fisik yang harus diupayakan orang tua melainkan juga pemenuhan kebutuhan psikologi anak. Dalam pandangan Zakiah Darajat, kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia pada fase manapun, baik itu anak-anak, remaja, dewasa atau bahkan orang tua adalah kasih sayang dan selanjutnya rasa aman. Apabila orang dewasa yang sudah bisa mengusahakan arah hidupnya sendiri, masih membutuhkan kasih sayang apalagi anak di bawah umur yang umumnya masih sangat bergantung pada orang tua. Kalaupun ada anak-anak yang bisa tidak terlalu bergantung secara materi pada orang tuanya namun sebelum mencapai usia dewasa, hampir setiap orang membutuhkan keluarga untuk berbagi suka duka. Ikatan yang kuat dalam keluarga bisa memberi rasa hangat pada jiwa anak, dan yang demikian itu berpengaruh pada pembentukan rasa percaya diri anak, kestabilan emosi dan pengarahan daya mentalnya terhadap hal yang positif.
Semua kondisi positif itu bisa dicapai dengan bermula dari keluarga yang penuh kasih sayang, dimana bukan hanya orang tua dan saudara kandung yang berkewajiban memperhatikan pemenuhan psikologi anak. Keluarga yang basic kasih sayangnya kuat sangatlah menunjang dan menjadi background kepribadian dan tingkah lakunya di masa mendatang. Baik dari sudut pandang pendidikan anak maupun psikologi Islam, kondisi yang saling menyayangi, saling menguatkan dan saling menerima di keluarga bisa mempermudah pencapaian anak terhadap prestasi fisik maupun psikis. Agar anak bisa mencapai segala prestasi tersebut seyogyanya keluarga dengan seluruh pihak didalamnya menjaga dengan hati-hati. Jangan sampai anak menjadi korban perbuatan buruk yang bisa saja membekas di ingatannya dan merubah tingkah lakunya ke arah yang negatif.
Anak merasa keluarga lah yang mampu menaungi dan melindunginya dari kejahatan dan kekerasan dunia luar. Kondisi keluarga yang membuat anak nyaman dan aman akan sangat membantu dalam proses perkembangan jiwa, kreativitas dan juga kepribadiannya. Pada kasus kekerasan seksual dalam keluarga, bagaimana anak akan merasa aman apabila orang yang menyakitinya bahkan merenggut mahkotanya adalah pamannya atau bahkan ayahnya sendiri? Bahkan dengan demikian keluarga telah menjelma menjadi tempat yang sangat menakutkan bagi anak. Seperti yang digambarkan Hurlock, ”jika anak belajar dalam suasana penuh ancaman ia akan belajar mengutuk (walau dalam hatinya), dan jika ia hidup dalam suasana tertekan dan ketakutan ia akan menjadi penakut terhadap hidup”.
Selanjutnya menurut Zakiah, bahwa anak sangat membutuhkan penghargaan terhadap harga dirinya. Anak perlu merasa memiliki keluarga, merasa punya posisi penting dalam keluarga. Apa yang dikatakannya didengarkan oleh anggota keluarga (walaupun, jelas tidak semua kata-kata anak akan dipertimbangkan), dan apa yang menjadi kemauan atau kegelisahannya diperhatikan oleh keluarga. Bila melihat kepada situasi kekerasa seksual di rumah tangga, jelas bahwa anak korban kekerasan seksual di rumah tangga telah dihancurkan harga dirinya oleh keluarganya sendiri. Justru keluargalah yang membuat ia menjadi gelisah, kehilangan hak bicara (karena diancam) dan kehilangan posisi penting bahwa ia adalah permata keluarga.
Berarti baik dari segi psikologi Islam maupun pendidikan Anak, keluarga memiliki peran terbesar dalam menentukan arah pembentukan jiwa anak. Bagaimanapun pengaruh dari luar keluarga datang pada diri anak, tetap saja pengaruh dari dalam keluarga yang paling memberi kesan dalam perkembangan pemikiran dan tingkah lakunya di masa depan. Bahkan para sosiologpun menilai bahwa keluarga adalah benteng kokoh sebuah lapisan masyarakat, bila benteng ini rapuh maka perlahan konstruksi lapisan masyarakat pun merapuh.
Namun pada sebahagian kasus kekerasan seksual, justru yang menjadi Dewa Siwa bagi cahaya mata si anak adalah keluarganya sendiri. Orang yang sering bermain dengannya, orang yang sering membuatnya tertawa bahkan sering menjaga dan menemani hari-harinya. Luka yang tertoreh dalam jiwa anak akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga dapat dipastikan dua kali lipat lebih perih daripada andainya luka tersebut ditorehkan orang lain di luar keluarga yang mungkin tidak dekat dengannya atau tidak Ia kenal sama sekali.
Ini logis karena anak harus kembali bersosialisasi dengan orang yang telah memberikannya mimpi buruk, dan ia harus memendam dalam-dalam kekecewaan yang kadang tidak dapat dibahasakannya karena ia takut dengan ancaman yang pernah diberikan pelaku. Tentu saja suasana demikian menciptakan tekanan yang sangat mengganggu fikiran dan hatinya, hingga banyak anak yang menjadi korban sexual abuse terutama oleh keluarga akan berubah menjadi pemurung, seperti menyimpan sesuatu namun takut menyampaikannya. Selain itu anak menjadi tidak mempercayai orang lain lagi. Karena kepercayaan yang ia berikan pada keluarga telah dirusak oleh keluarganya sendiri. Mungkin bisa mengakibatkan depresi, merasa berdosa dan tidak berharga, ingin bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri, menyendiri dan tidak mau bergaul lagi dengan dunia luar.
Akibat lainnya dari incest ini adalah anak bisa membeci laki-laki atau sebaliknya perkembangan kematangan seksualnya menjadi lebih cepat. Bisa saja ia menjadi lebih menyukai seks, bicara mengenai seks, bahkan mungkin ia ingin mengalami hal yang sama dengan laki-laki lain. Kondisi ini pada gilirannya akan memicu anak melakukan hubungan seks dengan pacarnya ataupun menjadikan dirinya sebagai objek seks komersial. Seandainya anak menjadi benci laki-laki maka yang akan terjadi selanjutnya adalah penyimpangan orientasi seksual yang lebih berbahaya yaitu menjadi lesbian. Karena anak dengan pemikirannya yang masih sangat sederhana merasa jenis laki-laki hanya akan menyakitinya karena kaum laki-laki sejenis dengan ayahnya.
Mungkin ini pemikiran yang sepele dan terlalu menggeneralisisr karena pasti tidak semua laki-laki seperti itu. Namun dalam fikiran anak-anak yang demikian itu bukanlah sepele, apalgi bila si anak memiliki gambaran dalam hati dan fikirannya bahwa ayah itu sosok yang akan menyayangi dan melindungi dia apapun yang terjadi, karena awalnya si anak merasa bahwa dialah putri kesayangan ayah. Namun saat sang pelindung ini memaksakan nafsu bejatnya pada anak maka rusaklah jiwa anak yang selama ini menyayangi dan menghormati orang tuanya. Karena awalnya ia sangat sayang sehingga ketika ia kecewa maka ia bisa menjadi sangat benci.
Sebab lainnya karena anak merasakan kekecewaan yang dalam karena tercorengnya hubungan emosional yang harmonis yang selama ini dirasakan anak terhadap pelaku. Hati anak-anak yang lugu akan sangat rapuh menghadapi kenyataan bahwa orang yang disayanginya ternyata menyakitinya bahkan merusak masa depannya dengan cara-cara yang tentu saja tak pernah terbayangkan sama sekali, bahkan kadang tak dimengertinya sedikitpun.
Pada kondisi seperti ini hendaknya keluarga yang lain menginformasikan kekerasan yang dilakukan tersebut kepada yang berwajib, bisa juga ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, atau ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, agar mendapat tindakan kuratif dan juga preventif agar hal demikian tidak terulang lagi pada diri anak.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kadang anggota keluarga takut membeberkan kenistaan yang dilakukan salah seorang anggota keluarga yang lain terhadap si anak di keluarga itu. Takut akan timbul pandangan miring dari keluarga lainnya yang tidak mengetahui akan hal tersebut, atau oleh tetangga di sekitarnya, hingga keluarga yang tahu akan hal ini memilih mendiamkan saja. Padahal ini sangatlah berakibat buruk karena hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan tidak terpenuhi justru oleh keluarganya sendiri.
Dari sekian kasus yang jumlahnya pasti lebih banyak dari yang dilaporkan, telah ada sebagian kasus yang diselesaikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terutama divisi Hotline Service bekerja sama dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak. Anak-anak korban kekerasan seksual dititipkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak untuk mendapatkan terapi pemulihan trauma (trauma healing therapy) dari pendamping, psikolog atau relawan yang telah diberi pelatihan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Terapi ini secara umum bertujuan untuk menenangkan kegoncangan bathin yang dirasakan anak korban kekerasan seksual, agar mereka bisa kembali ke dunia mereka sebelumnya, bisa dengan mata terbuka dan percaya diri melanjutkan kembali bangku sekolah yang mereka tinggalkan. Terapi dilaksanakan dengan bersandar pada prinsip-prinsip konseling dalam psikologi dengan memperhatikan fase perkembangan serta kondisi mental anak pada fase itu, dan juga agama anak.
Atas dasar semua kondisi yang telah dipaparkan, penulis merasa tertarik untuk menjelaskan dan menganalisa terapi pemulihan trauma yang diberikan para terapis di Rumah Perlindungan Sosial Anak dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.
Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam pelitian ini adalah terapi pemulihan trauma yang digunakan para terapis terhadap anak korban kekerasan seksual dikaji dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam. Perumusan masalah tergambar dalam pertanyaan sebagai berikut:
7. kecakapan yang harus dimiliki terapis untuk memberikan trauma healing terhadap anak korban kekerasan seksual
8. terapi pemulihan trauma yang telah diberikan
9. metode yang digunakan terapis dalam upaya trauma healing
10. faktor penghambat dan pendukung jalannya trauma healing terapy?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengupas secara detail terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak. Memaparkan terapi pemulihan trauma yang diberikan secara deskriptif analitik, yaitu setelah dipaparkan keseluruhan bagiannya kemudian dianalisa secara kritis dan mendalam. Analisa yang dimaksudkan adalah mengkaji terapi tersebut dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.
Manfaat penelitian:
1. Secara teoritis, memberikan pemahaman yang komprehensif kepada peneliti dan juga komunitas akademika yang terkait dengan dunia psikologi Islam dan pendidikan, agar dapat memahami lebih jauh tentang fenomena yang nyata terjadi di hadapan mata tentang kekerasan seksual anak dan terapi yang diperlukan untuk memulihkan traumanya.
2. Secara pragmatis, memberikan penjelasan yang mendalam tentang terapi pemulihan terapi yang digunakan untuk memulihkan trauma, untuk kemudian peneliti bisa memberikan sumbangsih yang nyata dalam terapi pemulihan trauma anak korban kekerasan kekerasan seksual.
Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan
Disertasi, Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Metro Jakarta Selatan, oleh Prasetijo, (2002). Pada disertasi ini, Prasetijo meneliti proses penanganan yang dilakukan polres Metro terhadap anak korban kekerasan seksual. Dimana proses interogasi dan sikap yang ditampakkan polisi tidak sama dengan ketika polisi tersebut mengintrogasi atau menyelidiki korban kriminal yang lainnya.
Disertasi, Penanganan Pada Anak yang Mwenyaksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, oleh Gisella Tani Pratiwi, (2003). Dalam disertasi ini Gisella mengambil anak yang bukan terlibat kekerasan seksual tetapi melihat terjadinya kekerasan fisik dalam ruang lingkup keluarga inti, terutama antara ayah dengan ibu.
Disertasi, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, oleh Maria Lamria (2005). Maria Lamria menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap anak yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual dan emosional.
Sistematika Penelitian
Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan, Sistematika Penelitian, dan Metodologi Penelitian.
Pada bab ke dua akan dijelaskan mengenai Posisi Anak dalam posisi Keluarga, Masyarakat dan Negara, Kodrat Anak Dalam Islam, Kaidah Islam Dalam Pendidikan Anak, serta Anak Menurut Psikologi Islam .
Selanjutnya bab tiga akan mengupas Definisi, dan Teori-teori Kekerasan, Jenis-jenis Kekerasan dan Akibat yang Ditimbulkannya, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan, Pandangan Psikologi Terhadap Kekerasan.
Bab ke empat membahas mengenai Jenis-jenis Kekerasan Anak, Dampak Kekerasan Terhadap Perkembangan Mental Anak, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan, Posisi dan Fungsi Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kekuatan Hukum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Posisi dan Fungsi Rumah Sosial Perlindungan Anak (RSPA).
Untuk bab lima akan dibahas Upaya yang Telah dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak Bekerja Sama Dengan RSPA Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Kecakapan yang Harus Dimiliki Oleh Terapis Dalam Menghadapi Trauma Anak Korban Kekerasan Dari Segi Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Metode yang Digunakan Terapis Dalam Terapi Pemulihan Trauma Kaitannya Dengan Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Faktor Penghambat dan Pendukung yang mempengaruhi Keberhasilan Terapi Pemulihan Trauma Anak.
Diteruskan bab enam yang menelaah Pengembalian Jati Diri Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Terapi Pemulihan Trauma (beberapa contoh kasus), dan juga Bakti Rumah Sosial Perlindungan Anak Terhadap Masyarakat.
Sebagai bab terakhir akan dibahas Kesimpulan dan Penutup
6. Metodologi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik, dengan menggunakan pijakan analisa ilmu pendidikan dan psikologi Islam. Peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya tentang keekrasan seksual anak dan terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan pimpinan Rumah Sosial Perlindungan Anak dan beberapa terapis atau psikolog yang memberikan terapi pemulihan trauma terhadap aank korban kekerasan seksual. Peneliti juga mengobservasi secara cermat dan teliti terapi pemulihan trauma yang dilakukan terapis terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian seluruh data yang didapatkan dari observasi dan wawancara mendalam dikaji, dianalisa dengan berpijak pada ilmu pendidikan anak dan psikologi Islam.
(Kajian dari Sudut Pandang Pendidikan dan Psikologi Islam)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bahwa anak adalah permata hati orang tua, itu sudah pasti. Bahwa kejiwaan anak sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, demikianpun sudah pasti. Maka orang tua yang memang merasa menyayangi permata hatinya mestilah berusaha semaksimal mungkin agar perkembangan mental anak terjaga dengan baik dan menuju ke arah yang normal dan sehat. Namun bukan hanya kedua orang tua yang berkewajiban menjaga dan harus bersumbangsih terhadap perkembangan mental anak, seluruh anggota keluarga baik itu keluarga inti maupun keluarga majemuk si anak memiliki andil dan peran yang sama terhadap kewajiban ini, hanya saja intensitasnya yang berbeda.
Seluruh individu dalam satu rumpun keluarga bisa mempengaruhi perkembangan dan kemampuan mental anak. Sumbangan keluarga bagi anak jelas berbentuk materi, kecukupan fasilitas, transformasi pendidikan, jembatan menuju alam sosial yang lebih luas, namun yang lebih terpenting dari semua itu adalah keluarga sangat berperan dan berpengaruh dalam membangun kondisi mental anak.
Seharusnya memang demikian, bahwa orang tua, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek dan bahkan saudara lainnya hendaknya memberi good influence terhadap perkembangan anak terutama mentalnya. Karena inti dari struktur diri manusia itu adalah struktur rohani. Walaupun kondisi fisik kurang sempurna namun bila psikis berkembang ke arah yang normal dan sehat maka kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah yang bisa menghambat kemajuan hidup.
Namun yang terjadi di masyarakat luas tidaklah seperti yang seharusnya. Ada catatan hitam tentang kekerasan anak yang ironisnya dilakukan oleh orang dalam keluarga itu sendiri. Banyak kasus anak yang diperkosa atau dilecehkan secara seksual, menerima kekerasan fisik yang tidak seharusnya diterima anak dari siapapun, terlebih dari orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan si anak.
Anak di bawah umur dan balita menjadi korban kekerasan seksual terbesar sepanjang 2003. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) mendata, ada sekitar 50 persen anak di bawah umur dan balita yang menjadi korban dari total 239 kasus (sampai bulan Oktober).
Jenis kekerasan yang dialami berupa perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan dan pelecehan seksual. Dalam laporan catatan akhir yang disampaikan LBH APIK pada hari ini, Rabu 31/12 di Jakarta, pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban. "Bahkan memiliki hubungan darah dengan korban (incest)," ujar Vonny Reyneta, Ketua LBH APIK .
Komnas HAM Perlindungan Anak mengeluarkan data selama medio 2006 - 2007 , dalam setiap bulannya terdapat 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Jakarta. ketujuh belas kasus ini melibatkan anak sebagai korban maupun anak sebagai pelakunya. Kasus terakhir yang mengemuka adalah terjadi pada Kamis 8 Maret 2007 lalu, adalah Muna Nuria (14) diperkosa dan dihabisi nyawanya oleh 2 pelaku yakni Gusti Randa (17) dan Hendra Saputra (15) . Kedua pelaku ini telah ditangkap Polres Jakarta Utara. Kejadian ini membuat dilematis Komnas HAM Perlindungan Anak. Disatu sisi Komnas harus membela kepentingan korban, dan lainnya komnas terbentur untuk melindungi hak kedua pelakunya yang juga masih tergolong ABG itu. Kejadian ini tergolong sadis karena para pelaku yang masih ABG ini tega menghabisi nyawa sang korban, setelah tewas korban diperkosa secara bergiliran. Hal ini telah diakui kedua pelaku sendiri. Masa depan kedua pelaku ABG ini terbayang suram karena meraka dikenakan pasal 340 KUHP pembunuhan berencana dan pasal subsider pasal 338 tentang pembunuhan tanpa rencana yang diancam humuman mati.
Kasus kekerasan seksual anak-anak di Indonesia selama beberapa tahun ini meningkat dengan sangat tajam.Di wilayah Jawa Barat, dari data yang dihimpun dari Polda Jabar dalam kurun waktu 6 bulan (Oktober 2001-Maret 2002) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual kepada anak-anak.Kasus-kasus itu meliputi 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan , 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas hanyalah data mengenai kasus-kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum terungkap bisa jadi jauh lebih besar lagi.Kasus perkosaan yang dilakukan oleh kerabat dekat korban misalnya, kasus-kasus semacam ini biasanya baru terungkap. setelah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga diperkirakan masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak pernah terungkap.
Bicara mengenai kekerasan seksual berarti bicara mengenai pelecehan seksual, penyerangan dan penganiayaan seksual, sampai pemerkosaan. Pelecehan seksual yang disertai atau tidak dengan kekerasan merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat. Inilah yang kemudian menyebabkan pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, karena pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk tidak membuka mulut.
Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap masalah ini menjadi salah satu faktor pendukung tindak kekerasan tersebut. Banyak tetangga -bahkan keluarga- yang enggan melaporkan suatu tindak kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah keluarga tersebut. Akibatnya, banyak pelaku dengan bebas kembali melakukan berulangkali kekerasan tersebut. Dalam beberapa contoh kasus yang bisa diamati di media massa baik cetak maupun elektronik terlihat bahwa anak-anak sering sekali menjadi objek kekerasan fisik dan seksual.
Kekerasan merupakan suatu tindak kejahatan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup, bersifat menyerang ataupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Thomas Santoso menjelaskan empat sifat kekerasan:
1. Kekerasan terbuka: adalah tindak kekerasan yang secara transparan dilakukan baik dengan kekuatan kata-kata yang kasar maupun kekuatan fisik seperti menempeleng dan semacamnya.
2. Kekerasan tertutup: tindak kekerasan yang inheren sifatnya, tidak langsung disampaikan dalam bentuk kata-kata kasar maupun perbuatan fisik tetapi tersirat dalam sikap yang mengancam, baik mengancam itu dengan kata-kata, dengan alat atau dengan mimik wajah.
3. Kekerasan agresif: kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu
4. Kekerasan defensif: kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan sesuatu
Umumnya kekerasan tidak terlepas dari ancaman, ini dikarenakan umumnya pihak korban kekerasan tidak menerima begitu saja sikap yang menyakiti tersebut, sementara pihak yang mengancam tentu saja tidak akan berhenti dengan mudahnya dalam berusaha mendapatkan keinginannya. Lagi pula menurut Weber (1958) ancaman dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan. Dengan mengancam sebahagian orang merasa bisa mengontrol dan mengendalikan orang lain. Ancaman menurut Weber merupakan suatu kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan.
Sedangkan mengenai dimensinya, seorang Gandhian Johan Galtung mengatakan bahwa kekerasan memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik dan psikis
Kajian fisik dan psikis merupakan ’area’ yang sering menjadi pelampiasan dari orang yang suka melakukan kekerasan. Walaupun disebutkan terpisah namun bukan berarti kekerasan fisik tidak berpengaruh pada kondisi psikologis anak korban kekerasan.
2. Kekerasan berpengaruh yang positif dan negatif
Kekerasan bisa saja bervalue positif tetapi hanya pada para pelakunya, karena dengan ini pelaku mendapatkan kemenangan emosi dan kepuasan kebutuhan, sementara bagi korban cenderung berakibat negatif, bahkan terkadang dalam jangka waktu yang lama dan seringkali tidak terdeteksi secara langsung. Bisa juga dipahami dalam bentuk sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian –tidak bebas-, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun mungkin menimbulkan perasaan yang euphoria.
3. Kekerasan ada objek atau tak ada objek
Secara umum kekerasan selalu membutuhkan objek, walaupun itu hanya sebotol kaleng softdrink kosong yang ditendang sekeras-kerasnya atau secangkir kopi yang sengaja dicampakkan ke lantai.
4. Kekerasan ada subjek atau tak ada subjek
Bila kekerasan terjadi dengan adanya subjek disebut personal, berarti kekerasan di sini dilakukan oleh perorangan, namun terkadang kekerasan bisa juga dilakukan oleh bukan orang, yaitu sistem. Suatu sistem yang sangat memaksa, memeras, menekan dan membuat orang menjadi sangat terpaksa mengikuti karena kewajiban tertentu, namun tidak menguntungkan atau hanya memberi keuntungan kecil (tidak sepadan dengan besarnya tekanan) pada orang yang mengikuti.
5. Kekerasan yang disengaja atau tidak disengaja
Kesengajaan atau ketidaksengajaan ini dilihat dari tujuan melakukan kekerasan tersebut bukan dari perbuatannya. Umumnya kekerasan yang bersifat agresif cenderung berdimensi disengaja walau ada beberapa kasus dimana kekerasan bersifat agresif terjadi tanpa sengaja. Namun pada kasus kekerasan yang defensif kekerasan yang terjadi umumnya tidak sengaja.
6. Kekerasan yang tampak atau tersembunyi
Kekerasan yang tampak seperti yang telah dijelaskan, yaitu dengan kata-kata kasar, perbuatan dan penggunaan alat yang bisa menyakiti orang lain dimana tindakan itu terlihat jelas. Kekerasan tersembunyi yaitu kata-kata yang menyiratkan ancaman, dan sikap yang mengancam.
Bila kekerasan seksual dikaitkan dengan dimensi dan sifat kekerasan yang telah diuraikan, bisa diamati bahwa kekerasan seksual bersifat terbuka, tertutup, dan agresif, tidak bersifat defensif. Karena jelas kekerasan seksual terjadi saat pihak pelaku menyerang korban yaitu anak di bawah umur untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya tdak boleh didapatkannya dari anak itu.
Untuk dimensinya maka kekerasan seksual memiliki dimensi kekerasan fisik juga psikis, positif bagi pelaku dan negatif bagi korban, berdimensi kekerasan dengan objek dan subjek (personal/langsung), kekerasan ini juga berdimensi sengaja dan tampak, walaupun juga sering berdimensi tersembunyi, karena seringkali kekerasan seksual didahului dengan ancaman.
Sebenarnya apa definisi yang pasti mengenai kekerasan seksual? Secara umumnya kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan dan hujan begitu jugalah hubungan seks dan kekerasan. Selama ada hubungan seks maka selama itu pula kekerasan selalu bersifat possible. Untuk pengertian kekerasan seksual yang diakui dalam perundangan adalah dapat dipahami dengan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak tentang Ketentuan Pidana Pasal 81 ayat 1 dan 2:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana denagn pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam undang-undang tertera dengan jelas bahwa yang dinamakan kekerasan seksual terhadap anak adalah menggunakan segala cara baik dengan cara yang mengancam jiwa anak maupun bukan dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual yang diinginkan pelaku.
Dalam makalahnya yang berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak" Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Definisi lainnya mengenai kekerasan seksual, yaitu kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, dimana anak digunakan untuk mendapatkan kepuasan seksual oleh orang dewasa atau orang lain. Biasanya, penganiayaan seksual dilakukan oleh orang yang lebih tua dari korbannya, atau yang memiliki posisi lebih tinggi dari anak tersebut, jenis kelamin yang berbeda, aktivitas seksual tidak sesuai dengan umur anak, terdapat unsur paksaan, tekanan, ancaman, atau harus merahasiakan, korban yang melawan, dan sering disertai penganiayaan fisik.
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
3. Kekerasan dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
4. Kekerasan dalam lingkungan institusi (Institutional abuse)
5. Kekerasan dalam lingkungan anak jalanan (Street or stranger abuse)
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Ditegaskan oleh Prof. Dr. Soetjiningsih yang memberikan makalah berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak". Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini. Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orang tua yang tinggal bersama, maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah
3. Kekerasan seksual dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu ritual agama atau berdalih untuk ritual agama.
4. Kekerasan seksual dalam lingkungan institusi tertentu (Institutional abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu institusi tertentu, mungkin di sekolah, di tempat kursus, tempat penitipan anak.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum oleh orang yang tidak dikenal oleh korban. Bisa dengan ancaman atau dengan rayuan memberikan permen, diajak jalan-jalan dan semacamnya.
Perlu dipahami, persoalan-persoalan kekerasan seksual terhadap anak perempuan terutama yang juga berakhir dengan KTD (Kehamilan yang Tidak Dikehendaki), bukan persoalan sederhana yang bisa diselesaikan dengan 'cara' sederhana pula. Misalnya, ada yang kemudian mencoba menyelesaikan persoalan dengan menikahkan anak yang sudah hamil tersebut, baik dengan pelaku ataupun dengan orang lain. Ketika korban seorang pelajar, tidak jarang pihak sekolah menyelesaikan masalah dengan mengeluarkan anak yang hamil dari sekolah. Alasannya, sekolah sudah memiliki peraturan yang tidak mengijinkan siswanya hamil. Penyelesaian-penyelesaian tersebut sungguh bukan mengatasi masalah, tapi justru menambah masalah, khususnya bagi korban.
Harus diakui, isu kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan atau perkosaan, kurang terangkat ke permukaan dibandingkan isu lain. Berbeda dengan masalah trafficking/perdagangan anak, pedofilia, juga pornografi yang jauh lebih banyak dibahas dalam masyarakat. Hal yang makin memprihatinkan ialah, menurut KUHP, hukuman pemerkosa anak lebih ringan di banding hukuman terhadap pemerkosa perempuan dewasa. Sementara di sisi lain, masyarakat bisa sedikit lega dengan adanya Undang Undang Perlindungan Anak yang memberikan hukuman minimal tiga tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual, walaupun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.
Dampak kekerasan seksual bagi anak perempuan tidaklah sesaat, tapi bisa jadi seumur hidup. Banyak dari mereka yang setelah mengalami kekerasan seksual, karena merasa sudah tidak perawan lagi dan masa depan suram, pada akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi anak. Dalam hal ini, kekerasan dan eksploitasi seksual menjadi semakin dekat dengan dengan kehidupan anak-anak tersebut. Teguh Vedder menjelaskan beberapa akibat yang rentan menyerang anak korban kekerasan seksual, diantaranya:
memiliki self esteem yang rendah
rasa harga diri baru bisa muncul denagn baik dan normal bila individu tidak mengalami hal-hal yang mungkin akan menjatuhkan harga dirinya. Sedangkan pada anak korban kekerasan, sudah jelas anak tersebut direnggut harga dirinya, dianggap rendah oleh pelakunya dan apa hyang terjadi itu bisa melukai rasa percaya dirinya. Masa lalu yang buruk ini akan terus menghantui fikirannya, mungkin jadi mimpi buruk ayng membangunkannya di tengah amlam dan sedikit abnyak akan mempengaruhi pola tingkah lakunya terutama terhadap lawan jenis.
Rusaknya hubungan antara orang tua korban dan korban terhadap pelaku.
Hubungan keluarga yang tadinya utuh menjadi rusak. Karena perbuatan pelaku. Baik orang tua korban maupun korban sendiri pada saat dewasa menyimpan dendam yang tidak akan hilang begitu saja terhadap pelaku. Satu sisi mungkin ingin mengadukan pelaku pada yang berwajib agar mendapatkan hukuman tetapi di sisi lain ada rasa malu yang timbul andainya aib tersebut diketahui saudara lainnya atau kemungkinan akan dipermalukan tetangga. Akhirnya rasa sakit tersebut hanya dipendam saja membuat dendam yang terasa di hati makin membuat lobang yang meregangkan hubungan darah mereka.
Ditambahkan oleh Hurlock, bahwa anak-anak yang mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu akan berakibat bagi penerimaan dirinya. Apalagi kalau hal buruk tersebut diberikan oleh keluarga, karena menurut Hurlock keluarga adalah faktor yang paling penting dan paling besar mempengaruhi kepribadian. Bila keluarga justru memberikan masalah besar saat anak masih dalam pembentukan kepribadian, maka cenderung kepribadian anak akan mengarah pada kepribadian yang bernilai kurang positif.
Menurut Nilam Widyarini, incest merupakan aib yang sangat memalukan bagi keluarga, dan sangat menyakiti dan melukai harga diri anak yang jadi korban. Keengganan keluarga membongkar aib justru membuat pelaku semakin berkuasa dan leluasa mengulangi dan mengulangi kembali perbuatan hina itu. Incest sering terjadi antar kakak laki-laki terhadap adik perempuan, atau mungkin adik laki-laki yang bertubuh besar terhadap kakak perempuan yang tidak jauh perbedaan umurnya dan bertubuh lebih kecil, walaupun ini cukup jarang terjadi. Atau antara ayah dengan anak gadisnya apakah itu kandung, tiri atau angkat. Antara anak laki-laki dewasa terhadap ibunya mungkin juga terjadi, tetapi persentasenya cukup kecil. Jelasnya, dalam kekerasan seksual hampir bisa dipastikan wanita berada pada posisi korban dan laki-laki pada posisi pelaku.
Dalam incest ini jarang ditemukan unsur suka – sama –suka. Oleh karenanya bisa dicurigai bahwa ayah atau kakak yang melakukan sexual abuse sampai pemerkosaan terhadap anak gadis atau kakaknya menggunakan kekerasan dalam mencapai maksudnya. Hampir tidak pernah terdengar ada perempuan yang memperkosa laki-laki. Ini dikarenakan karena stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, lagipula dengan sifat khas yang dimiliki laki-laki maupun perempuan memang hampir tidak mungkin perempuan bisa ”memperkosa” perempuan.
Saat incest dicurigai terjadi oleh salah satu anggota keluarga maka cenderung kecurigaan itu di redam, bahkan ketika sampai ke pihak yang berwajibpun cenderung ada pihak keluarga yang terkesan menutupi atau bahkan menyembunyikan fakta. Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi, keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada salah satu anak di dalam keluarga.
Untuk alasan inilah pelecehan seksual atau bahkan kekerasan seksual dalam keluarga menjadi lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan/kekerasan seksual dalam keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Ada beberapa penyebab atau pemicu timbulnya incest menurut Widyarini. Akar dan penyebab tersebut tidak lain diantaranya adalah pertama, karena pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri individu.
Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung dianggap
dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan
menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif,yakni dorongan seksual ataupun agresivitas.
Dorongan primitif ini menjadi lebih buruk lagi karena disupport dengan kemajuan tehnologi yang memang bermata dua. Pada satu sisi kemajuan tehnologi sangat membantu percepatan pembangunan, dan penyebaran lebih banyak informasi pada lebih banyak kalangan dan daerah. Namun seiring itu hi-tech ternyata juga berperan dalam peningkatan jumlah kejahatan, jenis dan modus operandinya. Dalam kasus kekerasan seksual ini pelaku cenderung terobsesi pada korban awalnya belum tentu dimulai dari korban sendiri. Inilah sebab incest yang kedua yaitu konflik budaya.
Anggapan masyarakat pada korban yang memasuki usia remaja, kekerasan seksual yang terjadi dipicu oleh tingkah dan perilaku mereka sendiri, namun anggapan ini tentu tidak bisa diterapkan pada kasus pelecehan atau penganiayaan seksual yang terjadi pada anak di bawah delapan tahun. Banyaknya film porno dalam bentuk cd atau dvd yang mudah didapatkan, murahnya harga player cd atau dvd sehingga banyak yang memiliki, atau beredarnya video porno lewat internet yang di download oleh orang-orang yang memiliki HP dengan fasilitas kamera, kesemua ini bisa menjadi pemicu meningkatnya perkosaan yang dilakukan pada perempuan usia berapapun. Juga media cetak yang sering mengangkat tema pornografi diiringi gambar-gambar seronok, yang demikian ini tentu memancing dan mengarahkan otak pada hal-hal yang bersifat seksualitas.
Penyebab ketiga adalah kemiskinan. Meskipun incest dapat terjadi dalam segala lapisan ekonomi, secara khusus kondisi kemiskinan merupakan rantai situasi yang sangat potensial menimbulkan incest. Sejak krisis 1998, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin meninggi. Banyak keluarga miskin hanya memiliki satu petak rumah. Tidak ada sekat antara kamar tidur orang tua dengan anak. Ini bisa memicu nafsu seksual dari kakak laki-laki terhadap adik perempuan atau nafsu ayah terhadap gadis kecilnya karena mereka tidur di satu tempat yang sama.
Sebab yang keempat adalah pengangguran. Banyaknya kasus PHK pada masa krisis membuat banyak ayah menjadi pengangguran. Kondisi ini memaksa perempuan untuk akhirnya sering keluar rumah untuk bekerja. Akhirnya di saat istri semakin jarang di rumah membuat kesempatan terjadinya incest antara ayah dengan anak atau dengan anggota keluarga lainnya semakin besar.
Bicara mengenai asal lingkungan pelaku kekerasan seksual, anak juga harus dijaga dari ancaman dari pihak luar keluarga. Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.
Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarahan dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang dimana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai. Lebih jelas lagi akan dirinci tahapan terjadinya sexual abuse:
Fase perjanjian. Pelaku akan menjanjikan akan memberikan sesuatu yang menarik hati si anak. Mungkin berupa makanan, minuman, uang cash, atau diajak jalan-jalan oleh si pelaku sampai anak tidak merasa curiga sedikitpun bahkan sebaliknya merasa nyaman dan dekat dengan si pelaku.
Fase rahasia. Pelaku hampir selalu mengatakan “jangan bilang siapa-siapa ya…” pada anak calon korbannya. Terkadang kata-kata seperti ini disampaikan secara baik-baik tetapi tidak jarang disertai dengan ancaman.
Fase penyingkapan. Biasanya baru terjadi apabila orang tua benar-benar merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada putrinya. Atau mungkin si anak mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu terutama organ vitalnya. Atau pada kebanyakan kasus penganiayaan seksual ini tersingkap setelah anak hamil, dan pada saat itu anak sudah mengalami penganiayaan seksual yang pastinya lebih dari sekali dua kali.
Fenomena inilah yang kadang ditutupi keluarga si anak yang bersangkutan. Walaupun ada anggota keluarga yang mengetahui tentang penganiayaan seksual ini namun membiarkan begitu saja hingga akhirnya si anak hamil. Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan bantuan pemulihan trauma setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.
Dilihat dari sudut pandang manapun, anak adalah harta yang berharga. Dalam lapangan pendidikan ada dikenal istilah periode emas, dan periode penting pertumbuhan anak. Mulai dari kelahirannya sampai akhir masa remaja anak merupakan makhluk yang rentan dan mudah lemah, terpengaruh bahkan terperosok ke lobang-lobang kejahatan dan kemaksiatan bila orang dewasa yang terdekat tidak ”rapi” dalam penjagaanya.
Demikian pula dalam pandangan Islam, anak merupakan titipan Allah yang suatu saat akan diminta pertanggungjawaban orang tua tentang perawatan dan pengasuhan anak tersebut. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi dan fisik yang harus diupayakan orang tua melainkan juga pemenuhan kebutuhan psikologi anak. Dalam pandangan Zakiah Darajat, kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia pada fase manapun, baik itu anak-anak, remaja, dewasa atau bahkan orang tua adalah kasih sayang dan selanjutnya rasa aman. Apabila orang dewasa yang sudah bisa mengusahakan arah hidupnya sendiri, masih membutuhkan kasih sayang apalagi anak di bawah umur yang umumnya masih sangat bergantung pada orang tua. Kalaupun ada anak-anak yang bisa tidak terlalu bergantung secara materi pada orang tuanya namun sebelum mencapai usia dewasa, hampir setiap orang membutuhkan keluarga untuk berbagi suka duka. Ikatan yang kuat dalam keluarga bisa memberi rasa hangat pada jiwa anak, dan yang demikian itu berpengaruh pada pembentukan rasa percaya diri anak, kestabilan emosi dan pengarahan daya mentalnya terhadap hal yang positif.
Semua kondisi positif itu bisa dicapai dengan bermula dari keluarga yang penuh kasih sayang, dimana bukan hanya orang tua dan saudara kandung yang berkewajiban memperhatikan pemenuhan psikologi anak. Keluarga yang basic kasih sayangnya kuat sangatlah menunjang dan menjadi background kepribadian dan tingkah lakunya di masa mendatang. Baik dari sudut pandang pendidikan anak maupun psikologi Islam, kondisi yang saling menyayangi, saling menguatkan dan saling menerima di keluarga bisa mempermudah pencapaian anak terhadap prestasi fisik maupun psikis. Agar anak bisa mencapai segala prestasi tersebut seyogyanya keluarga dengan seluruh pihak didalamnya menjaga dengan hati-hati. Jangan sampai anak menjadi korban perbuatan buruk yang bisa saja membekas di ingatannya dan merubah tingkah lakunya ke arah yang negatif.
Anak merasa keluarga lah yang mampu menaungi dan melindunginya dari kejahatan dan kekerasan dunia luar. Kondisi keluarga yang membuat anak nyaman dan aman akan sangat membantu dalam proses perkembangan jiwa, kreativitas dan juga kepribadiannya. Pada kasus kekerasan seksual dalam keluarga, bagaimana anak akan merasa aman apabila orang yang menyakitinya bahkan merenggut mahkotanya adalah pamannya atau bahkan ayahnya sendiri? Bahkan dengan demikian keluarga telah menjelma menjadi tempat yang sangat menakutkan bagi anak. Seperti yang digambarkan Hurlock, ”jika anak belajar dalam suasana penuh ancaman ia akan belajar mengutuk (walau dalam hatinya), dan jika ia hidup dalam suasana tertekan dan ketakutan ia akan menjadi penakut terhadap hidup”.
Selanjutnya menurut Zakiah, bahwa anak sangat membutuhkan penghargaan terhadap harga dirinya. Anak perlu merasa memiliki keluarga, merasa punya posisi penting dalam keluarga. Apa yang dikatakannya didengarkan oleh anggota keluarga (walaupun, jelas tidak semua kata-kata anak akan dipertimbangkan), dan apa yang menjadi kemauan atau kegelisahannya diperhatikan oleh keluarga. Bila melihat kepada situasi kekerasa seksual di rumah tangga, jelas bahwa anak korban kekerasan seksual di rumah tangga telah dihancurkan harga dirinya oleh keluarganya sendiri. Justru keluargalah yang membuat ia menjadi gelisah, kehilangan hak bicara (karena diancam) dan kehilangan posisi penting bahwa ia adalah permata keluarga.
Berarti baik dari segi psikologi Islam maupun pendidikan Anak, keluarga memiliki peran terbesar dalam menentukan arah pembentukan jiwa anak. Bagaimanapun pengaruh dari luar keluarga datang pada diri anak, tetap saja pengaruh dari dalam keluarga yang paling memberi kesan dalam perkembangan pemikiran dan tingkah lakunya di masa depan. Bahkan para sosiologpun menilai bahwa keluarga adalah benteng kokoh sebuah lapisan masyarakat, bila benteng ini rapuh maka perlahan konstruksi lapisan masyarakat pun merapuh.
Namun pada sebahagian kasus kekerasan seksual, justru yang menjadi Dewa Siwa bagi cahaya mata si anak adalah keluarganya sendiri. Orang yang sering bermain dengannya, orang yang sering membuatnya tertawa bahkan sering menjaga dan menemani hari-harinya. Luka yang tertoreh dalam jiwa anak akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga dapat dipastikan dua kali lipat lebih perih daripada andainya luka tersebut ditorehkan orang lain di luar keluarga yang mungkin tidak dekat dengannya atau tidak Ia kenal sama sekali.
Ini logis karena anak harus kembali bersosialisasi dengan orang yang telah memberikannya mimpi buruk, dan ia harus memendam dalam-dalam kekecewaan yang kadang tidak dapat dibahasakannya karena ia takut dengan ancaman yang pernah diberikan pelaku. Tentu saja suasana demikian menciptakan tekanan yang sangat mengganggu fikiran dan hatinya, hingga banyak anak yang menjadi korban sexual abuse terutama oleh keluarga akan berubah menjadi pemurung, seperti menyimpan sesuatu namun takut menyampaikannya. Selain itu anak menjadi tidak mempercayai orang lain lagi. Karena kepercayaan yang ia berikan pada keluarga telah dirusak oleh keluarganya sendiri. Mungkin bisa mengakibatkan depresi, merasa berdosa dan tidak berharga, ingin bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri, menyendiri dan tidak mau bergaul lagi dengan dunia luar.
Akibat lainnya dari incest ini adalah anak bisa membeci laki-laki atau sebaliknya perkembangan kematangan seksualnya menjadi lebih cepat. Bisa saja ia menjadi lebih menyukai seks, bicara mengenai seks, bahkan mungkin ia ingin mengalami hal yang sama dengan laki-laki lain. Kondisi ini pada gilirannya akan memicu anak melakukan hubungan seks dengan pacarnya ataupun menjadikan dirinya sebagai objek seks komersial. Seandainya anak menjadi benci laki-laki maka yang akan terjadi selanjutnya adalah penyimpangan orientasi seksual yang lebih berbahaya yaitu menjadi lesbian. Karena anak dengan pemikirannya yang masih sangat sederhana merasa jenis laki-laki hanya akan menyakitinya karena kaum laki-laki sejenis dengan ayahnya.
Mungkin ini pemikiran yang sepele dan terlalu menggeneralisisr karena pasti tidak semua laki-laki seperti itu. Namun dalam fikiran anak-anak yang demikian itu bukanlah sepele, apalgi bila si anak memiliki gambaran dalam hati dan fikirannya bahwa ayah itu sosok yang akan menyayangi dan melindungi dia apapun yang terjadi, karena awalnya si anak merasa bahwa dialah putri kesayangan ayah. Namun saat sang pelindung ini memaksakan nafsu bejatnya pada anak maka rusaklah jiwa anak yang selama ini menyayangi dan menghormati orang tuanya. Karena awalnya ia sangat sayang sehingga ketika ia kecewa maka ia bisa menjadi sangat benci.
Sebab lainnya karena anak merasakan kekecewaan yang dalam karena tercorengnya hubungan emosional yang harmonis yang selama ini dirasakan anak terhadap pelaku. Hati anak-anak yang lugu akan sangat rapuh menghadapi kenyataan bahwa orang yang disayanginya ternyata menyakitinya bahkan merusak masa depannya dengan cara-cara yang tentu saja tak pernah terbayangkan sama sekali, bahkan kadang tak dimengertinya sedikitpun.
Pada kondisi seperti ini hendaknya keluarga yang lain menginformasikan kekerasan yang dilakukan tersebut kepada yang berwajib, bisa juga ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, atau ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, agar mendapat tindakan kuratif dan juga preventif agar hal demikian tidak terulang lagi pada diri anak.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kadang anggota keluarga takut membeberkan kenistaan yang dilakukan salah seorang anggota keluarga yang lain terhadap si anak di keluarga itu. Takut akan timbul pandangan miring dari keluarga lainnya yang tidak mengetahui akan hal tersebut, atau oleh tetangga di sekitarnya, hingga keluarga yang tahu akan hal ini memilih mendiamkan saja. Padahal ini sangatlah berakibat buruk karena hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan tidak terpenuhi justru oleh keluarganya sendiri.
Dari sekian kasus yang jumlahnya pasti lebih banyak dari yang dilaporkan, telah ada sebagian kasus yang diselesaikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terutama divisi Hotline Service bekerja sama dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak. Anak-anak korban kekerasan seksual dititipkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak untuk mendapatkan terapi pemulihan trauma (trauma healing therapy) dari pendamping, psikolog atau relawan yang telah diberi pelatihan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Terapi ini secara umum bertujuan untuk menenangkan kegoncangan bathin yang dirasakan anak korban kekerasan seksual, agar mereka bisa kembali ke dunia mereka sebelumnya, bisa dengan mata terbuka dan percaya diri melanjutkan kembali bangku sekolah yang mereka tinggalkan. Terapi dilaksanakan dengan bersandar pada prinsip-prinsip konseling dalam psikologi dengan memperhatikan fase perkembangan serta kondisi mental anak pada fase itu, dan juga agama anak.
Atas dasar semua kondisi yang telah dipaparkan, penulis merasa tertarik untuk menjelaskan dan menganalisa terapi pemulihan trauma yang diberikan para terapis di Rumah Perlindungan Sosial Anak dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.
Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam pelitian ini adalah terapi pemulihan trauma yang digunakan para terapis terhadap anak korban kekerasan seksual dikaji dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam. Perumusan masalah tergambar dalam pertanyaan sebagai berikut:
7. kecakapan yang harus dimiliki terapis untuk memberikan trauma healing terhadap anak korban kekerasan seksual
8. terapi pemulihan trauma yang telah diberikan
9. metode yang digunakan terapis dalam upaya trauma healing
10. faktor penghambat dan pendukung jalannya trauma healing terapy?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengupas secara detail terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak. Memaparkan terapi pemulihan trauma yang diberikan secara deskriptif analitik, yaitu setelah dipaparkan keseluruhan bagiannya kemudian dianalisa secara kritis dan mendalam. Analisa yang dimaksudkan adalah mengkaji terapi tersebut dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.
Manfaat penelitian:
1. Secara teoritis, memberikan pemahaman yang komprehensif kepada peneliti dan juga komunitas akademika yang terkait dengan dunia psikologi Islam dan pendidikan, agar dapat memahami lebih jauh tentang fenomena yang nyata terjadi di hadapan mata tentang kekerasan seksual anak dan terapi yang diperlukan untuk memulihkan traumanya.
2. Secara pragmatis, memberikan penjelasan yang mendalam tentang terapi pemulihan terapi yang digunakan untuk memulihkan trauma, untuk kemudian peneliti bisa memberikan sumbangsih yang nyata dalam terapi pemulihan trauma anak korban kekerasan kekerasan seksual.
Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan
Disertasi, Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Metro Jakarta Selatan, oleh Prasetijo, (2002). Pada disertasi ini, Prasetijo meneliti proses penanganan yang dilakukan polres Metro terhadap anak korban kekerasan seksual. Dimana proses interogasi dan sikap yang ditampakkan polisi tidak sama dengan ketika polisi tersebut mengintrogasi atau menyelidiki korban kriminal yang lainnya.
Disertasi, Penanganan Pada Anak yang Mwenyaksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, oleh Gisella Tani Pratiwi, (2003). Dalam disertasi ini Gisella mengambil anak yang bukan terlibat kekerasan seksual tetapi melihat terjadinya kekerasan fisik dalam ruang lingkup keluarga inti, terutama antara ayah dengan ibu.
Disertasi, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, oleh Maria Lamria (2005). Maria Lamria menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap anak yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual dan emosional.
Sistematika Penelitian
Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan, Sistematika Penelitian, dan Metodologi Penelitian.
Pada bab ke dua akan dijelaskan mengenai Posisi Anak dalam posisi Keluarga, Masyarakat dan Negara, Kodrat Anak Dalam Islam, Kaidah Islam Dalam Pendidikan Anak, serta Anak Menurut Psikologi Islam .
Selanjutnya bab tiga akan mengupas Definisi, dan Teori-teori Kekerasan, Jenis-jenis Kekerasan dan Akibat yang Ditimbulkannya, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan, Pandangan Psikologi Terhadap Kekerasan.
Bab ke empat membahas mengenai Jenis-jenis Kekerasan Anak, Dampak Kekerasan Terhadap Perkembangan Mental Anak, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan, Posisi dan Fungsi Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kekuatan Hukum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Posisi dan Fungsi Rumah Sosial Perlindungan Anak (RSPA).
Untuk bab lima akan dibahas Upaya yang Telah dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak Bekerja Sama Dengan RSPA Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Kecakapan yang Harus Dimiliki Oleh Terapis Dalam Menghadapi Trauma Anak Korban Kekerasan Dari Segi Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Metode yang Digunakan Terapis Dalam Terapi Pemulihan Trauma Kaitannya Dengan Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Faktor Penghambat dan Pendukung yang mempengaruhi Keberhasilan Terapi Pemulihan Trauma Anak.
Diteruskan bab enam yang menelaah Pengembalian Jati Diri Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Terapi Pemulihan Trauma (beberapa contoh kasus), dan juga Bakti Rumah Sosial Perlindungan Anak Terhadap Masyarakat.
Sebagai bab terakhir akan dibahas Kesimpulan dan Penutup
6. Metodologi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik, dengan menggunakan pijakan analisa ilmu pendidikan dan psikologi Islam. Peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya tentang keekrasan seksual anak dan terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan pimpinan Rumah Sosial Perlindungan Anak dan beberapa terapis atau psikolog yang memberikan terapi pemulihan trauma terhadap aank korban kekerasan seksual. Peneliti juga mengobservasi secara cermat dan teliti terapi pemulihan trauma yang dilakukan terapis terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian seluruh data yang didapatkan dari observasi dan wawancara mendalam dikaji, dianalisa dengan berpijak pada ilmu pendidikan anak dan psikologi Islam.
0 Response to " "
Post a Comment