Kisah Merebaknya Wabah Ta'eun Ija Brok dan Wabasampoh di Aceh
Pada akhir abad ke-18 masehi, sejumlah negara di dunia dilanda wabah begitu menakutkan. Jika di Eropa, mereka menyebut wabah ini dengan istilah The Black Death. Sedangkan di belahan nusantara dikenal dengan istilah kolera. Akan tetapi orang Aceh kala itu menyebutnya dengan istilah Ta’eun Ija Brok.
Sebutan ini karena virus mematikan pada masa itu dilaporkan menjadikan kain-kain kotor sebagai sarang dan kemudian menular pada manusia.
Kala itu virus ini di bawa oleh serdadu Belanda hingga membuat kehidupan masyarakat di Aceh jadi mencekam.
Di kampung-kampung, masyarakat Aceh menggelar shalat tolak bala. Menyalakan penerang sejenis obor usai Magrib dan kemudian keliling kampung sambil membacakan doa-doa tolak bala.
Selain itu warga di Aceh juga masa itu juga membakar kain-kain kotor sebagai upaya dalam menolak bala.
Ada juga sebagian warga yang membakar barang-barang pemberian Belanda karena dianggap bagian dari sumber penyakit tersebut.
Yang paling banyak menerima refek dari keberadaan wabah taeun ini adalah orang-orang Aceh yang bekerja di kantor kantor Belanda, mereka menderita kolera hingga dijauhi oleh masyarakat Aceh itu sendiri. Tak hanya yang terkena wabah tapi juga anak cucu mereka yang tinggal jauh dari pusat wabah.
Semua melakukan upaya masing-masing untuk meminimalisir wabah ini. Termasuk tak menikah dengan anak gadis dari silsilah keluarga yang terkena Ta’eun Ijak Brok.
Konon, wabah kolera atau Ta’eun Ijak Brok, sebelum ada di Aceh terlebih dahulu awalnya mulai melanda Batavia (sekarang disebut Jakarta).
Dari berbagai referensi mengatakan, ketika Belanda memulai agresi keduanya ke Aceh, wabah kolera mulai menjangkiti pasukan Belanda. Jenderal Jan van Swieten diangkat Loudon menjadi Panglima Militer Tertinggi Ekspedisi ke Aceh kedua.
Van Swieten kala itu berusia 66 tahun. Ia telah pesiun sebagai Tentara Hindia Belanda. Dan kemudian menjadi anggota Dewan Negara dan Komisaris Nederlands-Indische Spoorwegmaatchappij, perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda (Paul van t’Veer: 1985).
Ekspedisi kedua membawa hampir tiga belas ribu orang. 389 perwira, 8156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana dan 234 wanita. 18 kapal perang uap, tujuh buah kapal uap angkatan laut, 12 kapal barkas, dua kapal peronnda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat yang terdiri dari 6 kapal uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, kurang lebih 80 sekoci, beberapa sekoci angkatan laut dan sejumlah besar tongkang. (Ibrahim Alfian: 2016)
Ekspedisi pun dimulai dengan pelayaran dari Batavia. Ribuan orang berjejal dalam kapal-kapal selama 10-14 hari perjalanan. Pelayaran sudah mengundang maut ketika wabah kolera pada Oktober 1873 telah mencapai Batavia. Keberangkatan ekspedisi yang seharusnya dimulai 1 November 1873, diundur hingga 10 hari. (Paul van t’Veer: 1985)
Tak lama setelah berlayar, ribuan orang yang berjejal dalam ekspedisi militer ke Aceh tersebut menjadi korban wabah kolera.
Begitu kapal-kapal mencapai Aceh, 60 orang sudah tewas akibat kolera. Begitu kapal mendarat angka korban kolera segera meroket. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng yang becek, dan kurangnya tenaga medis membuat jumlah korban wabah kolera meningkat setiap hari. (Paul van t’Veer: 1985)
Angkanya terus meroket. Bahkan pada akhir bulan Desember telah tewas 150 orang akibat kolera. 18 perwira dan ratusan bawahan segera dibawa ke rumah sakit di Kota Padang, tanpa pembasmian hama terlebih dahulu. Sebelum peluru ditembakkan dari ekspedisi ini, Van Swieten telah kehilangan lebih dari sepersepuluh kekuatannya. (Paul van t’Veer: 1985)
Akibat khawatir akan penularan wabah pula, akhirnya pada 9 Desember 1873, satu dari ketiga brigade didaratkan di Pantai Rawa. Pasukan induk sendiri akhirnya tiba di Peunayong setelah 14 hari menembus serangan pasukan Aceh. Pertempuran untuk menguasai Masjid Raya terus berlangsung hingga akhir Desember. (Mohammad Said: 2007)
Pasca menguasai Masjid Raya, pasukan Belanda merangsek ke Istana Kesultanan Aceh. Celakanya mereka bukan hanya menembakkan peluru tetapi juga menularkan kolera ke kubu Aceh. Kolera segera merebak di dalam Istana yang sedang dipertahankan. (Mohammad Said: 2007)
Setidaknya 150 orang Aceh setiap hari tewas akibat kolera. Salah satu yang ikut terkena kolera adalah Sultan Mahmud. Ia menjadi orang yang terakhir Bersama Panglima Tibang keluar dari istana. Sultan kemudian diungsikan ke Pagar Aye. Takdir menentukan berbeda. Pada 28 Januari 1874 Sultan Aceh tersebut wafat. (Mohammad Said: 2007)
Kepanikan bertambah parah kala wabah tersebut kemudian menyebar dengan cepat di seluruh Aceh.
Asumsi awal, wabah ini cuma menjangkit orang-orang miskin di Aceh. Ini karena mereka mengenakan Ija Brok, namun belakangan para ulee balang di Aceh juga terkena imbasnya meskipun mereka berpakaian bagus.
Istilah Ta’eun pun kemudian bergeser dari Ta’eun Ija Brok menjadi Ta’eun Wabasampoh. Artinya, wabah ini bisa menimpa siapa saja orang-orang yang terjangkit. Tak peduli ia kaum bangsawan maupun rakyat jelata.
Wabah ta’eun wabasampoh sendiri baru redam di Aceh hingga pertengahan abad 19. Orang yang terjangkit wabah ini dikucilkan hingga prilaku lainnya.
Sumber : https://atjehwatch.com/2020/03/22/kisah-wabah-taeun-ijak-brok-dan-wabasampoh-di-aceh/
0 Response to "Kisah Merebaknya Wabah Ta'eun Ija Brok dan Wabasampoh di Aceh"
Post a Comment