Sekolahku di Kolong Langit
Seteduh cuaca langit sore itu. Kumpulan asa anak-anak Kampung Ciheleut menyembul bak gumpalan kapas putih yang semarak memayungi Kota Hujan. Di wilayah Kecamatan Bogor Timur, sebagian dari mereka yang terpinggirkan boleh jadi bisa tersenyum lepas, karena dapat banyak belajar dan menikmati kehangatan bermain bersama teman-teman seperti pada umumnya.
Begitu lincah kaki-kaki telanjang itu riang berlarian ke sana ke mari, setidaknya bukan lagi seperti di sela hari, yang membuat kaki mungil mereka terbius panas aspal dan debu kota yang menyesakkan. Tepatnya di selasar rumput pinggiran jalan Tol Jagorawi KM-6, kegiatan belajar itu pun dilakukan, berpadu di tengah bisingnya kendaraan.
Kini, lagi— sebuah film adaptasi novel “Perahu Kertas” gugahan Dee Lestari, membekaskan decak kagum tersendiri di khalayaknya, melahirkan sang fiksi menjadi sebuah bentuk inspirasi nyata. Sebuah komunitas sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan, bernama Sakola Alit, bertujuan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu atau putus sekolah.
Bernama Vivi Vebrianty, S.Ikom, seorang mahasiswi lulusan FISIB Ilmu Komunikasi, Universitas Pakuan yang kini berprofesi sebagai wartawan di koran harian Radar Bogor, berniat mengabdikan diri menjadi pengajar lepas untuk para anjal di lokasi sekitar kampus.
“Hal yang melatar belakangi saya mendirikan Sakola Alit pada waktu itu, justru karena merasa kesibukan saya sedikit berkurang dibanding sebelumnya. Saat itu sedang mengerjakan skripsi, bolak-balik kampus hanya untuk mengurus skripsi. Berbeda dengan sebelumnya yang memiliki kegiatan di BEM fakultas. Rutinitas sehari-hari jadi tidak jelas, banyak waktu dihabiskan untuk nongkrong wifian sama teman-teman sambil skripsi, akhirnya memutuskan untuk membuat suatu kegiatan positif untuk mengisi waktu sambil skripsian dan yang bermanfaat untuk orang lain,” ungkapnya.
Realita pendidikan di Indonesia yang saat ini dirasa kian memprihatinkan, menjadi alasan kuat bagi Vivi yang dibantu oleh empat sahabatnya (Ervan, Arta, Yuli dan Afriadi) untuk terjun langsung membentuk komunitas tersebut. Pemandangan aksi dari pengamen jalanan seakan tak pernah absen di pinggiran kota. Utamanya sangat disayangkan sekali, mana kala kegiatan tersebut banyak dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, yang notabenenya belum memiliki kewajiban untuk bekerja.
Upaya dalam mendirikannya memang tidak mudah. Perjuangan panjang selama satu setengah tahun telah dilewati Vivi dalam suka maupun duka. “Susahnya kalau hujan kita jadi gak bisa mengajar karena belum memiliki tempat yang beratap. Senangnya bisa berbagi dengan mereka,” jelasnya.
Sebagai wadah komunitas atau organisasi, tentunya ada sebuah harapan dan cita yang ingin diwujudkan. Salah satu yang juga pernah terbayangkan oleh para pengajar ialah fasilitas agar lebih memudahkan kegiatan belajar mengajar, seperti membangun jembatan atau tempat belajar yang lebih layak dan nyaman. Karena tempat belajar mereka memang di lahan terbuka, dan sulitnya harus menyebrangi kali dan menuruni jalanan yang masih kurang dalam segi kenyamanan serta rasa aman.
Menurut Vivi, pengalaman dalam mendirikan Sakola Alit merupakan suatu hal luar biasa yang tidak bisa ia dapatkan di manapun. Melalui anak-anak ‘Alit’, dirinya mendapatkan banyak pelajaran. Ya, hikmah dan bahagia terbesar bagaimana ia bisa menebar kebaikan dan manfaat bagi sesama dalam kehidupan, serta mensyukuri atas segala hal yang dikaruniai Tuhan kepadanya hingga saat ini. Karena di luaran sana, memang masih banyak orang-orang yang hidup tidak seberuntung kita.
Vivi sangat yakin, bahwa ketika kita mempermudah orang lain, maka Tuhan pun akan mempermudah urusan kita. “Ini bisa dikatakan suatu keberkahan yang luar biasa, yakni saya merasa diberikan kemudahan oleh Allah SWT dalam menjalani skripsi pada waktu itu. Saya merasa hidup saya baru sempurna ketika bisa bermanfaat buat orang lain sekecil apa pun,” pungkasnya. (Kartika)
0 Response to "Sekolahku di Kolong Langit"
Post a Comment