Ratih Siti Aminah, M.Si. "Maknai Kesetaraan dalam Profesi Wartawan"
Tubuh kita itu akan menggiring kita kepada hal yang kita yakini, itu yang selalu saya yakini di hati.
“Kesetaraan Gender” begitulah istilah yang kerap kita dengar di era post-modern ini. Melalui sosok R.A. Kartini, persamaan hak antara kaum lelaki dan perempuan telah diperjuangkan pada zamannya. Kilas dalam sejarah, dulu wanita Indonesia memang dianggap memiliki derajat yang lebih rendah dari pria. Hal itu yang kemudian menjadikan wanita tidak dapat bersekolah serta tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Namun saat ini tentunya peran wanita justru semakin eksis dalam berbagai bidang.
Salah satunya, saya bsempat bertemu dengan seorang wartawan wanita yang bersedia membagikan pengalamannya. Terkenal dengan salam semangat dan senyumannya yang khas, Ratih Siti Aminah, M.Si., menekuni dunia kewartawanan sejak tahun 1995. Ia juga berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta terbesar di Kota Bogor, dan tetap menjalani kodrati sebagai ibu.
Menurutnya, makna gender bukan masalah jenis kelamin, tapi lebih kepada peran manusia dalam kehidupannya. Misalnya saja ia mencontohkan, sering kita berpikiran yang mengurus anak itu perempuan, laki-laki kerja di luar rumah. Padahal mengurus anak itu tugasnya laki-laki dan perempuan. Bukan menjadi hal yang aneh pula, jika laki-laki bekerja di dalam rumah. Karena bekerja itu tidak harus selalu dilakukan di luar.
Menurutnya, makna gender bukan masalah jenis kelamin, tapi lebih kepada peran manusia dalam kehidupannya. Misalnya saja ia mencontohkan, sering kita berpikiran yang mengurus anak itu perempuan, laki-laki kerja di luar rumah. Padahal mengurus anak itu tugasnya laki-laki dan perempuan. Bukan menjadi hal yang aneh pula, jika laki-laki bekerja di dalam rumah. Karena bekerja itu tidak harus selalu dilakukan di luar.
Ibu dari dua orang anak ini menilai, kesetaraan bukan berarti menunjukkan perempuan itu lebih hebat atau berusaha menyaingi laki-laki. Melainkan, perempuan bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki. Begitu pun yang dilakoninya dalam profesi sebagai wartawan. “Kita perempuan tidak akan bisa setara dengan laki-laki, kalau kita tidak mau belajar,” ujar Ratih.
Pengetahuan perempuan berada di bawah laki-laki. Tetapi hal itu tidak berlaku, jika saja kita sebagai perempuan mau untuk sama-sama belajar. Selain itu, yang harus dilakukan oleh wanita dalam kesetaraan, sebaiknya tidak banyak menuntut hak istimewa di luar kondisi biologis.
Ratih kembali menggambarkan dalam dunia wartawan. Seorang wartawan wanita tidak bisa mengeluhkan perihal menstruasi dalam pekerjaannya yang melibatkan bertemu banyak narasumber. Bad mood, sindrom yang dialami beberapa wanita ketika masa haid. Sebagai seorang wartawan, tentu harus bisa berdamai dengan apa yang ada di dalam dirinya untuk bisa dianggap setara dengan laki-laki.
Profesi menjadi seorang wartawan tentu diakuinya tidaklah mudah. Awal ia menekuni bidang itu, memang banyak menuai komentar miring dari sang Mama. Posisinya sebagai anak pertama, dan satu-satunya perempuan pun menjadi hal yang sering dikhawatirkan. Kekhawatiran semakin menjadi, mengingat jam kerja Ratih yang tidak menentu akibat harus liputan langsung.
Lagi-lagi menjadi tantangan tersendiri. Ratih merasa harus profesional, bukan karena ia perempuan lantas berdalih tidak bisa liputan karena tidak boleh pulang larut malam. Sebagai wartawan sudah seharusnya bisa menghadapi rintangan apapun, agar tetap bisa mencari informasi yang sama. Biasanya dalam hal itu, Ratih sudah jauh-jauh hari bilang ke Mama, bahwa ia harus liputan malam.
Baginya, dari dulu sosok Mama yang sekaligus berperan menjadi ayah ini memiliki sikap demokratis. Mama selalu mendukung hal baik yang menjadi pilihan hidupnya. Dalam artian setiap pilihan berarti kita telah siap menghadapi segala risikonya. Ya, rupanya sangat sulit mendapatkan kepercayaan. Tapi seiring waktu, Ratih semakin menunjukkan bahwa ia memang melakukan itu untuk hal yang positif.
“Tubuh kita itu akan menggiring kita kepada hal yang kita yakini, itu yang selalu saya yakini di hati,” ujarnya. Ratih memang selalu mengikuti kata hati, karena hal itulah yang akan menyamankan diri kita.
Peralihan masa orde baru ke era reformasi salah satu peristiwa yang lekat dalam ingatannya. Saat itu Ratih ditugaskan untuk meliput pembakaran dan penjarahan yang ada di kawasan Jakarta-Kota. Ia bersama tiga orang rekan wartawan laki-laki berpencar, bekerjasama dalam mengatur strategi di lapangan.
Tak ada perlakuan spesial, di situ justru Ratih merasa memiliki tugas yang sama dengan laki-laki. Sangat berisiko di tengah amuk masa dan api yang berkobar, wanita ini tetap menjalani tanggung jawabnya untuk meliput peristiwa dan tetap memikirkan keselamatan diri.
“Dulu profesi wartawan itu eksklusif. Walaupun perempuan, saat itu bukan ditabrak atau ditarik, malah mereka enggak mau menyenggol saya,” kenangnya. Satu hal yang ia syukuri, sampai saat ini belum mendapati perlakuan diskriminasi perempuan. Karena menurutnya semua itu bergantung lagi kepada sikap diri sendiri.
Sebagai wanita, kita harus cerdas. Ratih merasakan sekali, dengan hal itu orang akan menghargai kita. Cerdas bukan berarti sombong, tapi kita tetap harus menghormati laki-laki. Maka dalam kesetaraan, ilmu yang dimiliki menunjukkan bahwa kita perempuan yang ingin dihargai dan menghargai orang lain.
Tentu, kita bisa setara dengan tetap berdamai. Menunjukkan yang terbaik dalam pelaksanaan tugas bukan berarti marah dan ingin menunjukkan kepada kaum lelaki “aku lebih hebat dari kamu”, melainkan itu hasil dari kerja keras kita.
Ada tugas lain yang lebih utama dalam profesinya sebagai wartawan. Wanita kelahiran Jakarta, 11 Maret ini tetap menjadikan keluarga sebagai prioritas. Mengatur waktu menjadi sangat penting dan disiplin selalu diterapkannya demi kelancaran bertugas. Ketika harus liputan ke luar kota dan meninggalkan anak, Ratih hanya bisa pasrah, dalam artian sudah menjalankan tanggung jawabnya sebagai ibu.
Ketika anak sudah besar, tak jarang muncul banyak singgungan dan anak mulai protes. Di situ biasanya Ratih memberikan pemahaman bahwa semua yang dijalani adalah bentuk perjuangan. Ia berusaha membentuk anaknya sejak kecil agar mandiri, dan bisa menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki seorang ibu yang bekerja. Sehingga anak pun diarahkan untuk bisa terus menjadi lebih baik.
Prinsipnya menyatakan, pekerjaan yang membuatnya bahagia tentu menjadikan ia merasa nyaman dengan anak. Karena seperti kutipan yang diucapkannya, “ibu yang bahagia akan menjadikan anaknya bahagia juga.”
Pengetahuan perempuan berada di bawah laki-laki. Tetapi hal itu tidak berlaku, jika saja kita sebagai perempuan mau untuk sama-sama belajar. Selain itu, yang harus dilakukan oleh wanita dalam kesetaraan, sebaiknya tidak banyak menuntut hak istimewa di luar kondisi biologis.
Ratih kembali menggambarkan dalam dunia wartawan. Seorang wartawan wanita tidak bisa mengeluhkan perihal menstruasi dalam pekerjaannya yang melibatkan bertemu banyak narasumber. Bad mood, sindrom yang dialami beberapa wanita ketika masa haid. Sebagai seorang wartawan, tentu harus bisa berdamai dengan apa yang ada di dalam dirinya untuk bisa dianggap setara dengan laki-laki.
Profesi menjadi seorang wartawan tentu diakuinya tidaklah mudah. Awal ia menekuni bidang itu, memang banyak menuai komentar miring dari sang Mama. Posisinya sebagai anak pertama, dan satu-satunya perempuan pun menjadi hal yang sering dikhawatirkan. Kekhawatiran semakin menjadi, mengingat jam kerja Ratih yang tidak menentu akibat harus liputan langsung.
Lagi-lagi menjadi tantangan tersendiri. Ratih merasa harus profesional, bukan karena ia perempuan lantas berdalih tidak bisa liputan karena tidak boleh pulang larut malam. Sebagai wartawan sudah seharusnya bisa menghadapi rintangan apapun, agar tetap bisa mencari informasi yang sama. Biasanya dalam hal itu, Ratih sudah jauh-jauh hari bilang ke Mama, bahwa ia harus liputan malam.
Baginya, dari dulu sosok Mama yang sekaligus berperan menjadi ayah ini memiliki sikap demokratis. Mama selalu mendukung hal baik yang menjadi pilihan hidupnya. Dalam artian setiap pilihan berarti kita telah siap menghadapi segala risikonya. Ya, rupanya sangat sulit mendapatkan kepercayaan. Tapi seiring waktu, Ratih semakin menunjukkan bahwa ia memang melakukan itu untuk hal yang positif.
“Tubuh kita itu akan menggiring kita kepada hal yang kita yakini, itu yang selalu saya yakini di hati,” ujarnya. Ratih memang selalu mengikuti kata hati, karena hal itulah yang akan menyamankan diri kita.
Peralihan masa orde baru ke era reformasi salah satu peristiwa yang lekat dalam ingatannya. Saat itu Ratih ditugaskan untuk meliput pembakaran dan penjarahan yang ada di kawasan Jakarta-Kota. Ia bersama tiga orang rekan wartawan laki-laki berpencar, bekerjasama dalam mengatur strategi di lapangan.
Tak ada perlakuan spesial, di situ justru Ratih merasa memiliki tugas yang sama dengan laki-laki. Sangat berisiko di tengah amuk masa dan api yang berkobar, wanita ini tetap menjalani tanggung jawabnya untuk meliput peristiwa dan tetap memikirkan keselamatan diri.
“Dulu profesi wartawan itu eksklusif. Walaupun perempuan, saat itu bukan ditabrak atau ditarik, malah mereka enggak mau menyenggol saya,” kenangnya. Satu hal yang ia syukuri, sampai saat ini belum mendapati perlakuan diskriminasi perempuan. Karena menurutnya semua itu bergantung lagi kepada sikap diri sendiri.
Sebagai wanita, kita harus cerdas. Ratih merasakan sekali, dengan hal itu orang akan menghargai kita. Cerdas bukan berarti sombong, tapi kita tetap harus menghormati laki-laki. Maka dalam kesetaraan, ilmu yang dimiliki menunjukkan bahwa kita perempuan yang ingin dihargai dan menghargai orang lain.
Tentu, kita bisa setara dengan tetap berdamai. Menunjukkan yang terbaik dalam pelaksanaan tugas bukan berarti marah dan ingin menunjukkan kepada kaum lelaki “aku lebih hebat dari kamu”, melainkan itu hasil dari kerja keras kita.
Ada tugas lain yang lebih utama dalam profesinya sebagai wartawan. Wanita kelahiran Jakarta, 11 Maret ini tetap menjadikan keluarga sebagai prioritas. Mengatur waktu menjadi sangat penting dan disiplin selalu diterapkannya demi kelancaran bertugas. Ketika harus liputan ke luar kota dan meninggalkan anak, Ratih hanya bisa pasrah, dalam artian sudah menjalankan tanggung jawabnya sebagai ibu.
Ketika anak sudah besar, tak jarang muncul banyak singgungan dan anak mulai protes. Di situ biasanya Ratih memberikan pemahaman bahwa semua yang dijalani adalah bentuk perjuangan. Ia berusaha membentuk anaknya sejak kecil agar mandiri, dan bisa menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki seorang ibu yang bekerja. Sehingga anak pun diarahkan untuk bisa terus menjadi lebih baik.
Prinsipnya menyatakan, pekerjaan yang membuatnya bahagia tentu menjadikan ia merasa nyaman dengan anak. Karena seperti kutipan yang diucapkannya, “ibu yang bahagia akan menjadikan anaknya bahagia juga.”
“Saya capek, tapi saya bahagia. Jadi saya akan tetap bahagia ke anak saya,” begitu ungkapnya dengan tersenyum. Profesinya yang juga sebagai ibu rumah tangga, menjadikan Ratih untuk pintar membagi waktu agar tidak keteteran dengan urusan anak. Baginya profesionalisme harus tetap dijunjung, begitu juga peran sebagai ibu tidak boleh terabaikan.
Menjadi seorang wartawan sekaligus seorang ibu, terkadang ada saja hal eksklusif yang justru orang lain tidak dapatkan. Seperti saat harus mewawancarai menteri, dalam kesempatan itu Ratih turut mengajak anaknya untuk foto bersama setelahnya. Walaupun jatuh bangun dalam menjalani pekerjaan, tapi ia bahagia dan bisa mendidik anak dengan maksimal.
Wanita yang gemar membaca sejak kecil ini menuturkan, sebagai perempuan kita harus bersikap menjadi orang yang mau dihormati dan menghormati orang lain. Ratih juga berpesan untuk para perempuan Indonesia, kita tidak boleh menutup diri, dan mudah menyerah. “Ikuti kata hati, jadilah diri sendiri, dan harus selalu mau belajar,” tuturnya mengakhiri. (Kartika)
Menjadi seorang wartawan sekaligus seorang ibu, terkadang ada saja hal eksklusif yang justru orang lain tidak dapatkan. Seperti saat harus mewawancarai menteri, dalam kesempatan itu Ratih turut mengajak anaknya untuk foto bersama setelahnya. Walaupun jatuh bangun dalam menjalani pekerjaan, tapi ia bahagia dan bisa mendidik anak dengan maksimal.
Wanita yang gemar membaca sejak kecil ini menuturkan, sebagai perempuan kita harus bersikap menjadi orang yang mau dihormati dan menghormati orang lain. Ratih juga berpesan untuk para perempuan Indonesia, kita tidak boleh menutup diri, dan mudah menyerah. “Ikuti kata hati, jadilah diri sendiri, dan harus selalu mau belajar,” tuturnya mengakhiri. (Kartika)
0 Response to "Ratih Siti Aminah, M.Si. "Maknai Kesetaraan dalam Profesi Wartawan""
Post a Comment