Arti sebuah Mahar Pernikahan dalam pandangan islam
Tinjauan Mahar
1. Pengertian Mahar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itudengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuaidengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.[1]
Menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al-shadaq yang dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal denganmaskawin, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istriketika berlangsungnya acara akad nikah diantara keduanya untuk menujukehidupan bersama sebagai suami istri.[2]
Dalamkitab Subul al-Salam Syarh Bulug al-Marammenjelaskan bahwa mahar mempunyai delapan nama sebagai berikut:
الصداق له ثمانية أسماء، يجمعها قو له :
Artinya: “Mahar mempunyai delapan nama yang dinadzamkan dalamperkataannya: shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ’uqr,
‘alaiq”.
‘alaiq”.
Kata صداق bisa dibaca fathah atau kasrahhuruf shadnya serta dibaca fathah huruf dalnya, namun yang lebih masyhur ialah dengan dibaca fathah shadnya.[4]
Selain shodaq dan mahar ada juga nama lain berupa kata nihlah untuk menyebut maskawin. Dikatakan nihlah karena isteri itu merasakan kenikmatan dengan terjadinya pernikahan sebagaimana suami.[5]Dari ketiga kata ini yakni mahar, shodaq, dan nihlah, merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yang dalam bahasa Indonesianya memiliki arti yang sama yaitu maskawin. Dalam penulisan ini penulis menggunakan kata mahar, karena yang lebih populer di pakai di Indonesia.
Berikut pengertian mahar secara istilah menurut ulama dan ahli hukum Islam Indonesiadiantaranya:
Dalam Madzhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Menurut mazhab Maliki mendefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Menurut mazhab Syafi’i mendefinisikan sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi. Dan menurut mazhab Hambali mendefinisikan sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim.[6]
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab “al-Fiqh ‘ala Madzahibal-arba’ah”, mendefinisikan mahar sebagai berikut: “Shodaq menurut istilah adalah nama bagi harta yang wajibuntuk istri dalam akad nikah menjelang istimta’dengannya, dan dalam wathi’ shubhat atau dalam nikahfasid atau yang lainnya”.[7]
Adapun pengertian mahar menurut Abdul Hamid Muhammad Khumaididalam kitab Fathul Fattah ialah:
ضابط الصداق كل ما صح كونه مبيعا عوضا او معوضا صح كونه صداقا وما لا فلا[8]
Artinya: Sesuatuyang bisa dijual maka bisa di jadikan mahar.
Dalam kitab al YaqutunNafis karangan Sayyid Ahmad bin Umar al-Syatiri menjelaskan:
الصداق لغة ما وجب بنكاح وشرعا ما وجب بنكاح او وطئ او تفويت بضع قهرا[9]
Artinya: “mahar secara bahasa ialah sesuatu yang wajib di berikan sebab pernikahan, adapun secara syara’: sesuatu yang wajib di berikan sebab pernikahan,wathi, ataupun menikmati budhu dengan cara memaksa”.
Dalam kitab fathulQorib karya Muhammad bin Qosim menjelaskan:
وهو بفتح الصاد أفصح من كسرها، مشتقٌ من الصَدق بفتح الصاد، وهو اسم لشديد الصلب؛ وشرعا اسم لمال واجب على الرجل بنكاح أو وطء شبهة أو موت[10]
Menurut al-Malibary, maskawin ialah sesuatu yang menjadi wajib denganadanya pernikahan atau persetubuhan. Sesuatu itu dinamakan “sidaq” karenamemberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu betul-betul senang mengikatpernikahan, yang mana pernikahan itu adalah pangkal terjadinya kewajibanpemberian tersebut, Sidaq dianamakan juga dengan “mahar”.[11]
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, maskawin/mahar adalah hakwanita, karena dengan menerima maskawin, artinya ia suka dan rela dipimpinoleh laki-laki yang baru saja mengawininya. Mempermahal maskawin adalahsuatu hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit hubungan perkawinan diantara sesama manusia.[12]
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa mahar merupakan pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah. Adapun pemberian yang diberikan kepada mempelai perempuan tidak dalam akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapinafaqah.
2. Dasar Hukum Mahar
Kehadiran maharharuslah memiliki landasan hukum. Di mana mahar wajibdiberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuanbaik diberikan secara tunai maupun dihutang pembayarannya. Hal tersebutdidasarkan pada :
1) Al-Qur’an surat an-Nisa’ayat 4
وَآتُواالنِّسَاءَصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةًفَإِنْطِبْنَلَكُمْعَنْشَيْءٍمِنْهُنَفْسًافَكُلُوهُهَنِيئًامَرِيئًا [النساء/4]
Artinya: berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[13]
Dalam ayat diatas dijelaskan pemberian mahar kepada istrisebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika istrisudah menerima mahar tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu iamemberikan sebagian maharnya kepadamu, maka terimalah dengan baik.[14]Ayat ini juga menegaskan bahwa apabila seorang laki-laki inginmenikahi seorang perempuan untuk dijadikan sebagai istri wajib atasnyauntuk memberikan mahar atau maskawin.[15]
Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 diatas diperkuat oleh surat an-Nisa’ayat 24 dan 25 yang bunyinya:
Al-Qur’an Surat an-Nisa’ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُمِنَالنِّسَاءِإِلَّامَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْكِتَابَاللَّهِعَلَيْكُمْوَأُحِلَّلَكُمْمَاوَرَاءَذَلِكُمْأَنْتَبْتَغُوابِأَمْوَالِكُمْمُحْصِنِينَغَيْرَمُسَافِحِينَفَمَااسْتَمْتَعْتُمْبِهِمِنْهُنَّفَآتُوهُنَّأُجُورَهُنَّفَرِيضَةًوَلَاجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَاتَرَاضَيْتُمْبِهِمِنْبَعْدِالْفَرِيضَةِإِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاحَكِيمً [النساء/24]
Artinya:dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[16]
Al-Qur’an Surat an-Nisa’ayat 25
وَمَنْلَمْيَسْتَطِعْمِنْكُمْطَوْلًاأَنْيَنْكِحَالْمُحْصَنَاتِالْمُؤْمِنَاتِفَمِنْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْمِنْفَتَيَاتِكُمُالْمُؤْمِنَاتِوَاللَّهُأَعْلَمُبِإِيمَانِكُمْبَعْضُكُمْمِنْبَعْضٍفَانْكِحُوهُنَّبِإِذْنِأَهْلِهِنَّوَآتُوهُنَّأُجُورَهُنَّبِالْمَعْرُوفِمُحْصَنَاتٍغَيْرَمُسَافِحَاتٍوَلَامُتَّخِذَاتِأَخْدَانٍفَإِذَاأُحْصِنَّفَإِنْأَتَيْنَبِفَاحِشَةٍفَعَلَيْهِنَّنِصْفُمَاعَلَىالْمُحْصَنَاتِمِنَالْعَذَابِذَلِكَلِمَنْخَشِيَالْعَنَتَمِنْكُمْوَأَنْتَصْبِرُواخَيْرٌلَكُمْوَاللَّهُغَفُورٌرَحِيمٌ [النساء/25]
Artinya: dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[17]
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa mahar merupakan hak istri yang wajib dipenuhi, karena sesungguhnya farj(kelamin perempuan) itu tidak boleh dinikmati kecuali dengan mahar yang ditetapkan, baik yang disebutkan dalam akad nikah atau tidak disebutkan, karena mahar bukan sebagai perbandingan dalam merasakan kemanfaatan farji, sebab Allah menjadikan kemanfaatan pernikahan sebagai pemenuhan syahwat dan kelestarian keturunan yang bisa diwujudkan dengan persekutuan suami istri sehingga Allah memerintahkan kepada suami untuk memberikan mahar kepada isterinya.[18]
2) Dalam hadist nabi
Landasan hukum mahar juga terdapat dalam hadits Nabi saw, yang memperkuat kewajiban memberikan mahar kepada calon istri yaitu:
وعن ابن عباسرضي الله عنه قال لما تزوج فاطمة قال له رسول الله اعطها شيئا قال ما عندي شيئ قال اين درعك الخطيمة )رواه ابو داود والنسائ وصححه الحاكم([19]
Artinya: Diceritakan dari Ibnu Abbas beliau berkata: ketika Ibnu Abbas menikahi Fatimah, Rasulullah bersabda; berilah sesuatu untuk mahar, kemudian Ibn Abbas berkata: saya tidak mempunyai sesuatu, kemudian Rasulullah bersabda: dimana baju perangmu? (H.R Abu Dawud, an-Nasa’i)
Hadits ini menunjukan bahwa harus di berikannya mahar kepada istri sebelum dukhul, dan hal ini sudah diketahui dikalangan masyarakat Indonesia, bahwa mahar disebutkan dalam akad baik mahar berupa kontan maupun terutang.
Selain hadist di atas juga terdapat hadist lain yang bisa di buat landasan wajibnya pembayaran mahar, yaitu; Sabda Rasulullah Saw:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنِّي وَهَبْتُ مِنْ نَفْسِي، فَقَامَتْ طَوِيلًا، فَقَالَ رَجُلٌ: زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ، قَالَ: «هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا؟» قَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي، فَقَالَ: «إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِيَّاهُ جَلَسْتَ لاَ إِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا» فَقَالَ: مَا أَجِدُ شَيْئًا، فَقَالَ: «التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ» فَلَمْ يَجِدْ، فَقَالَ: «أَمَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ: «قَدْ زَوَّجْنَاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ»[20]
Artinya: “Abdullah ibnu Yusuf menceritakan kepada kita, Malik memberi kabar kepada kita, dari Hasyim dari sahl ibnu sa’ad, sahl berkata: telah datang seorang perempuan kepada Nabi kemudian perempuan berkata: sungguh saya ingin memberi mahar terhadap diri saya sendiri kemudian ada seorang laki-laki berkata: nikah kanlah saya denga perempuan tersebut, kemudian Rasulullah bersabda: apakah engkau mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan mahar? lak-lali tersebut menjawab: saya tidak memiliki apa-apa kecuuali hanya sarung wahai rasul, Rasulullah bersabda: jika kamu memberikannya kamu akan duduk tidak memekai sarung, maka carilah sesuatu, laki-laki menjawab: saya tidak menemukan apa-apa, Rasulullah bersabda: berikanlah sesuatu walaupun cincin dari besi, laki-laki memilikinya, Rasulullah bersabda: apa kamu mempunyai (hafal) surat dari Al-Qur’an? Iya punya wahai rasul. Dengan surat dari Al-Qur’an jadinkanlah mahar, kemudian Rasulullah bersabda: saya nikahkan kamu dengannya, dengan menggunakan menggunakan hafalan Al-Qur’an”.
Hadist di atas menunjukan bahwa maskawin sangat penting meskipunbukan sebagai rukun nikah, namun hukumnya wajib bagi setiap calon suami memberi maskawin dengan sebatas kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan dalam masalah mahar.
3. Macam-macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa maskawin itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Mahar Mussamma
Mahar Mussamma yaitu maskawin yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya.[21] Para ulama telah sepakat bahwa mahar musamma harus dibayar seluruhnya oleh seorang suami, apabila terjadi salah satu di antara hal-hal berikut ini, yaitu:
2. Salah satu dari suami istri meninggal.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[23]
b. Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar Mitsil yaitu maskawin yang tidak disebut besar kecilnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang di ukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,dengan memperhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
Menurut ulama Hanafiyah, mahar mitsil adalah mahar perempuanyang menyerupai istri pada waktu akad, dimana perempuan ituberasal dari keluarga ayahnya, bukan keluarga ibunya jika ibunyatidak berasal dari keluarga ayahnya, seperti saudara perempuannya,bibinya dari pihak ayah, anak pamannya dari pihak ayah, yang satudaerah dan satu masa dengannya.
Menurut Hanabilah, mahar mitsil adalah mahar yang diukur dariperempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabat, baik daripihak ayah maupun dari pihak ibu, seperti saudara perempuan, bibidari pihak ayah, anak bibi dari pihak ayah, ibu, bibi dari pihak ibudan selain mereka dari kerabat yang ada.[24]
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, mahar mitsil ialah mahar yangdipilih oleh suaminya berdasarkan mahar perempuan-perempuanyang serupa dengan istrinya menurut adat.[25]
Sayyid Sabiq menjelaskan pengertian mahar mitsil sebagaiberikut: mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan yangsama dengan perempuan lain dari segi umur, kecantikan, kekayaan,akal, agama, kegadisan, kejandaan, dan negerinya pada saat akadnikah dilangsungkan. Jika dalam faktor-faktor tersebut berbeda,maka berbeda pula maharnya.[26]
[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, 84.
[2]Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama,
1993, h. 667.
1993, h. 667.
[3]Imam Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamin Ashin’ani, Subul al-Salam Syarh
Bulug al-Maram, Juz III,Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1988, h. 282.
[4]Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khotib as-Syarbini, al-Iqna’, Dar al-Kutub : jakarta 1971’ juz 2 h. 265.
[5]Taqiyudin Abi Bakr bin Muhammad al-Husainy, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, h. 489.
[6]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Damaskus: Darul Fikir, 2007, h. 230.
[7]Abdul Rahman al-Jaziry, Fiqh ‘ala Madzahib al Arba’ah, Beirut: Dar al Kutub alIslamiyyah, t.t., h. 89.
[12]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita, Terj. Anshari Umar Sitanggal, Semarang: CV. Asy Sifa’, 1988, h. 373.
[14]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, alih bahasa Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT AlMa’arif, 1981, h. 54.
[15]Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 183.
[16]Depag RI, Al-Qu’ran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, hlm 120-121
[20]Shahih Bukhori, J.7, h. 17.
[21]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004. h. 136
[22]Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988, h. 224.
[23]Abdul Rahman Ghozali., h. 93.
[26]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, Jilid III, Cet. I, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006, h. 49
0 Response to "Arti sebuah Mahar Pernikahan dalam pandangan islam"
Post a Comment