Ranup Aceh (Sirih) Dalam Pandangan Budaya, Adat dan Sejarah



Ranup Aceh
MEMULIAKAN tamu dengan menyuguhkan sirih. Memuliakan sahabat lewat tutur kata yang manis. Dua bait sair Aceh itu menggambarkan tentang makna sirih (ranub) dalam adat istiadat Aceh. Hingga Ranup dikreasikan dalam satu tarian khas Aceh-, Ranub lampuan.
Tari itu sebagai simbol pemuliaan terhadap tamu. Ranup sigapu juga sering kita baca dalam banyak buku yang bermakna sebagai permulaan. Artinya, Ranup menjadi symbol prosesi atau mengawali sebuah kegiatan, Esensi Ranup dalam adat Aceh sebagai sikap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kerukunan hidup yang dilengkapi dalam satu wadah disebut Puan.
Dalam manuskrip adat Aceh, perangkat ranub selalu dipergunakan dalam upacara-upacara kebesaran Sultan. Perayaan hari (raya); pemeriahan arak-arakan raja dari istana sampai Mesjid Baiturrahman. Pedang raja diarak di hadapan Sultan, begitu pula pinggan ranub (puan) dan kantong ranub (bungkus kain).
Setelah bersembahyang di belakang tirai (kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, Sultan pulang naik gajah upacara.
Ranup kemudian menjadi perangka adat Aceh. Mulai acara resmi seperti pra dan pasca melahirkan, prosesi peminangan, pernikahan, hajatan sunat, hingga acara penguburan mayat, dan lainnya, Ranub menjadi salah menu wajib adat untuk dihidangkan.


Ranub juga menjadi media dalam upacara mengantar anak mengaji untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, Ranub telah menjadi  lambang formalitas yang memadukan adat dan budaya dalam interaksi masyarakat Aceh.
Ranup atau disebut piper betle, sejenis tanaman rambat (terna). Daun, batang dan buahnya menjadi obat tradisional ataupun menjadi tumbuhan penyegar. Maka munculnya tradisi makan sirih (ranub). Sebagai ditulis Ibnu Batutah dan Vasco da Gama, masyarakat Timur sejak dulu telah memiliki kebiasaan memakan ranub. Maka dalam setiap suguhan Ranup dalam puan juga diisi pinang, gambir, kapur ranub, cengkeh, tembakau dan disertai pula rampago sebagai alat sebagai pemotongnya. Maka  ranub  yang awalnya bersifat sederhana menjadi lebih kompleks.
Ranub dalam ranah adat dan budaya Aceh memiliki berbagai makna simbol yaitu; simbol kemuliaan (pemulia jamee), penenang dalam menyatukan pendapat dalam suatu musyawarah (sapeu kheun ngon buet), dan penyambung silaturrahmi sesamanya (meu-uroh).
Ranub melambangkan sifat rendah hati dan cinta kasih, Pinang melambangkan baik budi pekertinya dan jujur serta memiliki derajat yang tinggi; Gambir melambangkan keteguhan hati, Kapur melambangkan ketulusan hati, Cengkeh melambangkan keteguhan memegang prinsip, dan Tembakau melambangkan hati yang tabah dan bersedia berkorban dalam segala hal.
Sementara Bate ranup (Puan) yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.
Maka kedepan modifikasi kemasan ranub ini perlu diperhatikan, bagaimana anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya dari pemakan ranub kini menjadi pengkomsumsi narkoba dan produk-produk  luar untuk pencitraan modern, meskipun di tempat asalnya makanan itu sudah dianggap sebagai makanan jalanan atau makanan sampah.


MORINA OCTAVIA, peminat adat Aceh, ibu rumah tangga tinggal di Lampoh Jantong Ds.lampoh Goung Tanjung Selamat Darussalam.
Sumber : Serambi Indonesia

0 Response to "Ranup Aceh (Sirih) Dalam Pandangan Budaya, Adat dan Sejarah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel