Pengembangan Profesi dan Kompetensi Guru Berbasis Moral dan Kultur



PENGEMBANGAN PROFESI DAN KOMPETENSI GURU
BERBASIS MORAL DAN KULTUR
(untuk memenuhi tugas Etika Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan)






Nama: Gani Sulistio
Nim: 2225150067

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN 2015





Abstrak
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa untuk mampu bertahan dalam era kompetisi. Sebagai pekerjaan professional, seorang guru diharuskan memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, agen pembaharu, inovator, konselor, evaluator, dan administrator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru harus tetap membangun moral dan kultur yang baik, seperti berbudi luhur, jujur, beriman; kemampuan
mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan sebagaimana yang terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan memegang dan membangun kultur dan moral yang baik dalam melaksanakan profesi sebagai guru maka langsung atau tidak langsung kualitas pendidikan akan dapat ditingkatkan.

Kata Kunci: Pengembangan; Profesi; Kompetensi Guru; Berbasis; Moral; Kultur





PENDAHULUAN
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian bunyi undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pancasila yang dimaksudkan disini adalah pancasila yang susunannya terdapat di dalam mukadima pembukaan UUD 1945, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara etimologis atau menurut bahasa, dasar artinya adalah: Bagian yang terbawah (kuali, botol, dsb), lantai: rumah papan (Duduk bersila), Lapisan yang paling bawah (Meni sbg cat), Alas; Fondasi, Pokok atau pangkal suatu pendapat, Tanah yang ada di bawah air, Kali, laut, dsb.Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dasar adalah segala hal yang mendasari dari sesuatu yang dibicarakan. Maka sebelum masuk pada pembahasan tentang pendidikan maka apa yang mendasari seseorang sehingga menganggap penting untuk membicarakan tentang pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa:
1.      Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2.      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3.      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasonal, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4.      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaranpendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pendidikan diIndonesia masih menghadapi aneka masalah. Karena itu perhatian masyarakat indonesia terhadap masalah pendidikan tidak pernah surut. Persoalan itu tidak pernah selesai, karena subtansi yang ditransformasikan selama proses pendidikan dan pembelajaran ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemajuan masyarakat. Beberapa persoalan pensisikan yang masih menonjol saat ini yaitu rendahnya mutu proses dan luaran pendidikan. Lebih mendasar lagi apabila yang diperbincangkan adalah mengenai mutu atau kualitas pendidikan, dimana mutu pendidikan di negara kita ini memang masih rendah dari pada negara besar lainnya. Indikator rendahnya kualitas pendidikan diIndonesia dapat terlihat pada prestasi siswa, seperti nilai Ujian Nasional rata-rata masih rendah, dan terkadang sekolah menyediakan kuci jawaban Ujian Nasional untuk meningkatkan nilai rata-rata para peserta didiknya. Selama bertahun-tahun kemerosotan pendidikan diIndonesia sudah terlihat dan terasa, dan untuk sekian kalinya kurikulum selalu dituding seagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah dan menyempurnakan kurikulum, mulai dari kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti dengan kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi 2004, dan terakhir adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan kali inni diganti menjadi kurikulum 2013. Tudingan tersebut tidakla sepenuhnya benar. Nasinius mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bkan karena kesalahan kurikulum tetapi kekkurangan dari kemampuan profesionalisme guru dan keengann belajar siswa. Sumargi mengemukakan bahwa profesinalisme guru masi belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Matematika dapat mengajar Kimia dan Fisika. Ataupun guru bidang IPS dapat mengajar B.indonesia. memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mtu dan profesionalisme belum sesuai  dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dang menyelenggaralan pendidikan yang benar-benar berkualitas.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam beberapa tahun terakhir pemerintah senantiasa berupaya meningkatkan profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga profesional telah ditetapkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 39 Ayat 2. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Nomor 19/2005 meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan guru sebagai jabatan dan atau pekerjaan professional, namun di sini disebutkan seorang guru sebagai agen pembelajaran diharuskan memiliki kompetensi profesional, di samping kompetensi lainnya: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (Pasal 28 Ayat 3). Dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pengertian kata profesional (Pasal 1 Ayat 4) adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Rumusan ini tidak memberikan spesifikasi mengenai guru professional, namun tentu saja dalam UU ini adalah pekerjaan atau jabatan guru dan dosen.
Sebagai jabatan professional maka kepada guru diberlakukan akuntabilitaspublik, yang mengacu pada pemenuhan kriteria kelayakan profesi guru. Sehubungan dengan hal tersebut, uji kompetensi guru adalah langkah awal yang dilakukan pemerintah untuk menentukan langkah selanjutnya dalam perbaikan kualitas pendidikan. Dengan uji kompetensi, maka dapat ditentukan standard kompetensi guru, yaitu suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Standardisasi kompetensi guru diperoleh dari uji kompetensi bertujuan untuk memformulasikan peta kemampuan guru secara nasional, memformulasikan peta kebutuhan dan peningkatan mutu guru, dan menumbuhkan kreativitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan bertanggung jawab, serta menumbuhkan kultur dan moral yang tinggi.




KAJIAN TEORI
a.       Pengertian Guru         
Peran guru dalam proses kemajuan pendidikan sangatlah penting. Guru merupakan salah satu faktor utama terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas, tidak hanya dari sisi intelektual saja melainkan dari tata cara berperilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu tugas yang diemban seorang guru tidaklah mudah, guru yang baik harus mengerti dan paham tentang hakekat sejti seorang guru.
            Menurut falsafah jawa, guru diartikan sebagai sosok tauladan yang harus “digugu lan di tiru”. Alam konstek filsafah  jawa ini duru dianggap sebagai pribadi yang tidak hanya bertugas mendidikan dan mentransformasi pengetahuan didalam kelas saja. Melainkan jauh lebih kompleks dan dalam makna yang lebih luas. Oleh karena itu dalam masyarakat jawa seorang guru dituntut pandai dan mampu menjadi ujung tombak dalam setiap aspek perkembangan masyarakat.
Menurut UU no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah pendidik yang profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini sampai pendidikan menengah. Pengertian guru diperluas menjadi pendidik yang dibuuhkan secara dikotomis tentang pendidikan. Pada bab XI tentang pendidik dan kependidikan. Dijelaskan pada ayai 2 yakni pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. Hasil motivasi berprestasi, melakuka bimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama begi pendidik pada perguruan tinggi
b.      Efisiensi Tenaga Guru Profesional diIndonesia
Dalam beberapa kasus, ada sejumlah guru yang dipekerjakan di berbagai tingkat lembaga pendidikan, tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki. Hal ini adalah fakta yang saat ini menjadi ramai dibicarakan oleh masyarakat. Di sisi lain beberapa lembaga pendidikan dicurigai oleh masyarakat melakukan pungli dengan tanpa dasar yang jelas. Keadaan tersebut memaksa keadaan harus mempublikasikan melalui media. Sehingga banyak masyarakat yang menjadi tahu tentang kondisi yang terjadi pada setiap lembaga pendidikan tersebut. Belum lagi isu lembaga pendidikan yang tidak menyiapkan tenaga pendidik yang mengajarkan pelajaran yang tidak sesuai dengan profesi dan agama yang dianutnya. Pada hal kaitannya dengan pendidikan agama dan keagamaan dinyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (pasal 12 UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional).
Pada tahun 2013 ratusan guru non PNS setingkat SMA/SMK swasta di kota Jambi mendatangi kantor DPRD setempat untuk mengadukan tunjangan sertifikasi mereka yang belum dibayar pada bulan Januari hingga Juli 2013. Hal ini menggambarkan betapa perhatian kita terhadap profesi guru belum maksimal. Pada hal guru harus berhadapan dengan pihak masyarakat diakibatkan oleh tanggung jawab yang diemban dalam mencerdaskan anak bangsa sebagai amanat dari UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional.
Untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya peserta didik seharusnya memiliki kesempatan yang luas untuk memperoleh pengajaran dan ilmu pengetahuan pada setiap lembaga pendidikan, baik yangdikelola oleh pemerintah maupun yang dikelola oleh masyarakat
Bagi peserta didik yang tidak memiliki kemampuan ekonomi, berhak mendapatkan beasiswna prasejahtera, bagi yang berprestasi dan orang tuanya tidak mampu, diharapkan memperoleh beasiswa pengajaran sesuai amanat UUD 1945. Selain itu, peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Sehingga dengan demikian para peserta didik dapat menyelesaikan program pendidikannya sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Selain yang disebutkan di atas seorang peserta didik mempunyai kewajiban antara lain menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan, sehingga dengan demikian maka keluaran yang memiliki mutu yang tinggi dapat dicapai, yaitu menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Peserta didik juga memiliki kewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika peserta didik tersebut sesuai hasil pengamatan menunjukkan bahwa memang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai untuk membiayai pendidikannya, maka pemerintah melalui lembaga pendidikan memiliki tanggungjawab untuk membiayainya.


c.       Tujuan Kependidikan
Sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan bertujuan untuk pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Azhar Arsyad agar seseorang memiliki kemahiran yang benar dan berkualitas maka ia harus memenuhi dua syarat pokok. Pertama, mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki oleh pekerjaan itu (kawasan kognitif). Kedua, keinginan melaksanakan pekerjaan itu dengan betul dan berkualitas.
Makna kreatif yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional mengandung arti bahwa setiap peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran diharapkan suatu saat nanti dapat memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, serta memiliki kecerdasan dan imajinasi dalam menemukan halhal yang baru, dalam rangka menunjang penyelesaian tugas-tugas yang lebih kompleks.
Kemandirian merupakan salah satu tujuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan bagi peserta didik. Peserta didik diharapkan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri terlepas dari ketergantungan kepada orang lain. Ada orang yang sudah selesai dari studinya tetapi tidak memiliki kemandirian, sehingga masih tetap tergantung pada orang tua, saudara, atau orang lain. Ia kehilangan rasa percaya diri bahwa ia sebenarnya juga memiliki kecakapan seperti orang lain. Sifat kemandirian inilah yang harus dibangun dan dibiasakan sejak kecil, supaya suatu saat nanti sudah terbiasa dengan sifat-sifat mandiri tanpa ada perasaan untuk selalu tergantung pada orang lain.
Di samping kemandirian, pendidikan juga bertujuan menciptakan manusia yang bertanggung jawab. Peserta didik diharapkan setelah selesai mengikuti proses pendidikan memiliki rasa tanggung jawab atau wajib memikul segala hal yang menjadi tugas dan kewajiban sebagai seorang warga negara yang baik. Ada orang yang enggan bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia lakukan, pada hal perbuatan tersebut telah terjadi pada dirinya dan telah direncanakan sebelumnya.
Demikianlah makna dari tujuan pendidikan nasional secara komprehensip makna dari tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil output yang diharapkan dari sebuah lembaga pendidikan adalah: Bagaimana mendidik, mengajar, membina, dan melatih perserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berahlak, sehat jasmani dan rohaninya, memiliki banyak ilmu pengetahuan yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain, cakap dalam melakukan berbagai kegiatan, kreatif dengan memiliki daya cipta yang tinggi, mandiri dengan senantiasa tidak bergantung pada orang lain dalam mengarungi kehidupannya, dan bersifat demokratis dengan tanpa membedakan antra satu dengan yang lainnya, serta bertanggung jawab terhadap berbagai tugas dan pekerjaan yang disandang dan diembannya.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan sistem terbuka: fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan. Pendidikan multimakna: adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup sebagai makhluk sosial dan makhluk yang harus mampu mempertahankan dalam kondisi apapun juga.

d.      Fungsi Pendidik
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian bunyi pasal 3 UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Fungsi pendidikan antara lain:
1.    Menumbuhkan kreativitas subjek
2.    Memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan nilai-nilai ilahi
3.    Menyiapkan tenaga kerja produktif.
Dari pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa fungsi pendidikan adalah menumbuhkan kreativitas subjek, manusia memiliki potensi bawaan perlu ditumbuhkembangkan bakat minatnya melalui lingkungan pendidikan, karena manusia adalah makhluk yang memiliki kreativitas untuk menemukan dan memelihara khazanah budayanya.
Isi nilai-nilai insani adalah hal yang melekat pada setiap manusia namun memerlukan latihan, pembiasaan dan bimbingan yang intensif untuk mengemban nilai-nilai ilahiah yang telah ada sesuai tuntunan dan ketetapan aturan-Nya. Semua itu dilakukan dalam rangka menyiapkan tenaga kerja yang produktif untuk menghadapi masa depan peserta didik yang penuh dengan tantangan hidup yang akan datang. Hal ini merupakan keharusan untuk dilakukan bagi orang dewasa, karena masa depan peserta didik dapat dipastikan sangat berbeda situasi dan kondisinya dengan masa sekarang.
Pada aspek lain pendidikan memiliki fungsi sebagai lembaga konservasi lingkungan hidup manusia, sebagai fungsi kontrol sosial agar manusia dapat dalam interaksi sosialnya senantiasa terkontrol dari berbagai kegiatan yang sesuai dengan tata nilai etika, budaya, dan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Pelestarian budaya merupakan cara untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahi. Karena nilai budaya merupakan bagian terpenting dari nilai-nilai yang dapat menunjang proses pendidikan, agar pendidikan dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dimaksudkan supaya pendidikan berfungsi untuk menyeleksi peserta didik, agar mereka dapat ditempatkan sesuai dengan bakat dan minat serta kemampuannya. Wujud kualifikasi yang dimilikinya bersesuaian dengan bidang kerja yang akan ia hadapi pada masa kini dan yang akan datang.
Perguruan tinggi merupakan agen perubahan sosial untuk menghadapi perubahan yang akan datang. Perguruan tinggi sebagai dapur untuk melatih, mendidik, dan membimbing peserta didik agar mereka dapat memperoleh keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat, memiliki sikap yang sejalan dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, dan memiliki
kemampuan berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
e.       Jenis, Jalur, dan Jenjang Pendidikan
Jalur, jenis dan jenjang pendidikan merupakan faktor penting untuk diketahui oleh setiap pendidik dan peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik tidak salah memilih dalam menentukan pilihannya untuk memasuki suatu lembaga pendidikan. Faktor bawaan setiap orang sangat menentukan dalam menetapkan pilihan-pilihan tersebut. Karena faktor bawaan merupakan potensi yang terpendam dalam diri setiap orang untukdikembangkan sesuai bakat, minat dan kemampuan setiap orang.
Kemampuan setiap orang tidak hanya dilihat dan diperhitungkan dari bakat dan minatnya, tetapi juga dari segi faktor lain seperti faktor ekonomi. Banyak orang bercita-cita untuk memasuki jenis pendidikan tertentu, tetapi kemampuan keuangannya tidak terpenuhi sehingga menyulitkan dirinya untuk menyelesaikan studi. Namun demikian ada juga peserta didik mendapat kesempatan masuk ke suatu lembaga pendidikan tertentu yang menuntut biaya tinggi, dan bisa mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut dengan bantuan sponsor yang membantu bertanggung jawab atas penyelesaianberbagai biaya yang dibutuh kannya.
1.      Jenis Pendidikan
Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bab 1V pasal 15 dinyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Dinyatakan di dalam pasal 1 bahwa ayat 9 bahwa Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. Jenis pendidikan yang berkembang dalam sistem pendidikan nasional dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis, yaitu:
Ø  Pendidikan umum, yaitu pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan sebagai persiapan untuk melanjutkan keperguruan tinggi.
Ø  Pendidikan kejuruan; merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Ø  Pendidikan akademik; merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin penguasaan pengetahuan tertentu.
Ø  Pendidikan Profesi, merupakan pendidikan tinggi programsarjana yang mmempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan Vokasi; merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan sarjana.
Ø  Pendidikan keagamaan; merupakan pendidikan dasar menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama.
Ø  Pendidikan khusus; merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
2.      Jalur Pendidikan
Di dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan
tujuan pendidikan.
Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan disebut jalur pendidikan. Jalur pendidikan adalah pusat pengembangan potensi diri, yang terdiri dari jalur informal, formal, dan non formal. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan pisik dan psihis sesuai umur peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Sedangkan jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar adalah pendidikan yang berada pada jenjang sekolah dasar (SD)/Ibtida’iyah atau yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP)/Tsanawiyah atau yang sederajat. Jenjang pendidikan ini mempunyai fungsi untuk meletakkan dasar karakter dan pengetahuan peserta didik. Untuk melanjutkan pendidikannya kenjenjang yang lebih tinggi yaitu pendidikan menengah.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pada jenjang pendidikan menengah peserta didik mulai memasuki masa remaja dan rata-rata usia mulai 15 tahun – 18 tahun. Masa remaja ini peserta didik perlu pengawalan, bimbingan, dan pimpinan yang tepat supaya terarah kecakapan dan kreativitasnya. Pada usia seperti ini peserta didik sangat rentan dengan pengaruh luar yang menyertai pertumbuhan pisik dan psihisnya. Mudah terpengaruh, mudah menerima pengaruh luar bahkan sangat cepat mengambil keputusan sehingga perlu pimpinan, atau bimbingan serta arahan dari orang dewasa tentang persiapan menatap masa depannya untuk meraih citacitanya.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
3.      Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Ada tiga jenjang pendidikan yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, yaitu;
a.       Pendidikan dasar
b.      Pendidikan menengah dan
c.       Pendidikan tinggi. Pendidikan dasar meliputi SD/MI dan SM/MTs dan yang sederajat.
Pendidikan menengah meliputi SMA/MA atau SMK/MAK dan yang sederajat. Pendidikan tinggi bisa berbentuk; akademi, akademi komunitas, politeknik, sekolah tinggi, Institut, dan Universitas.
Dengan demikian, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang didasarkan pada usia dan perkembangan fisik dan psikis peserta didik. Tahapan tersebut dimulai sejak pendidikan usia dini. Pendidikan usia dini adalah pendidikan yang dilalui peserta didik sebelum masuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD atau MI). Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dilalui dengan syarat telah memperoleh ijazah pendidikan dasar yaitu ijazah SD/MI dan Ijazah SMP/MTs. Perguruan tinggi adalah pendidikan yang yang akan dilalui setelah memperoleh ijazah pendidikan menengah meliputi SMU/MA atau SMK/MAK.
Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bab 1V pasal 14 dinyatakan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau
universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Kepala sekolah sebagai orang yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola sekolah, harus mampu dan berusaha untuk mencapai standar nasional pendidikan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) bab IX pasal 35 bahwa: Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.


METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikira, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian digunakan, penelitia deskriptif dapat dilihat dalam beberapa jenis, yaitu:
a.       Metode survei
b.      Metode deskriptif berkesinambungan
c.       Penelitian studi kasus
d.      Penelitian analisis pekerjaan dan aktifitas
e.       Penelitian tindakan
f.       penelitian perpustakaan daan documenter



PEMBAHASAN
A.    Konsep Profesionalisme
Profesionalisme meupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus. Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam membentuk komitmen dari anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Muchtar luthfi (1984: 44) menyebutkan bahwa seseorang disebut profesi bila ia memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Profesi harus mengandung keahliah, artinya suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh degan cara mempelajari secara khusus karena profesi bukanlah sebuah warisan.
2.      Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi juga dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban sepenuh waktu maksudnya bukan seperti part time.
3.      Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teori terbuka dan secara universal pegangannya diakui.
4.      Profesi adalah untuk masyarakat bkan untuk diri sendiri.
5.      Profesi harus dilengkapi dengan kecakapa diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya.
6.      Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh ekan-rekannya seprofesi.
7.      Profesi mempunyai kode etik yang disebutkan dalam kode etik profesi.
8.      Profesi yang mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhka layanan.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka tidak semua pekerjaan dapat dikatan sebagai sebuah profesi jika memenuhi 10 kriteria profesi, yaitu:
1.      Profesi harus memiliki suatu keahlian yang khusus, keahlian tidak dimiliki oleh profesi lain dan harus diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus. Kedua,
2.      Profesi harus diambil sebagai pemennuhuan panggilan hidup, oleh karena itu profesi pekerjaan sepenuh waktu.
3.      Profesi memiliki teori-teori yang baku secra universal. Artinya profesi itu dijalan menurut teori-teorinya. Teori harus baku artinya teori itu bukan sementara. Jika teori itu tidak baku maka kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu profesi karena belum memenuhi syarat untuk disebut profesi.
4.      Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan komtensi aplikatis. Kecakapan diagnostik sudah jelas kelihatan pada profesi kedokteran. Akan tetapi kadang kala ada profesi yang kurang jelas kecakapan diagnostiknya. Hal ini tentu disebabkan belum berkembangnya teori dalam suatu profesi. Kompeensi aplikatif adalah kewenangan menggunakan teori-teori yang ada di keahliannya harus didahului oleh dignosis. Jadi, kecakapan diagnosdtik memang tidak dapat dipisahka dari kewenangan aplikatif, seorang yang tidak mampu mendiagnosis tentu tidak berwenang melakukan apa-apa terhadap kliennya.
5.      Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Maksudnya ialah profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan diri sendiri sepertinya untuk engumpulkan uang atau mengejar kehidupan.
6.      Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Otonomi ini hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya, tidak boleh semua orang berbicara dalam semua bidang. Maksudnya bukan tidak boleh berbicara sama sekali, akan tetapi yang tidak dapat dibicarakan oleh semua orang adalah teori-teorinya.
7.      Profesi hendaknya mempunya kode etik. Gunanya adalah untuk dijadikan pedoman dalam melakukan ugas profesi. Kode etik ini tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga oleh mmasyarakat. Kode artinya aturan, etis artinya kesopanan. Akan tetapi dalam penerapannya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai aturan kesopanan. Pelanggaran kode etik dapat dituntut ke pengadilan.
8.      Profesi harus mempunyai klien yang jelas. Klien disini maksudnya adalah pemakai jasa profesi.pemakai jasa profesi kedokteran adalah orang sakit atau orang yang tidak ingin sakit. Klien guru adalah siswa.
9.      Profesi memerlukan profesi. Gunanya adalah untuk keperluan meningkatkan mutu profesi itu sendiri. Organisasi ini perlu menjalin kerja sama, umpamanya dalam bentuk pertemuan profesi secara periodik, menerbitkan media komunikasi seperti jurnal, majalah, buletin,dsb.melalui media it teori-teori baru dikomunikasikan kepada rekan seprofesi. Benyak hal yang dapa dan sebaiknya dilakukan oleh organisasi tersebut untuk kepentingan profesi mereka.
10.  Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak ada aspek kehiduoan yang hanya ditangani oeleh satu profesi. Profesi pengobatan bersangkutan erat dengan masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi, agama, bahkan dengan politik. Oleh karena itu, dokter harus mengetahui kaitan profesi lain tersebut.
Suatu pandangan yang lebih praktis menyatakan bahwa seorang yang profesional dalam satu profesi tertentu menghasilkan pemikiran-pemikiran tertentu dan karya yang kuat didasarkan pada suatu sistem pengetahuan yang telah dibakukan oleh dunia ilmu pengetahuan, atau masyarakat dalam bidang tertentu.
Mengacu pada kriteria dan persyaratan-persyaratan diatas, guru juga tidak dikatakan sebagai sebuah profesi. Namun demikian keberadaan profesi guru dibandingkan dengan profesi lainnya sungguh memperhatikan, khususnya jika dilihat sisi penghargaan yang diterima guru dalam bentuk materi. Memang hal ini cukup ironis, karena disatu sisi profesi guru dianggap sebagai profesi yang syarat dengan unsur pengbdian belaka, sehingga dipandang kurang layak untuk menuntut penghargaan-penghargaan yang lain. Namun disisi llain, guru juga seorang manusia yang memiliki kebutuhan, keluarga, dan tanggung jawab yang lain. Mereka juga membutuhka biaya untuk dapat hidup dengan wajar ditegah-tengah lingkungan masyarakat. Untuk itu sudah selayaknya bila kesejahteraan guru juga perlu mendapatkan perhatian agar mereka mampu bekeeja secaa profesional sebagaimana yang dtuntun oelh sebuah profesi.
B.     Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru.
Seiring dengan di tetapkannya Undangundang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat kita, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada. Mereka berharap, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan seorang guru yang profesionaldalam mendidik siswa-siswinya di sekolah. Hal ini jelas menunjukkan masih adanya perhatian masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Namun sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa profesionalisme guru pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan masih rendah. Dalam mewujudkan tuntutan kemampuan profesionalisasi guru seringkali dihadapkan pada berbagai permasalahan yang dapat menghambat perwujudannya.Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktoryang berasal dalam diri guru itu sendiri (internal), dan permasalahan yang ada di luar diri guru (eksternal). Permasalahan internal menyangkut sikap guru yang masih konservatif, rendahnya motivasi guru untukmengembangkan kompetensinya, dan gurukurang/tidak mengikuti berbagaiperkembangan ilmu pengetahuan danteknologi. Sedangkan permasalahan eksternalmenyangkut sarana dan prasarana yangterbatas.
Dari sisi internal, masih banyak guruyang memiliki sikap konservatif. Gurucenderung mempertahankan cara yang biasadilakukan dari waktu ke waktu dalammelaksanakan tugas, atau inginmempertahankan cara lama (konservatif),mengingat cara yang dipandang baru padaumumnya menuntut berbagai perubahandalam pola-pola kerja. Guru-guru yang masih memiliki sikap konservatif, memandang bahwa tuntutan semacam itu merupakantambahan beban kerja bagi dirinya. Selain itu, masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkanoleh banyaknya guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga waktu untuk membacadan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada. Guru kurang berminat untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkantingkat profesionalisme. Selain daripada itu, guru kurang termotivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidakdituntut untuk meneliti sebagaimana yangdiberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Dari sisi eksrternal, rendahnyaprofesionalisme guru kemungkinandisebabkan sarana dan prasarana yangkurang memadai dan mendukung bagi prosespembelajaran baik. Sarana dan prasarana itutidak harus berupa berbagai peralatan yang canggih, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan yang memungkinkan untuk diwujudkan. Betapa pun lengkap dan canggihnya sarana yang tersedia, jika masih ada masalah-masalah seperti gurunya konservatif tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi serta motivasi untuk meningkatkan kinerja lemah, maka ada kecenderungan pengadaan sarana dan prasarana kurang bermanfaat. Sebaliknya, jika masalah-masalah itu dapat diatasi, tetapi sarana dan prasarananya terbatas, maka tidak akan mendukung keberhasilan pendidikan atau pembelajaran.
Selain itu, adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan, maka tidaklah heran jika banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan, disamping belum adanya standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di negara-negara maju.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
1.      Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total
2.      Remtan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan
3.      Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terkait. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan
4.      Masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru
5.      Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Oleh karena itu profesionalisme guru harus tetap dan selalu dikembangkan.
C.     Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru
Disadari atau tidak tugas guru dimasa depan akan semakin berat. Guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknoliogi saja, melainkan juga harus mengemban tugas yag dibebakan masyarakat kepadanya. Tugas tersebut meliputi mentransfer kebudayaan dalam arti luaas keterampilan dalam menjalani hidup dan nilai beliefs.
Melihat tugas yang demikian berat tersebut, maka sudah selayaknya bila kemampuan profesional guru juga terus ditngkatkan agar mereka mampu menjalankan dengan baik. Terkait dengan hal ini guru sendiri harus mau membat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik disamping harus pula memperhatukan berbagai pendapat dan harapan masyarakat. Menurut purwato, dalam rangka meningkatkan profesionalismenya, guru harus selalu berusaha untuk melakukan lima hal. Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada. Hal ini harus ditempatkan pada prioritas yang pertama karena:
1.      Persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobalitas guru lintas negara.
2.      Sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendakki pelayanan yang lebbih baik.
Kedua, mencapai kualifikasi dan kompetensi yang di persyatka. Dengan dipenuhinya kualifikai dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkaan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui in-service trainning dan berbagai upaya lainuntuk memperoleh sertifikasi.
Ketiga, membanggun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru haru berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar ntuk mencapai sukses yang sama atau bahka bisa lebih baik lagi. Mealalui networking inilah guru memperoleh akses terhadapt inovasiinovasu dibidang profesinya.
Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada kostituen. Dizaman sekarang, semua bidang dan profesi dituntut untuk memberikan pelyanan prima. Gurupun harus memberikan pelayanan prima kepada konsistennya yaitu siswa, orang tua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang didani, diadakan, dikontrol oleh dan utuk kepentigan publik, oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepda publik.
Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangka kreatifitas dalam pemanfaatan tektnologi komunikasi dan informasi mutahir agar senantiasa tidak ketinggalan dan kemampuannya mengelola pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media persentasi, komputer, dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan.
Beberapa upaya  diatas tentu saja tidak akan berjalan jika tidak dibarengi dengan unpaya yang nyata untuk menjadikan guru menjadi sebuah profesi yang mejanjian artinya kesejahteraab guru memang hars diingkatkan.

D.     Pengembangan Profesi dan Kompetensi Guru Berbasis Moral dan Kultur
Kompetensi guru erat kaitannya dengan profesionalisasi guru. Profesi keguruan merupakan jabatan yang dilandasi oleh berbagai kemampuan dan keahlian yang bertalian dengan keguruan. Untuk memahami tugas pekerjaan guru, maka dapatlah dilakukan pengenalan terhadap kompetensinya. Kompetensi profesional guru menggambarkan tentang kemampuan yang dituntutkan kepada seseorang yang memangku jabatan sebagai guru. Artinya kemampuan yang ditampilkan itu menjadiciri keprofesionalannya. Oleh karena itu, pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, sebab guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa untuk mampu bertahan dalam era kompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakanyang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkangenerasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Supriadi (1998) mengutip jurnal Educational Leadership 1993 bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa
3.      Guru bertanggung jawab memanta hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi
4.      Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya
5.      Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
 Sejalan dengan pendapat tersebut, Arifin (2000) mengemukakan guru yang profesional dipersyaratkan mempunyai; dasar ilmu yang kuat, menguasai kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan, serta melakukan pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru terpenuhi, maka akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Semiawan (1991) mengemukakan bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru harus memahami berbagai fungsi yang diembannya, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, agen perubahan, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Para guru sepatutnya menyadari, bahwa menduduki jabatan profesional sebagai guru, tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga memperdulikan apa yang seharusnya dicapai dari pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya keperdulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam melaksanakan tugas, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yaitu kecenderungan untuk selalu berupaya memperbaiki hasil yang selama ini telah dicapai, sehingga tugastugas yang menjadi tanggung jawabnya selalu dilaksanakan dan diupayakan untuk selalu meningkat.
Pengembangan profesi dan kompetensi guru dapat dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di sekolah, seperti meningkatkan dan mengefektifkan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), meningkatkan budaya membaca bagi guruguru, dan juga meningkatkan kemampuan berbahasa asing terutama bahasa Inggris dan kemampuan menggunakan berbagai media teknologi informasi (TI), dan sebagainya.
Beberapa yang disebutkan di atas merupakan sebagian kecil alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme guru. Mustahil KBK bisa berhasil tanpa diimbangi dengan kompetensi gurunya terlebih dahulu sebagai ujung tombak (front liner). Guru yang profesional dan sekolah yang kondusif akan menjadi jalan mulus untuk mencapai cita-cita pendidikan nasional kita. Oleh karena itu profesionalismemguru harus tetap dan selalu dikembangkan.
Terkait dengan profesinya, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai sesuai dengan standard kompetesi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Terdapat beberapa pendapat tentang pengelompokkan kompetensi guru. Dalam UU Sisdiknas, dan UU Guru dan Dosen, kompetensi guru dikelompokkan ke dalam empat rumpun,yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Menurut Depdiknas dalam buku “ Standar Kompetensi Guru Pemula SMK”, kompetensi guru dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) rumpun, yaitu: penguasaan bidang studi, pemahaman peserta didik, penguasaan pembelajaran yang mendidik, dan pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. Di samping itu, Paul Suparno (2003) mengelompokkan kompetensi guru kedalam tiga rumpun, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi bidang studi, dan kompetensi dalam pembelajaran/pendidikan. Dari ketiga pendapat di atas tampaknya tidak ada yang saling bertentangan melainkan saling memperkuat.
Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral; kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi dengan orang lain; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat ambil keputusan dan lain-lain. Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jadi diri seorang guru sebagai pribadi yang baik, tanggungjawab, terbuka, dan terus mau belajar untuk maju. Yang pertama ditekankan adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini jelas merupakan kompetensi yang sangat penting karena salah satu tugas guru adalah membantu anak didik bertakwa dan beriman serta menjadi anak yang baik.
Kompetensi dalam bidang studi memuat pemahaman akan karakteristik danisi bahan ajar, menguasai konsepnya, mengenal metodologi ilmu yang bersangkutan, memahami konteks bidang itu dan juga kaitannya dengan masyarakat, lingkungan dan dengan ilmu lain. Jadi guru tidak cukup hanya mendalami ilmunya sendiri tetapi termasuk bagaimana dampak dan relasi ilmu itu dalam hidup masyarakat dan ilmu-ilmu yang lain. Maka guru diharapkan punya wawasan yang luas.
Kompetensi dalam pembelajaran atau pendidikan memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa. Persoalan yang melekat dengan guru dan menarik untuk dicermati adalah persoalan kultur guru. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan. Keberhasilan negara-negara maju di Asia, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan tidak lain dan tidak bukan karena mereka memegang dan membangun kultur yang baik.
Menurut Mochtar Lubis, bangsa Indonesia -tentu saja termasuk guru- memang terkenal dengan kultur yang kurang baik. Misalnya tidak suka bekerja keras, tidak jujur, tidak disiplin, mudah putus asa, malu mengakui kesalahan, senang jalan pintas, tidak rasional. Jika kultur itu tidak dapat berubah pada diri seorang guru, penulis pesimistis akan keberhasilan pelaksanaan KBK seperti harapan insan pendidikan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pelaksanaan KBK menjadikan beban yang cukup berat pada sosok guru. Mulai dari
pencermatan standar kompetensi, menyeleksi kompetensi dasar yang harus dipelajari siswa, membuat silabus, memilih pendekatan, memperhatikan pengalaman belajar, mengetahui secara personal setiap anak didiknya, sampai pada tahap pelaksanaan evaluasi yang begitu "renik" hingga pemberian remedi bagi yang belum tuntas penguasaan kompetensi dasar yang harus dikuasai. Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru hendaknya mau membangun kultur yang baik. Tanpa kerja keras dan etos kerja yang tinggi tidak mungkin seorang guru mau berusaha untuk mencermati kompetensi dasar yang sesuai bagi siswanya, membuat silabus sebelum masuk ruang kelas, mencari sebuah pendekatan yang relevan, memilih model pembelajaran yang cocok, membuat evaluasi yang rinci, dan seterusnya.
Kultur kejujuran juga harus dibangun lewat penilaian terhadap anak didik pemberian nilai tidak asal memberi angka yang sementara ini banyak dilakukan temanteman guru. Di samping itu, tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran juga perlu diperhatikan. Di manakah letak tanggung jawab guru bila kelas sering kosong, sementara guru duduk-duduk di kantor atau "ngopi" di warung? Kita tidak boleh gampang melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, sehingga kita sering "cuci tangan" bila terjadi permasalahan. Dan, jangan lupa bahwa guru merupakan model bagi siswanya.
Berangkat dari berbagai pengalaman yang lalu, kita sebenarnya tahu bahwa kegagalan dalam dunia pendidikan bukan hanya karena perangkat dan pelaksananya tidak menguasai perangkat yang digunakan. Akan tetapi, berpulang kepada mental pelaksana yang ada di lapangan. Kita semua tahu bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme itu tidak baik, tetapi karena kegiatan itu sudah menjadi kultur bangsa kita maka kita sulit untuk menghilangkannya. Jika kultur bersantai-santai, malas, suka bohong, tidak malu dengan kesalahan yang dilakukan, suka jalan pintas, gampang melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, dan sebagainya yang sudah terpatri di dalam jiwa bangsa Indonesia -termasuk guru- tidak dikikis sedikit demi sedikit, maka sulit bagi kita mengharapkan keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang berkualitas.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Sebagai pendidik, guru harus yang menjadi tokoh panutan dan identilikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
Berkaitan dengan tanggung jawab; guru harus mengetahui, serta memahami nilai,  norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah,dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai
spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pcmahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.
Guru juga harus mampu mengambil keputusan secara mandiri (independent), terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan lingkungan. Guru harus mampu bertindak dan mengambil keputusan secara cepat, tepat waktu, dan tepat sasaran, terutama berkaitan dengan masalah pembelajaran dan peserta didik, tidak menunggu perintah atasan atau kepala sekolah.
Sedangkan disiplin; dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, ataskesadaran professional, karena guru bertugas mendisiplinkan para peserta didik di sekolah, terutama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya. Kita tidak begitu yakin dengan paradigma "jika guru mendapatkan imbalan yang memadai akan bekerja dengan baik" kalau tanpa didukung dengan kultur yang baik. Dengan demikian, agar pelaksanaan pendidikan (pembelajaran) berjalan sukses, marilah kita bersama-sama membangun kultur yang baik. sehingga kualitas pendidikan akan meningkat.
Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud, seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat. Sebagai saran, pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu, perlu didukung fasilitas yang memadai, perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan.




















PENUTUP
Guru sebagai tenaga profesional telah ditetapkan dalam berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah UU Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagai pekerjaan professional, seorang guru diharuskan memiliki berbagai kompetensi antara lain kompetensi professional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Disamping itu, guru juga memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru harus tetap membangun moral dan kultur yang baik, seperti berbudi luhur, jujur, beriman, kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan sebagaimana yang terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan
memegang dan membangun kultur dan moral yang baik dalam melaksanakan profesi sebagai guru maka pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi berjalan sukses, sehingga kualitas pendidikan akan meningkat.
Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud, seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat. Sebagai saran, pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu, perlu didukung fasilitas yang memadai, perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium NasionalPendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang.
2.      Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Mcnciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Cetakan kedua, Bandung: Penerbit PT REMAJA ROSDAKARYA.
3.      Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. I No. 7/1998.
4.      Samana, A. 1994. Profesionalisme keguruan (Kompetensi dan Pengembangannya): Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
5.      www.Maribeljarbk.web.id/2015/04/perngertianprofesionalprofesi.html?m=1

0 Response to "Pengembangan Profesi dan Kompetensi Guru Berbasis Moral dan Kultur"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel