Yang Hilang dari Helsinki, Yang Datang dari Lamteh

Ada dua hal yang hilang selama 10 tahun perdamaian Aceh: pertama, rasa kepemilikan. Kedua, absennya narasi damai, sebagai peganti narasi perang yang hadir terus menerus hadir selama beberapa dekade.

Rasa kepemilikan terhadap perdamaian, yang dibungkus dengan frasa MoU Helsinki dan UUPA, semakin lama semakin menipis. Perdamaian kini dipersepsikan hanya milik elit saja. Bahkan lebih sempitnya, dipersepsikan menjadi kepemilikan elite politik dari Partai Aceh saja. Gugatan oleh elemen sipil, protes oleh akademisi karena nafas ekonomi Aceh yang semakin sesak, adalah maujud dari hilangnya rasa kepemilikan itu.

Bahkan yang lebih celaka, sesama penanda-tangan MoU Helsinki pun, dari unsur GAM, kini sudah tidak menyapa lagi, sehingga Helsinki diklaim menjadi milik segelintir dari mereka saja.
Dan selama 10 tahun jalannya perdamaian, dengan segala bentuk aksi politik penguasaan frasa perdamaian, maka ajakan yang mengatakan bahwa perdamaian milik bersama terasa sumir, ketika kue perdamaian dinikmati secara terbatas.

Kesadaran yang terendap bahwa perdamaian adalah miliki GAM saja dapat dilihat dari absennya tema MoU Helsinki dan UUPA dalam agenda politik, baik Pemilu maupun Pilkada, setiap parpol selain dari GAM. Ini mengindikasikan bahwa tidak terbangunnya perdamaian menjadi milik bersama, kecuali hanya seremonial belaka setiap tahunnya.

Bila kita hendak bandingkan dengan perundingan serupa di Aceh sebelumnya dalam penyelesaian peristiwa Darul Islam Aceh, maka hal tersebut berbanding terbalik.

Diawali dengan pemulihan kembali provinsi Aceh, yang sempat dibubarkan, di tahun 1956. Setahun setelahnya maka diadakan-lah pembicaraan antara wakil dari Darul Islam Aceh dengan wakil Pemerintah Pusat di Aceh, yang kemudian menyepakati gencatan senjata (ceasefire) yang dikenal sebagai Ikrar Lamteh. Di tahun 1959, melalui Dewan Revolusi yang mengatas namakan Darul Islam Aceh, kemudian mengadakan dialog dengan Pemerintah Pusat, yang menghasilkan Daerah Istimewa Aceh dan kompensasi politik lainnya.

Disini poin menariknya, sebesar apapun capaian dialog antara kelompok Darul Islam dengan Pemerintah Pusat itu, kemudian tidak membuat hal tersebut menjadi eksklusif, terutama secara politik bagi para perunding dari Darul Islam.

Tidak membuat kemudian, Ayah Gani, Husein Mujahid dan Hasan Saleh, sebagai tiga tokoh utama dalam perundingan itu, atau-pun Hasan Aly, Ali Piyeung, Hasan Saleh dan juga Ishak Amin, sebagai aktor utama dalam perumusan Ikrar Lamteh tersebut; mengambil sepenuhnya privallage dari pekerjaan politik mereka tersebut.

Yang harus dicatat lekat-lekat, setelah kelompok pejuang Darul Islam melakukan pembicaraan politik dengan Pemerintah Pusat , dari tahun 1957-1959, maka wujud total dari perdamaian itu diberikan sepenuhnya kepada masyarakat Aceh, melalui Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh di tahun 1962.

Awalnya, ada nada keheranan dan kemudian bertanya-tanya, mengapa pula harus ada‘merukunkan’ Rakyat Aceh? Bukankah yang dituntut oleh Darul Islam Aceh adalah komitmen Pemerintah Pusat?


Belakangan barulah mahfum, bahwa Aceh memang berkonflik dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, di tahun 1957 dan 1959, diadakanlah pembicaraan politik antara kedua pihak yang bertikai itu. Pemilihan frasa ‘Kerukunan Rakyat Aceh’ adalah menunjukkan sebuah kesadaran yang mendalam dari para pemimpin Aceh untuk, apa yang sering disebut pada masa itu, keluar dari Darul Harb dan masuk ke Darussalam.

Darul Harb bukan saja dipahami sebagai pemberontakan Darul Islam Aceh itu saja, namun jauh ditarik lagi ke belakang, mulai dari Perang Aceh sampai ke Revolusi Sosial.

Konflik-konflik bersenjata itu dipahami sebagai kehancuran Aceh secara mendalam. Oleh karena itu, perlunya komitmen bersama, keinginan bersama, jabatan tangan yang kokoh pula, untuk mengakhiri benar-benar segala peperangan itu, dan masuk bersama-sama ke alam damai, ke alam yang penuh keselamatan.

Atas dasar semangat itu-lah, maka penyelesaian konflik Darul Islam kemudian dibangun sedemikian rupa untuk menjadi milik bersama rakyat Aceh, bukan milik elite dari Darul Islam belaka.

10 Tahun perdamaian ini-pun kita rasakan sekali betapa narasi damai absen sama sekali. Sejak ditanda tangani di Helsinki, tidak ada upaya serius untuk melakukan, meminjam istilah Fachry Ali, Re-branding Aceh, kecuali upacara seremonial sebagai penjaga ingatan saja.

Aceh, setelah Helsinki, masihlah Aceh yang bergelora. Bahkan pemimpin Aceh, seperti Gubernur, masih lebih suka menyapa dengan sebutan ‘Rakyat Aceh’ yang lebih memiliki konotasi gegap gempita, daripada dengan menyebut ‘Masyarakat Aceh’ yang terkesan lebih tenang dan teratur.

Ataupun, setelah Helsinki, narasi perang masih juga menghiasi percakapan, baik di warung kopi, media massa, karya akademik, sastra dan juga pembicaraan politik. Misalnya, ada salah seorang pemimpin partai di Aceh yang masih memakai kata ‘melawan Pemerintah Pusat’ setelah 10 tahun perdamaian ini, daripada memilih padanan kata lain yang lebih smooth dan elegan.

Intinya, tidak ada upaya serius, terutama secara politik, untuk membangun narasi baru setelah perang.
Saya kembali harus membandingkan hal tersebut dengan capaian politik setelah Darul Islam Aceh. Karena diliputi kesadaran untuk masuk ke alam damai secara total, maka setelah Ikrar Lamteh ada dua pekerjaan besar yang dilakukan di Aceh; mengadakan Pekan Kebudayaan Aceh dan pembangun Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam. Kedua hal tersebut adalah upaya yang nyata untuk membangun narasi damai, setelah beberapa dekade, Aceh tenggelam dalam narasi perang.

Dengan Pekan Kebudayaan, Aceh menyusun kembali agenda kemanusiaannya dengan khasanah yang dikandung dalam sejarahnya yang panjang. Dan juga, dengan pembangunan Kopelma Darussalam, adalah pekerjaan mulia untuk membangun generasi baru Aceh, yaitu generasi yang akrab dengan perdamaian dan pembangunan, daripada generasi yang lebih mengenal kata perang dan dentuman bedil.

Saya kira inilah pekerjaan rumah kita dalam memahami dan menyerap makna perdamaian, yang seharusnya tidak hanya berhenti kepada upacara belaka. Namun lebih dari itu, bekerja dengan sungguh-sungguh untuk membangun rasa memiliki perdamaian dan membangun narasi baru setelah perang. Hal yang mesti dilakukan dengan serius, demi masa depan bersama.  ( http://www.bung-alkaf.com/ )

0 Response to "Yang Hilang dari Helsinki, Yang Datang dari Lamteh"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel