Konsep Pemimpin dalam Islam (Hakikat, Sejarah,Suksesi Pemimpin dalam Syariat Islam)
KONSEP PEMIMPIN DALAM ISLAM
1. Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual (22-100).
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
2. Kriteria Pemimpin
Adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a. Pemimpin yang mukmin.
b. Tegas dalam menjalankan perintah Tuhan.
c. Takut kepada Allah swt sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d. Tidak menzalimi siapapun.
e. Tidak memerkosa hak-hak orang lain.
f. Menegakkan dan bukan melecehkan hudud Allah swt.
g. Membahagiakan rakyatnya dengan mengharap rida Allah swt.
h. Orang kuat di sisinya menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya yang direbut si kuat.
i. Orang lemah di sisinya menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j. Menampakkan kepatuhan kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k. Semua orang hidup aman dan tenteram.
l. Sangat mencintai manusia, begitu pula sebaliknya.
m. Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah swt dan manusia.
B. Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Islam
Adapun cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1. Niat Yang Tulus
Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4. Berpegang Dan Konsisten Pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.
5. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6. Senantiasa Ada Ketika Diperlukan Rakyat
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
7. Menasihati Rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”
8. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9. Mencari Pemimpin Yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu yang menyuruh kpd kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
10. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
11. Tidak Meragukan Rakyat
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).
12. Terbuka Untuk Menerima Ide & Kritikan
Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan & pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah, beliau menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya berlaku buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh seorang wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran tersebut.
C. Syarat-Syarat Pemimpin Dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol. Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia. Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu:
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu sendiri. Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun spiritual. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah (5 : 461) menyimpulkan : "Mereka sepakat bahwa imam disyaratkan harus Muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, Quraisy, adil, alim, mujtahid, pemberani, memeliki wawasan yang benar, sehat pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan." Ibn Taimiyah, walaupun menolak syarat-syarat klasik ini, karena dianggap tidak realistis, namun beliau menegaskan bahwa keadilan beserta amanah adalah dua kualitas esensial pemerintahan Islam (lihat Qamaruddin Khan, The Political Thoughts of Ibn Taymiyah, Islamabad Islamic Research Institution, 1973). Setelah Rasulullah Saw wafat, yang memegang kendali kepemimpinan politik Islam, bukan lagi tokoh ideal seperti Nabi. Abu Bakar Ra –seperti dinyatakan oleh Umar Ra dalam kitab Al-Hudud, Bab Rajm Al-Hubla, Shahih Bukhari—dipilih tergesa-gesa, tetapi Allah Swt menyelamatkan umat dari kekurangannya. Bahkan Abu Bakar sendiri mengakui bahwa ia bukanlah orang yang paling baik untuk menduduki jabatan khalifah. Ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar Ra berkhutbah : "Sesungguhnya dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku baik bantulah aku. Bila aku salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib menaatiku." (Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam redaksi pada Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari (3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah (16); Ibn Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-Halabiyah (3 : 397); dan Kanz Al-Ummal (3 : 129). Jadi, sebenarnya Abu Bakar dipilih tidak melalui suatu proses ijma', seperti diyakini oleh banyak kalangan. Para mu'arrikh misalnya, menyebutkan sejumlah orang yang berlindung di rumah Fatimah Az-Zahra Ra; 'Abbas, Salman, 'Ammar ibn Yasir, Al-Barra' ibn 'Azib, Sa'ad ibn Abi Waqqash, 'Utbah ibn Abi Labhab, Abu Dzar, Miqdad ibn Al-Aswad, Ubay ibn Ka'ab, Thalhah ibn Ubaidillah, kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar. [Baca : Musnad Ahmad (1 : 155); Al-Thabari (2 : 466); Ibn Al-Atsir (2 : 124); Ibn Katsir (5 : 246); Ibn Abi Al-Hadid (1 : 123); Tarikh Al-Khulafa' (45); Ibn Hisyam (4 : 338); Tarikh Al-Khamis (1 : 188); Ibn 'Ad Rabbih; Tarikh Abi Al-Fida (1 : 156); dan Al-Halabiyah (3 : 394)]. Mereka beranggapan bahwa 'Ali ibn Abi Thalib Kw, berdasarkan nash penunjukan oleh Nabi Saw, berhak untuk menjadi khalifah. Beliau dipandang lebih adil, lebih faqih, dan lebih dekat dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah Fatimah Az-Zahrah Ra wafat, 'Ali berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ra yang kemudian diikuti oleh kelompoknya. Sa'ad ibn 'Ubadah, calon pemimpin dari kalangan Anshar yang tidak terpilih, pun tidak melakukan perlawanan. 'Ali ibn Abi Thalib Kw malah memberikan dukungan intelektual terhadap Abu Bakar dan Umar. Beliau sering membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalah hukum, walau pun ia tidak menduduki jabatan apa pun. Dalam menghadapi kesenjangan, seperti dikatakan Jalaluddin Rahmat; antara das Sollen dan das Sein –yang tidak begitu besar—umat terpecah kepada kelompok pendukung das Sollen dan kelompok pendukung das Sein.
Pada zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok ini –setelah komplik yang juga tidak begitu besar—bergabung mendukung keduanya. Sehingga, seperti dikatakan Maududi, Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan sistim politik yang adil: pemerintahan berdasarkan musyawarah, amanah, kekuasaan hukum, jiwa demokrasi, dan anti ashabiyah. Kualifikasi Pemimpin dalam Pemikiran Islam Sebenarnya, apa sajakah kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam? Adalah Al-Farabi yang memiliki concern mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan ini. Beliau menyebutnya dengan al-ra'is al-awwal li al-madinah al-fadhilah wa ra'is al-mamirah min al-ardh kulliha (Pemimpin Tertinggi Negara Utama dan Pemimpin Oikumene Dunia). Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al-Farabi ialah : "…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang –hatta terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal." Al-Farabi juga menyebutkan : "Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seseorang, dialah sang pemimpin.
Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu bijak (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan lainnya. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dua orang, dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang dihormati." Sementara itu, Syeikh Al-Ra'is ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al-Syifa', Bab "Penentuan Khalifah dan Imam", sebagai berikut : "… Kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Suksesi ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma' para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual, bermoral mulia –seperti berani, terhormat, cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya." "Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat (menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah Swt." Al-Qadhi Abu Ya'la Al-Gharra' dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, menyatakan : "Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1) Berasal dari keturunan Quraisy;
2) Memenuhi sejumlah syarat, seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, akil, balig, berilmu, dan adil;
3) Arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihannya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sifat membela umatnya; dan
4) yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara mereka.
" Al-Mawardi, teoritisi utama politik Islam Sunni memerinci dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, bahwa : "Orang yang layak menyandang kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu :
1) adil dengan keseluruhan persyaratannya;
2) berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketetapan hukum;
3) memiliki kesempurnaan indra seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri;
4) tak memiliki cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera;
5) memiliki kemampuan menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan;
6) berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan Negara dan melawan musuh; dan
7) nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan (konsensus).
" (Lihat Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, 6). Sementara itu, uraian tentang kepemimpinan Islam dalam pandangan Syi'ah bertolak dari konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah konsep luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan (zi'amah), pemerintahan (hukumah) dan riasah 'ammah dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam sesudah Nabi. Menurut Murtadha Muthahhari, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula, dan derivat lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Quran. Sebagai kata kerja disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Al-Quran memandang masalah wilayah. Dalam buku Al-Mukaddimah, Ibn Khaldun menulis tentang kualifikasi pemimpin : "Syarat-syarat jabatan ini ada empat; ilmu, keadilan, kemampuan, dan keselamatan indra dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, tentang keturunan Quraisy, hal ini masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas, karena dia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Hal yang tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan perintahnya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali dia seorang mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…" (Baca : Ibn Khaldun, Muqadimah, 135). Abd Al-Malik Al-Juwaini (Imam Al- Haramain), dalam kitabnya, Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma'atsir Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah (1 : 31), pasal kedua, bab syarat-syarat imamah, dan Ibn Hazm Al-Andalusi, di antara para ulama yang lain, umumnya mengungkapkan kualifikasi-kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.
D. Pokok-Pokok Kepemimpinan Islam
Yamani dalam bukunya Filsafat Politik Islam (2002 : 15-16), mengemukakan pokok-pokok kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas empat dasar falsafi (philosophische grondslagen), antara lain : Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Allah adalah malik an-nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan Ilahiyah. Kedua, Kepemimpinan manusia (qiyadah abasyariyyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ini ialah nubuwwah. Nabi tidak hanya menyampaikan al-qanun al-ilahi dalam bentuk Kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu. Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.' Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwwah dalam memimpin umat. Setelah zaman para nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw., kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang diwariskan oleh Rasulullah dan ahl-al-bait-nya. Setelah zaman para nabi, dating zaman 'para imam.' Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat berikut : Pertama, Faqahah; yakni mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya. Kedua, Istiqamah, Al-Shalah, dan Tadayyun; yakni memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Ketiga, Kafa'ah, yakni memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui ilamu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan rohani. Nah, bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, maka harus dibentuk 'majelis fukaha'. Wallahu 'Alam Bisshawab.
BAB III
SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM
A. Pada Masa Rasulullah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala Negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu (Madinah), maka beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar tersebut antara lain:
1. Pembagunan masjid, selain sebagai tempat ibadah masjid juga digunakan sebagai pusat pemerintahan.
2. Ukhuwah Islamiyah, Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin danAnshar.
3. Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lainyang tidak beragama Islam.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
B. Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Dalam sejarah Islam dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala negara, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan dengan musyawara terbuka, Umar ibn Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan kepala negara terdahulunya, Usman ibn Affan ditetapkan berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali ibn Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan musyawarah dalam pertemuan terbuka.
1. Khalifah Abu Bakar
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sai’dah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam.
2. Khalifah Umar ibn Khattab
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, beliau bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai gantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
3. Usman Ibn Affan
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melaui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
4. Ali ibn Abi Thalib
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun pada pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin pemberotakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
C. Kepemimpinan Bani Umayyah
Memasuki kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperolaeh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan suara pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia member interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
D. Kepemimpinan Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhamad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan oerubahan politik, sosial, dan budaya.
BAB III
ANALISIS SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM
A. Dasar Hukum Pemilihan Pemimpin (Suksesi Kepemipinan)
Berkaitan dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan pemberian. Tetapi al-Qur’an hanya memaktubkan tata nilai. Demikian pula as-Sunnah. Nabi tidak menetapkan peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa Firman Allah dan Sabda Nabi yang berkaitan dengan pembahasan.
1. Dasar al-Qur’an
a. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)
b. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْوَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)
0 Response to "Konsep Pemimpin dalam Islam (Hakikat, Sejarah,Suksesi Pemimpin dalam Syariat Islam)"
Post a Comment