Mencari Jejak Naskah Asli MoU Helsinki yang Pernah Hilang
Hari ini, 15 Agustus 2019, rakyat Aceh memperingati 14 tahun penandatanganan naskah kesepahaman RI-GAM untuk perdamaian Aceh. Naskah MoU (Memorandum of Understanding) tersebut ditandatangani di gedung Smolna Government Banquet Hall di distrik Kaartinkaupunki, Helsinki, Finlandia, pada Senin, 15 Agustus 2005 sekitar pukul 12.00 waktu setempat atau 16.00 WIB. Smolna merupakan bangunan bergaya kekaisaran yang digunakan sebagai ruang perjamuan kabinet Finlandia dan tempat pertemuan kenegaraan presiden maupun perdana menteri.
Sebelum nota kesepahaman itu diteken, beberapa perundingan alot dilalui kedua pihak. Sebulan sebelumnya, perundingan nyaris gagal. Saat itu, 15 Juli 2005, delegasi GAM ingin mengakhiri perundingan karena Pemerintah Indonesia tak menyetujui klausul partai politik lokal dimasukkan ke dalam naskah MoU.
Munawar Liza, yang kini menjadi tim penyusun RPJM Irwandi-Nova Iriansyah ingat betul kejadian Jumat sore, 15 Juli itu. Suhu dingin membekap Helsinki. Munawar meriung di dalam sebuah ruangan di gedung Königstedt Manor, tempat perudingan digelar. Selain Munawar di situ juga ada Damien Kingsbury, negosiator politik GAM. Pada 2015 seperti dilansir The Guardian, Damien tercatat sebagai Direktur Centre for Citizenship, Development and Human Rights di Deakin University, Australia. Ia juga anggota Partai Buruh Australia.
Juli itu, perundingan belum lagi menemui titik temu. Sebelumnya, kedua delegasi, GAM dan RI, berunding informal. Delegasi RI diwakili lima orang yaitu Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin selaku ketua delegasi, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Agung Wesaka Puja.
Sementara dari GAM delegasi terdiri dari Malik Mahmud selaku ketua delegasi, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, Nurdin Abdul Rachman dan Muhammad Nur Djuli. Sedangkan anggota pendukung delegasi selain Damien dan Munawar adalah Shadia Marhaban, Irwandi Yusuf dan Teuku Hadi.
Munawar ingat, kala itu ia sibuk berbicara lewat telepon. Seperti dilansir Serambi Indonesia, Munawar ternyata sedang menelepon Irwandi Yusuf. Irwandi tidak bisa datang ke tempat perundingan dan hanya stand by di sebuah hotel yang berjarak setengah jam perjalanan ke gedung perundingan.
Walaupun tak bisa datang, Irwandi ikut memantau detik demi detik perkembangan perundingan melalui telepon dari kamar hotel. "Bahkan kalau ada klausul dalam MoU yang bisa merugikan GAM, sayalah yang pertama kena marah,” ujar Munawar saat menceritakan kembali kisah itu pada puncak peringatan tiga tahun MoU Helsinki di Blangpadang, Agustus 2008.
Saat Munawar sedang menelepon, kelima delegasi GAM kembali ke dalam kamar. Wajah mereka murung. Tiba-tiba, Malik Mahmud mengatakan perundingan telah selesai. Malik meminta semua barang dan peralatan di kamar dikumpulkan agar mereka bisa bersiap-siap untuk pulang. Ucapan Malik itu merujuk pada hasil perundingan hari itu yang tak mencapai titik temu. Salah satu pengganjal, ditolaknya ketentuan partai politik lokal di Aceh.
Ketika Munawar sedang bersiap membereskan kamar dan mematikan komputer, terdengar ketukan di pintu kamar. Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil datang berkunjung. Seluruh penghuni kamar kaget. Soalnya, kata Munawar, selama masa perundingan, kedua delegasi yang menempati kamar berbeda di gedung tersebut tak pernah bertemu di kamar. Para juru runding hanya bertemu di ruangan lantai bawah gedung.
Hamid dan Sofyan datang untuk mengabarkan kalau Pemerintah Indonesia sepakat klausul partai politik lokal dimasukkan ke dalam MoU Helsinki. "Kita hari ini sudah mencapai sebuah kesepakatan besar,” ujar Hamid seperti ditiru Munawar.
Mendengar perkataan Hamid itu, Malik Mahmud menimpali. "Benar Pak Hamid. Kita harus mewujudkannya."
Pekerjaan selanjutnya, kedua delegasi rembuk bersama tentang bunyi bahasa soal ketentuan partai politik lokal yang boleh dibentuk di Aceh. Setelah sepakat, keesokan hari, draf kesepahaman ditandatangani.
Sebulan kemudian, tepatnya 15 Agustus 2005, draf MoU itu resmi ditandatangani kedua belah pihak yang dimediasi oleh Martti Oiva Kalevi Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang saat itu memimpin Crisis Management Inisiative atau CMI. Lembaga ini yang memediasi perundingan RI-GAM di Helsinki. Sejak itu, konflik Aceh berhenti. Pemerintah Indonesia menarik pasukan militernya dari Aceh. Para kombatan GAM juga melebur menjadi sipil biasa.
Pada 2006, sebuah regulasi turunan MoU Helsinki lahir dengan nama Undang Undang Nomor 11 Tentang Pemerintah Aceh atau lazimnya disingkat dengan UUPA saja. Penyusunan undang-undang ini berlangsung secara maraton dan melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh. Komponen masyarakat sipil dan akademisi juga ikut menyerahkan draf rancangan undang-undang tersebut lalu kemudian digodok bersama.
Namun, hingga 12 tahun MoU diteken, jejak naskah asli yang menjadi milik Aceh masih simpang siur. Diketahui, ada tiga naskah asli MoU yang masing-masing dipegang oleh Martti Ahtisaari, delegasi RI dan delegasi GAM. Hal itu juga diperjelas oleh Jusuf Kalla pada 2009 ketika ia menjadi wakil presiden di eranya Susilo Bambang Yudhoyono.
Naskah milik delegasi RI rupanya berada di tangan di Kalla. Baru tahun itu ia menyerahkan naskah asli kepada Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa. "Satu lagi ada di Aceh, satu ada di Marti (Ahtisaari, juru runding RI - GAM)," ujar JK seperti dikutip Vivanews.
Ia menyerahkan naskah pada Selasa, 4 Agustus 2009, secara simbolis di Istana Wakil Presiden. Kalla mengatakan naskah asli MoU Helsinki tersimpan selama tiga tahun terakhir di brankas kantornya. Ia menemukannya ketika membereskan berbagai macam arsip. Setelah menemukan naskah asli tersebut, Kalla berinisiatif menyerahkan ke Sekretariat Negara. "Kita tidak mau seperti Supersemar [Surat Perintah Sebelas Maret]. Orang bertengkar satu halaman, dua halaman, tapi aslinya hilang," ujar Kalla saat itu.
Naskah asli MoU Helsinki yang dipegang Kalla tertulis dalam bahasa Inggris, disertai terjemahan bahasa Indonesia. Dalam naskah asli tersebut tertera tiga penandatangan yaitu Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Ketua Juru Runding GAM Malik Mahmud, dan saksi Marti Ahtisaari.
Hatta Rajasa mengatakan, sebagai dasar pembuatan UUPA, naskah asli MoU merupakan bagian dari sejarah bangsa. Naskah tersebut selanjutnya, kata Hatta, disimpannya sebagai dokumen negara. ''Pada saatnya nanti kita simpan di arsip nasional,'' tambahnya. Berbeda dengan undang-udang lain, kata Hatta, naskah itu tak akan diberi nomor dalam lembaran negara.
Jika di Jakarta naskah itu telah ditemukan, beda halnya dengan di Aceh. Pada 2014, Kepala Badan Arsip dan Perputakaan Aceh, Hasanuddin Darjo, mengaku instansinya tak memiliki naskah asli maupun salin perjanjian damai tersebut. Darjo, seperti dikutip Metrotvnews pada Selasa, 9 Desember, mengaku belum tahu di mana naskah itu disimpan. "Tidak ada naskah asli perjanjian damai RI-GAM yang tersimpan di Badan Arsip Pemerintah Aceh. Itulah yang harus saya cari dan harus dimiliki pemerintah Aceh. Karena itu sangat berharga dan bernilai tinggi, penting untuk bukti sejarah ke depan," ujar Darjo.
Darjo tak yakin lembar asli atau salinan perjanjian itu berada di tangan Zaini Abdullah atau Malik Mahmud. "Kalau tersimpan pada mereka juga sangat bagus karena kedua petinggi Aceh ini mantan petinggi GAM yang ikut berunding kala itu," ujar Darjo.
Ia berjanji bakal mencari tahu keberadaan naskah yang melahirkan kedamaian di bumi Serambi Mekah itu. "Kalau sekarang tidak dihiraukan, ke depan semakin sulit mendapatkan keasliannya. Apalagi dikhawatirkan hilang atau berubah dari aslinya," ujarnya.
Darjo berharap naskah tersebut masih utuh dan tersimpan baik. "Saya khawatir saja kalau itu hilang atau tidak tersimpan dengan baik. Tapi lebih bagus pemerintah Aceh memiliki naskah asli dan tersimpan dengan aman. Semoga semua pihak positif atas ide kebaikan ini."
Hingga Darjo lengser sebagai kepala badan, naskah itu tak kunjung ditemukan. Pada Rabu, 9 Agustus 2017, ketika KBA.ONE mengonfirmasi ulang ke Badan Arsip Aceh, naskah itu juga belum ada di sana. Kepala Bidang Pemanfaatan dan Layanan di Badan Arsip Aceh, Nizar mengatakan pernah ada upaya menjemput naskah itu ke luar negeri pada 2015. Saat itu, ada informasi naskah berada di Swedia.
Badan Arsip bahkan menyiapkan anggaran untuk penjemputan naskah. "Dulu pernah dianggarkan dalam APBA untuk kami jemput dengan Pak Zaini [Gubernur Zaini Abdullah]. Cuma karena Pak Zaini sibuk saat itu, jadinya penjemputan naskah tidak sempat lagi," ujar Nizar. Akibatnya, hingga anggaran mati, upaya penjemputan tak pernah dilakukan.
Saat ditanyakan kemungkinan naskah itu sekarang berada di tangan Malik Mahmud, dengan nada agak kaget Nizar menjawab tidak tahu. Hingga kini, kata dia, tidak ada naskah asli MoU yang berada di tangan arsip Aceh. "Namun di Arsip Nasional naskah tersebut ada. Kita harus punya di sini, walaupun salinannya. [Naskah] itu dilestarikan sebagai informasi untuk anak cucu kita nanti."
Sementara itu, Munawar Liza ketika dihubungi mengatakan naskah asli ada dua. "Ketika penandatanganan MoU Helsinki di Smolna Goverment Hall itu kalau tidak salah saya ada dua naskah, di tangan Hamid Awaluddin dan naskah kedua diserahkan kepada Tengku Malik Mahmud. Jadi kalau untuk naskah asli yang ada tanda tangannya mungkin bisa ditanyakan ke pihak tersebut," ujar Munawar, Jumat, 11 Agustus 2017.
Naskah asli MoU, kata Munawar, ukurannya lebih besar ketimbang salinan-salinan yang beredar. "Yang asli itu naskahnya panjang dan lebar. Yang sekarang beredar salinan-salinan itu paling seukuran kertas A4," ujarnya.
Munawar cenderung mengatakan naskah asli MoU kepunyaan delegasi GAM berada di tangan Malik Mahmud. "Beliau salah satu pelaku penandatanganan dan delegasi Aceh mewakili GAM. Makanya naskah tersebut sama Tengku Malek. Tapi coba dikonfirmasi kembali ke beliau," ujar mantan Wali Kota Sabang periode 2007-2012 tersebut.
Namun, hingga berita ini diturunkan upaya mewawancarai Malik Mahmud yang kini menjabat Wali Nanggroe, tak membuahkan hasil. Sejak pekan lalu, protokoler kantor Wali Nanggroe mengatakan Malik Mahmud sedang sibuk. Humas Wali Nanggroe, Syukri yang dihubungi kembali lewat SMS dan Whatsapp pada Senin malam, 14 Agustus, juga tidak bisa memastikan apakah naskah itu memang berada di gedung Wali Nanggroe atau di tangan Malik Mahmud.
Menurut Munawar, sebelum penekenan, pada 15 Juli 2005 telah ada draf naskah kesepakatan yang diparaf kedua belah pihak. "Kemudian tanggal 15 Agustus 2005 itu hanya seremonial penandatanganan MoU. Jadi tidak ada lagi negoisasi dan perbincangan-perbincangan tentang itu. Hanya datang ke Helsinki kemudian bertemu di tempat penandatanganan lalu pulang ke negeri masing-masing," ujarnya.
Sorenya, seusai penandatanganan, kedua delegasi dan tim pendukung masing-masing menggelar pertemuan lagi. "Ada delegasi dari GAM dan diaspora-diaspora yang ada di luar negeri termasuk dari Malaysia, undangan dari lapangan, anggota DPR RI, tokoh-tokoh Aceh di Jakarta. Juga dibuat resepsi waktu itu."
Adapun Ketua Fraksi Partai Aceh DPRA Iskandar Usman berpendapat keberadaan naskah asli MoU Helsinki itu sangat penting. "MoU itu kan nyawanya perdamaian Aceh. Patron Aceh di Indonesia itu harus merujuk ke MoU. Apa saja yang disepakati oleh para pihak yang sudah tertuang dalam naskah MoU harus dijalankan," ujarnya lewat telepon pada Rabu, 9 Agustus 2017. Ia mengaku tak tahu pasti di mana keberadaan naskah asli MoU untuk Aceh.
Selebihnya, pada peringatan 12 tahun perdamaian Aceh, Iskandar meminta Pemerintah Pusat membuka kembali naskah MoU Helsinki untuk melihat poin-poin yang sudah disepakati dan dimandatkan agar diterapkan dalam sistem Pemerintahan RI terhadap Aceh.
Ia menilai harus dilakukan evaluasi besar-besaran untuk melihat apakah poin-poin dalam MoU sudah terlaksana dengan maksimal sesuai kesepakatan atau belum. "Para pengambil inisiatif perdamaian di Aceh yang terlibat dalam proses pra dan pasca-MoU harus ikut bertanggung jawab untuk mendudukkan kembali para pihak dari RI, GAM dan dan para inisiator termasuk Martti Ahtisaari. Mereka sebagai orang tua yang harus mengingatkan para pihak ini kembali kepada rel sesuai MoU Helsinki."
Artikel ini sudah pernah tayang di Kba.One dengan judul: Melacak Jejak Naskah Asli MoU Helsinki
0 Response to "Mencari Jejak Naskah Asli MoU Helsinki yang Pernah Hilang"
Post a Comment