Gedeu –Gedeu, Sumo Masyarakat Pidie
Setiap daerah memiliki keunikan yang berbeda-beda, keunikan tersebut menjadi unsur penting dalam membentuk konsep jati diri daerah masing-masing, atau lebih dikenal dengan istilah identitas sosial (social identity). Terbentuknya identitas sosial ini karena adanya keterlibatan, rasa peduli dan rasa bangga menjadi bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya, setiap kelompok berusaha untuk menampilkan keunikan yang ada di daerah mereka masing-masing, baik dari segi kuliner, kesenian maupun permainan rakyat. Adapun salah satu diantara keunikan yang menarik adalah permainan gedeu-gedeu atau deu-deu.
Permaianan gedeu-gedeu berasal dari Kabupaten Pidie, salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada koordinat 4,30-4,6 Lintang Utara dan 95,75-96,20 Bujur Timur dengan pusat pemerintahan di Kota Sigli. Di wilayah yang di kenal dengan julukan nanggroe kerupuk mulieng(wilayah penghasil emping melinjo), permainan gedeu-gedeu menjadi permainan khas masyarakat Pidie.
Permainan gedeu-gedeu adalah permainan sejenis sumo Jepang atau kusthi/akhara (gulat) di India, juga dinamakan meukrueng-krueng. Permainan ini tergolong permainan tradisional, yang berorientasi pada adu kekuatan fisik dan mental, dibutuhkan tenaga serta strategi sempurna untuk memenangkan permainan ini, bahkan tidak jarang ada para pemain yang cedera akibat sengitnya beradu kekuatan.
Permainan gedeu-gedeu sudah dipertunjukkan sejak zaman uleebalang. Pada awalnya, pertunjukkan permainan ini bertujuan untuk menghibur masyarakat, setelah hari-hari yang mereka jalani disibukkan bekerja dengan beragam profesi yang mereka tekuni, diantara masyarakat ada yang berprofesi sebagai buruh tani, utoh, pedagang dan sebagainya.
Salah seorang tokoh dari Pidie, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera masa jabatan Tahun 1945-1948, yaitu Mr. Teuku Muhammad Hasan, pernah mencetuskan dilaksanakan pertunjukkan gedeu-gedeu di Lampoh Saka. Dia membuat sebuah musyawarah besar, dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari tuha gampong hingga para pemuda, tujuan musyawarah tersebut untuk membentuk panitia pelaksana permainan gedeu-gedeu di Lampoh Saka. Dalam buku memoar Mr. Teuku Mohammad Hasan halaman 123- 124, dijelaskan:
“Sepulang saya dari Negeri Belanda, saya melihat bahwa pasar Lampoh Saka boleh dikatakan sepi, tidak seramai pasar Caleu. Oleh karena itu saya mengundang orang-orang tua dan orang-orang di pasar bertukar pikiran bagaimana caranya meramaikan keude Lampoh saka. Dalam pertemuan itu disarankan supaya diadakan permainan gedeu-gedeu di atas tanah sawah dekat pasar. Disamping itu diadakan pula adu sapi, kerbau dan domba dengan tujuan untuk meramaikan pasar Lampoh Saka.
Mercermati langkah yang dilakukan Mr. Teuku Mohammad Hasan, yang mengagas permainan unik ini di Lampoh saka, dapat diketahui bahwa tujuan permainan gedeu-gedeu tidak lagi hanya sebatas untuk hiburan semata, akan tetapi terdapat alasan lain terkait tujuan permainan gedeu-gedeu di Pidie.
Pertama, sebagai sebuah strategi untuk meramaikan pasar, dengan dasar pertimbangan bahwa pasar menjadi denyut nadi bagi masyarakat. Apabila pasar mati maka dapat dibayangkan bagaimana meningkatkan aktifitas jual beli. Oleh sebab itu, dengan diadakan permainan gedeu-gedeu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk datang ke pasar Lampoh Saka, jika pasar sudah ramai, maka perputaran ekonomi akan lebih stabil, karena aktifitas pasar tidak hanya tertuju pada transaksi jual beli semata, akan tetapi lebih dari itu, dipasar juga akan membuka peluang kerja yang baru, misalnya masyarakat dapat bekerja sebagai pengangkut barang, tukang kebersihan dan sebagainya.
Kedua, sebagai ajang untuk meningkatkan persatuan masyarakat. Permainan ini tidak hanya dimainkan oleh masyarakat gampongtertentu saja akan tetapi turut pula diundang masyarakat gampong lain. Dengan demikian akan terbentuk interaksi sosial serta hubungan emosional sesama masyarakat, paling kurang dengan adanya interaksi tersebut dapat mengetahui bagaimana karakter warga dari masing-masing gampong.
Ketiga, Permainan gedeu-gedeu sebagai salah satu cara untuk melatih ketangkasan pemuda, agar para pemuda tidak terlihat loyo, tidak bersemangat. Adanya permainan ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dahulu, para pemuda yang menjadi pemain gedeu-gedeudisukai oleh gadis-gadis karena postur mereka kekar.
Dalam sebuah wawancara dengan T.M. Daud, salah seorang penonton gedeu-gedeu era 1945, ia menerangkan bahwa gedeu-gedeu saat itu sering dimainkan di Bernuen, tepatnya di area berdirinya Masjid Abu Beureueh sekarang, dulu disitu adalah tanah lapang. Selain itu, juga dimainkan di Blang Mbeek, yaitu kawasan pusat perbelanjaan kota Berenuen saat ini.
Apabila ingin melaksanakan turnamen gedeu-gedeu bergengsi, maka akan dibentuk panitia penyelenggara, satu bulan sebelum hari H panitia sudah menyebarkan informasi ke berbagai pelosok gampong, bahwa bulan depan akan diadakan turnamen di gampongfulan. Jika waktu turnamen tiba, maka tempat perhelatan gedeu-gedeu biasanya akan dipagar, jika ingin menonton harus membayar sebesar 1 Rupiah, nilai mata uang pada saat itu.
Untuk memainkan gedeu-gedeu diundang pemuda-pemuda gampong dari berbagai wilayah lain, diantaranya dari gampong Blang Mangki, Bereunuen, Bambi, Adan, Ie Leubeu, Pineung dan lainnya. Tempat duduk sekalipun sudah diatur sedemikian rupa, tempat duduknya di empat arah mata angin. Para penonton gedeu-gedeu duduk dibelakang atau sekitar orang-orang yang turut berkelahi mengadu kekuatan.
Para pemain jauh-jauh hari sudah menjaga kesehatan, mengonsumsi daging kambing, ada juga daging kerbau adu (Kebeu Pok), menurut kepercayaan saat itu mengonsumsi daging kerbau adu dapat membuat orang menajadi kuat, persiapan harus benar-benar matang, jika tidak akan kalah, kalau sudah kalah akan malu diri sendiri dan gampong. Bintang gedeu-gedeu pada Tahun 1945 diantaranya adalah Alibasyah Aneuk Muda dari Adan, Banta Amat dari Gumpueng, Pang Tam dari Ujong Rimba, Sayet Hasan dari Gampong Keumangan dan ada beberapa lagi lainnya.
Teuku Ishak, salah seorang pemain gedeu-gedeu dari Bambi Mee Hagu juga turut memberi keterangan, bahwa permainan ini dimainkan oleh tiga orang pemain utama, satu orang sebagai penerima serangan atau dalam istilah permainan gedeu-gedeudisebut tukang theun atau tueng, sedangkan dua lainnya sebagai penyerang dikenal dengan istilah pok.
Selain pemain utama, terdapat juga ureung semeugla atau ureung peubla, yaitu juru pemisah bagi pemain utama tadi, lebih tepatnya ureung peubla ini dapat dikatakan sebagai wasit dalam permainan, jumlah wasit ada dua sampai tiga orang, dikarenakan permainan gedeu-gedeu sangat beresiko, tidak sembarang orang dipilih menjadi wasit, tetapi mereka yang sudah terlatih, berpengalaman, memiliki kapasitas pengetahuan tentang gedeu-gedeu serta memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat.
Permainan ini dimainkan di sawah, dengan arena berbentuk segi empat, ada juga yang melakukan pertarungan di tanah lapang dekat krueng (sungai), makanya selain nama gedeu-gedeu permainan ini juga dikenal dengan sebutan meukrueng-krueng, dengan ketentuan arena harus bersih dan berbentuk segi empat. Sewaktu-waktu ada acara resmi dari pemerintah, biasanya permainan ini turut juga dipertunjukkan di lapangan-lapangan bola, karena tidak mungkin menunggu masa luah blang(setelah panen), serta kurang strategis jika diadakan dekat sungai, untuk itu digunakan lapangan atau tempat yang layak lainnya.
Adapun atribut bagi pemain gedeu-gedeu tidak terlalu banyak, para pemain hanya menggunakan celana warna hitam yang panjangnya menutupi bawah lutut. Selain itu, pemain melilitkan kain di pinggang dengan panjang lebih kurang 1 meter, dalam istilah permainan ini disebutkan ija rhroek keu’ieng (kain ikat pinggang), posisi kain harus menutupi pusat, karena batas aurat bagi seorang laki-laki, warna kain dalam turnamen resmi biasanya warna merah, dengan makna filosofis bahwa merah itu warna yang menunjukkan keberanian, terkadang ada juga yang menggunakan warna kuning dan hijau. Pemain dalam permainan ini tidak dibolehkan menggunakan baju, supaya nampak gagah, juga untuk mengantisapasi adanya kecurangan.
Foto : atribut yang di pakai oleh pemain gedeu-gedeu
Sebelum ke arena, terlebih dahulu para pemain gedeu-gedeu menjalani ritual peusijuek (menepung tawari) oleh tokoh gampong, disertai memanjatkan doa kepada ilahi. Selain di peusijuek, para pemain turut diberikan bulukat (pulut), hal ini bertujuan untuk mengambil berkah, dalam kajian agama Islam dikenal dengan istilah tawassul. Para pemain tidak dibenarkan sombong, apalagi meremehkan lawan-lawannya, karena jika sombong akan cedera ketika berlaga.
Setelah semua siap, barulah pemain turun ke ring. Terdapat seorang pemain yang posisinya sebagai penantang (ureung theun,tueng) dari gampong tertentu, tampil dengan cara berputar-putar di gelanggang, seraya meukeutheup-keutrep jaroe (berketip-ketip jari), bertepuk kedua tangan, dan terkadang tiarap ke tanah sembari menunggu penyerbu (ureung pok).
Setelah itu, giliran pihak lawan yang menyerbu penantang yang sudah siap menunggu lawan datang, biasanya ada dua orang penyerang, keduanya menyerbu sambil memegang tangan. Dalam aturan permainan ini, orang yang menyerbu tidak boleh memukul penantang tetapi hanya menangkap dan membanting saja, sedangkan penantang diperbolehkan memukul penyerang, tapi hanya memukul di area-area tertentu. jika bantingan penyerbu terlepas maka berakhirlah permainan, kesebelasan pemain yang menang akan diberikan hadiah rencong sebagai bentuk penghargaan, serta turut diberikan uang.
Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga
Sebelum Tsunami, pergelaran budaya di Pidie sering sekali dilaksanakan, terutama permainan gedeu-gedeu, misalnya pada acara 17 Agustus maupun acara resmi budaya. Menurut Teuku Ishak, ia dan tim pada Tahun 2000 pernah ke Jakarta, tepatnya di lapangan Senayan untuk menampilkan gedeu-gedeu dalam sebuah event budaya.
Di lapangan bola Blang Paseh juga pernah dilaksanakan, masyarakat mulai dari anak-anak sampai yang tua, laki-laki dan perempuan, dari berbagai penjuru Pidie datang ke acara tersebut dan mereka sangat antusias mengikuti jalannya permainan ini sampai selesai, menandakan bahwa animo masyarakat terhadap permainan gedeu-gedeu masih tinggi. Selain itu, penulis pernah melihat beberapa kali pergelaran seudati yang dilaksanakan di Alun-alun Kota Sigli dengan syeh seudati nya saat itu adalah Syeh Lah Geunta.
Setelah tragedi Tsunami, permainan gedeu-gedeu sudah sangat jarang dipertunjukkan, hal ini sangat disayangkan karena permainan unik ini merupakan permainan khas Pidie yang tidak ditemukan di daerah-daerah yang lain. Bagi generasi milenial, mendengar kata gedeu-gedeu saja tidak pernah, artinya permainan ini suatu permainan asing dan tidak mereka ketahui.
Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian dari pemerintah Kabupaten Pidie, serta instansi-instansi terkait untuk memberi perhatian lebih guna melestarikan permainan gedeu-gedeu, agar permainan unik ini tidak hilang ditelan zaman, karena berbicara tentang kebudayaan, tidak hanya terbatas pada masa dan generasi tertentu saja, tetapi budaya akan diwariskan secara estafet pada generasi selanjutnya.(ay)
0 Response to "Gedeu –Gedeu, Sumo Masyarakat Pidie"
Post a Comment