Kisah Dokter Asal Aceh yang Bertuagas Selama Tujuh Tahun di Pedalaman Papua



Dokter Fajri Nurjamil sedang memeriksa pasien

Apa yang saya alami selama 7 tahun bertugas untuk Tanah Papua, membuat saya berat untuk meninggalkan mereka.

Petikan kalimat itu dikirimkan Fajri Nurjamil (33) dalam sebuah pesan panjang melalui fasilitas Facebook Messenger kepada Serambi, Jumat (30/8) malam. Fajri bercerita, siang itu dia berhasil menunaikan shalat Jumat kedua di pedalaman Papua.

“Alhamdulillah, hari ini adalah jumatan kedua saya selama lagi berada di pedalaman kabupaten Asmat-Papua,” tulis Fajri Nurjamil.

Fajri, pemuda kelahiran Beureunuen Kabupaten Pidie, adalah dokter jebolan Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama, Aceh Besar.

Ia mulai bertugas di Papua dengan status dokter program PTT (Pegawai Tidak Tetap) Kemenkes RI, sejak 1 Juni 2013.

Sebelumnya, alumnus Dayah Jeumala Amal (DJA) Lueng Putu (MTs kelas 1 dan 2) serta Alfurqan Bambi (MTs kelas 3), dan SMAN 1 Mutiara ini, sempat mengabdi sebagai dokter bakti di Puskesmas Delima, di Gampong Aree, Pidie.

Dokter Fajri bertolak ke Papua bersama dua rekannya yaitu, Dokter Hidayat lulusan dari Fakultas Kedokteran Unaya dan Dokter Dewi lulusan dari Fakultas Unsyiah. Dokter Fajri mendapat tugas di wilayah Kabupaten Asmat, sedangkan Dokter Hidayat ditempatkan di Kabupaten Puncak, dan Dokter Dewi di Kabupaten Yahukimo.

Kepada Serambi, Fajri bercerita, saat ini dia bertugas di Puskesmas Kolf Braza yang meliputi wilayah pelayanan dua distrik, yaitu Distrik Kolf Braza dan Distrik Koroway Bulanop. Kedua distrik ini berada di wilayah tengah atau pegunungan Papua, berjarak puluhan kilometer dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat.

“Jumatan pertama saya minggu yang lalu, saya ikut menumpang dengan pedagang menggunakan perahu ketinting yang lagi berbelanja di wilayah Distrik Suator. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk perjalanan turun ke Distrik Suator,” kata pemuda hitam manis ini.
“Jumatan kedua saya hari ini, Alhamdulillah bisa menumpang ikut speedboatnya Bapak pendeta dari Distrik Kolf Braza yang lagi berkunjung ke Distrik Suator,” tambah dia.

Dia bercerita, warga muslim di Kolf Braza yang ingin melaksanakan Shalat Jumat harus menyusuri sungai untuk mencapai lokasi masjid terdekat di Distrik Suator. Jika menggunakan speedboat 40 PK seperti milik pendeta yang ditumpangi Fajri pada Jumat (30/8) lalu, maka butuh waktu sekitar 45  menit hingga 1 jam.

Sementara jika menggunakan perahu ketinting milik para nelayan, seperti yang ditumpangi Fajri pada hari Jumat sebelumnya, bisa memakan waktu 1,5 jam hingga 2 jam perjalanan.
Dulu, kata Fajri, saat pertama bertugas di Puskesmas Primapun di Distrik Safan (pertengahan 2013), dia biasa melaksanakan shalat Jumat ke Kota Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, atau ke Distrik Pantai Kasuari. Kedua daerah ini tidak lagi dianggap pedalaman karena sudah tersentuh pembangunan dan fasilitas moderen.

Sehingga praktis, shalat Jumat di Distrik Suator pada tanggal 23 Agustus 2019 lalu menjadi shalat Jumat perdana Dokter Fajri di daerah pedalaman Papua.

Pada awal tahun 2015, Fajri sempat bertugas di Puskesmas Suru-Suru. Di tempat tugas kedua ini yang berada di lembah pegunungan dan sangat jauh dari ibu kota Kabupaten Asmat, juga tidak ada masjid. “Jadi kalau mau shalat Jumat atau shalat Id (hari raya), harus turun ke kota kabupaten Asmat, butuh waktu sekitar 6 sampai 8 jam, tergantung kondisi air di kali (sungai)," ujarnya.

Lihat videonya:


Kita baku sodara

Selama 7 tahun berada di pedalaman Asmat, Fajri Nurjamil,suami dari Syafrina Ibrahim, semakin akrab dengan alam Papua. Perawakan dan gaya bicaranya, seperti sering terlihat saat dia siaran langsung di Facebook, benar-benar mirip warga Papua.
Safan dan Koroway yang merupakan nama dua distrik tempat tugasnya di pedalaman Papua pun ditabalkan pada nama belakang dua buah hatinya, yaitu Faiqa Shadira Al Safan dan Fathia Hanifa Al Koroway.

Fajri yang memiliki wajah mirip Etoo, pesepakbola asal Kamerun, juga menyematkan nama Safan dan Koroway ini di akun Facebook miliknya. Jadilah Facebook dia bernama Fajri Eto'o Al-Safan Al-Koroway.

Profesinya sebagai dokter, plus sikapnya yang ramah dan bersahaja, membuat Fajri dicintai masyarakat Papua. “Alhamdulillah, masyarakat di pedalaman Papua sangat membantu dan melindungi saya bersama rekan-rekan,” ujarnya.

“Selama kita berada di pedalaman Papua dalam menjalankan tugas pelayanan kesehatan untuk mereka, walaupun kami berbeda suku, agama dan daerah kami berasal, kami di sini saling baku lihat, baku jaga, baku melindungi, dan kita baku sodara seperti sodara kita sendiri di kampung halaman,” tulis Fajri.

“Itu yang saya alami sekarang selama menjalankan tugas di tahun ke 7 untuk Tanah Papua. Apa yang saya alami ini membuat saya berat untuk meninggalkan mereka,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, seandainya Provinsi Aceh berdekatan dengan Papua, seperti Aceh dengan Sumatera Utara, ia akan memboyong istri dan anak-anaknya untuk pindah kampung halaman, agar bisa melayani kesehatan warga Papua selama-lamanya. “Tapi sayangnya jauh sekali, antara ufuk barat dan ufuk timur,” pungkas Fajri sembari meminta doa agar tahun depan bisa nyoba test sekolah spesialis.


Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Dokter Asal Aceh di Papua, Merasa Terlindungi di Pedalaman Asmat, https://aceh.tribunnews.com/2019/09/02/merasa-terlindungi-di-pedalaman-asmat?page=3.

0 Response to "Kisah Dokter Asal Aceh yang Bertuagas Selama Tujuh Tahun di Pedalaman Papua"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel