UNIVERSITAS MASJID AL AZHAR

UNIVERSITAS MASJID AL AZHAR
(Sejarah berdiri, tujuan, kurikulum, dosen, biaya pendidikan,serta perkembangan hingga saat ini)

oleh:. Dzaatil Husni

PENDAHULUAN
Relevansi antara pendidikan dengan politik bukanlah hal yang baru. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa dalam realitas sejarah pendidikan Islam dapat dilacak hubungan antara pendidikan dengan politik sejak masa pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah tinggi . Kenyataan ini dapat dilihat misalnya pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan al Azhar di Mesir. Memang institusi pendidikan merupakan tempat yang aman untuk melestarikan dan mempertahankan sebuah ideologi atau doktrin kelompok atau penguasa tertentu.

Al Azhar di mata Internasional dikenal sebagai nama sebuah lembaga pendidikan tinggi di Kairo dan juga sebuah masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Terutama untuk masa sekarang ini al Azhar juga dikenal sebagai benteng pertahanan doktrin Sunni. Walaupun pada dua abad sebelumnya merupakan media propaganda ajaran Syi’ah. Apa yang membedakan Al Azhar dari pusat-pusat lainnya mungkin adalah kedudukan Kairo yang menakjubkan secara geografis, sebagai persilangan bagi mereka yang naik haji dari Afrika Utara, tetapi juga bagi banyak cendekiawanbdan mahasiswa. Al Azhar menjadi terkenal bagi orang-orang Maroko yang naik haji .

Pada uraian berikut ini akan dijelaskan –walaupun jauh dari lengkap- perjalanan sejarah al Azhar mulai dari pembangunannya hingga perubahan kurikulum dan sistemasi pendidikan yang tidak terlepas dari ide-ide pembaharuan para pemikir Islam yang memiliki kontribusi langsung terhadap al Azhar.

SEJARAH BERDIRI
Nama al Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fathimiyah menguasai Mesir. Pada tahun 359H/970M khalifah al Mu’izz Lidinillah merintahkan panglima Jauhar al Katib as Saqili agar meletakkan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami’ al Azhar yang selesai pembangunannya pada tahun 361 H/971 M . Nama yang pertama diberikan untuk masjid ini adalah “Jami’ul Qahirah”, dinisbahkan kepada kota tempat masjid ini berdiri. Selanjutnya masjid itu dinamai “al Azhar” yang berarti gemerlapan dinisbahkan kepada Fathimah Az Zahra sebagai nenek moyang dinasti Fathimiyyah. Dikatakan juga bahwa Al Azhar didirikan sebagai monumen untuk memperingati dan menghormati Fathimah selaku leluhur ahlul bayt .

Pada masa penguasaan daulah Fathimiyah ini Jauhar al Katib menginstruksikan untuk tidak menyebut-nyebut bani Abbas dalam setiap khotbah Jum’at dan juga mengharamkan pemakaian jubah hitam serta atribut bani Abbas lainnya. Pakaian yang dipakai untuk shalat Jum’at haruslah berwarna putih. Azan diganti dengan “ Hayya ‘ala khair al amal” dan dalam khotbah Jum’at diucapkan : “Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Nabi Muhammad manusia yang terpilih, kepada Ali manusia yang diridhai, kepada Fathimah dan kepada Hasan dan Husein cucu Rasulullah. Mereka itu disingkirkan Allah dari kotoran dan disucikan. Shalawat atas diri imam-imam yang suci dan atas diri amirul mukminin al Mu’izz Lidinillah.”

Sebagai lembaga keagamaan al Azhar berfungsi sebagai pusat kegiatan al Muhtasib, yaitu jabatan agama yang penting dalam dinasti Fathimiyah. Al muhtasib dalam istilah Athiyah Musthafa Musyarrafah adalah orang yang beramar ma’ruf nahi munkar, yaitu orang yang bertugas menjaga akhlaq dan nilai-nilai keutamaan serta amanat.
Kegiatan belajar, kurikulum, dosen dan pembiayaan.

Semula ide penguasa Fathimiyah untuk mengadakan kegiatan belajar di al Azhar adalah karena kepentingan mazhab . Namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga lembaga pendidikannya berubah menjadi sebuah peguruan tinggi.

Pada tahun 975 M untuk pertama kalinya dimulai kegiatan ilmiah yang sederhana, seperti kuliah-kuliah yang diberikan pada masjid ‘Amr, masjid al Askar, dan masjid Ibnu Tholun di Kairo. Para pejabat negara dan ilmuwan terkenal dicatat untuk dijadikan kelompok pertama penerima pelajaran yang diberikan oleh Abu Hasan Ali bin Muhammad bin an Nu’man al Qairani yang bergelar Qadhi al Qudhdhat (kadi tertinggi) di kerajaan Fathimiyah waktu itu.

Materi pertama yang disajikan adalah mengenai prinsip-prinsip fikih Syi’ah yang terkandung dalam buku al Ikhtisar atau al Iqshar, dan ditulis oleh orang tua Abu Hasan an Nu’man. Pada masa ini yaitu masa pemerintahan al Mu’iz Lidinillah sistem pengajaran terbagi ke dalam empat kelas: kelas pertama: untuk orang-orang yang datang dengan maksud mempelajari Al Qur’an dan penafsirannya, kelas kedua: untuk para mahasiswa yang kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya, kelas ketiga: Daarul Hikam yaitu kelas khusus di mana para muballigh datang memberikan kuliah formal pada hari Senin untuk umum dan hari Kamis untuk mahasiswa pilihan, dan kelas keempat: yaitu kelas untuk para pelajar wanita .

Seri kuliah kedua diberikan oleh Mentri Ya’kub bin Killis yang disebut seri Ibnu Killis. Pada tahun 975 M sistim perkuliahan mulai lebih teratur, Ibnu Killis yang juga wazir dari khalifah al Aziz Billah Abu Mansur Nazar mendatangi khalifah dengan usul agar kuliah diadakan lebih teratur dan lebih kontinu. Selain itu Ia juga berusaha menghimpun sekelompok ulama fikih untuk menghadiri pertemuan ilmiah setiap Jum’at sore setelah shalat Ashar. Jumlah ulama yang berkumpul sebanyak 35 orang, dipimpin oleh al A qabah Abu Ya’kub, seorang kadi al Khandaq. Semua biaya ditanggung oleh pemerintah. Keuangan, makanan bahkan termasuk tempat tinggal khusus disediakan tidak jauh dari masjid.

Kuliah yang diberikan Ibnu Killis ini beraliran Syi’ah. Bidang-bidang yang menjadi pokok bahasan ialah ilmu agama dan bahasa seperti ilmu al Qur’an, hadits, ilmu kalam, ushul fikih, ilmu nahu, ilmu sharaf, sastra dan sejarah. Selain itu juga mulai diajarkan ilmu-ilmu umum yaitu logika, kedokteran, ilmu ukur, ilmu falak, ilmu bumi, musik dan sebagainya. Setiap pelajaran diberikan oleh guru yang ahli dibidangnya. Guru duduk dihadapan para murid membacakan pelajaran kemudian berdiskusi dalam masalah yang diperlukan. Di samping itu juga diajarkan filsafat dan ekonomi sebagai pelajaran tambahan .

Guru-guru yang mengajar antara lain; Abu Hasan An Nu’man: dipandang sebagai ahli dalam fikih ahlulbait, ahli sastra dan penyair. Saudaranya Muhammad bin Nu’man juga anaknya Husein bin Nu’man yang pada kelanjutannya menjadi khalifah dinasti Fathimiyah 996-1021 M. Hasan bin Zaulaq seorang ahli sejarah dan ahli fikih. Al Amir Mukhtar Abdul Malik Muhammad bin Abdul Malik bin Ahmad al Hadani seorang mentri pada masa al Hakim Biamrillah, yang mengarang kitab Akhbar Mishr yang merupakan suatu warisan besar. Kitab ini memaparkan sejarah mesir dengan arca-arca yang terdapat di negeri ini. Buku lainnya adalah buku sejarah sastra dan ilmu falak.

Selain kegiatan belajar kegiatan-kegiatan keagamaan juga dipusatkan di sini. Yaitu acara peringatan Maulid Nabi, hari asysyura dan lainnya. Al Azhar juga berfungsi sebagai tempat sidang khalifah, sidang peradilan, dan pertemuan para kadi pada hari-hari tertentu.

Untuk masalah pembiayaan dinasti Fathimiyah menyediakan wakaf untuk mengelola pelaksanaan pendidikan tingkat tinggi di al Azhar ini. Fathimiyah memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap pendidikan, penguasa sangat memperhatikan pelaksanaan dan berusaha melengkapi fasilitas kegiatan keilmuan. Diantaranya adalah usaha besar al Hakim mendirikan Daar el Hikmah sebagai lembaga penelitian sekaligus perguruan tinggi pada tahun 1005.

Pada masa dinasti Ayyubiah, al Azhar tidak banyak berperan. Disebabkan kerajaan Fathimiyah mempropagandakan ajaran Syi’ah dimana al Azhar sebagai media utamanya sementara dinasti Ayyubiah selaku penguasa saat itu di bawah pimpinan Shalahuddin Al Ayyubi semuanya bermazhab Sunny. Shalahuddin al Ayyubi sengaja menutup dan me-nonaktif-kan fungsi al Azhar untuk mengantisipasi kuatnya paham Syi’ah yang sudah tersebar dan mengakar di Mesir. Bahkan khalifah al Aziz Billah dan al Hakim yang pada masa Fathimiyah memiliki hak untuk menyampaikan ceramah di masjid al Azhar, pada masa Ayyubiah ini dicabut haknya.

Kendatipun begitu pengembangan studi di al Azhar tetap berjalan walaupun lebih banyak bergantung kepada usaha pribadi dan orang-orang yang perduli dengan pengajaran agama. Berbagai pelajar dari negara lainpun berdatangan juga ada kunjungan dan perhatian ulama terkenal. Pada masa pemerintahan putra Shalahuddin; Sultan Aziz Imaduddin Usman (589H/1193H - 594H/1198M) datang beberapa ulama terkenal ke al Azhar : Abdul Latif al Bagdadi datang untuk mengajar ilmu bayan dan ilmu mantik. Syekh as Sahuri. Ibnu al Farid (seorang sufi). Syamsudin Khallikan, mengajarkan sejarah Abu Abdullah al Qudha’i seorang ahli hadits dan sejarah . Ada juga al Hufi seorang ahli bahasa, abu Abdullah Muhammad bin Barakat seorang ahli nahu, dan Hasan bin Khatir al Farisi ahli fikih mazhab Hanafi dan ahli tafsir.
Beralih ke dinasti Mamluk (1250-1517). Al Azhar yang selama hampir satu abad non aktif mulai dibuka kembali. Pembukaan ini atas usulan seorang amir yaitu Izzudin Aismur al Hilli yang bertempat tinggal di sekitar masjid kepada Sultan az Zahir Baybars agar masjid itu difungsikan kembali untuk ummat. Masa ini adalah masa yang sangat sulit penuh kemelut sehubungan dengan penaklukan kota Baghdad oleh tentara Tartar dan pengusiran serta pembantaian umat Islam di Andalusia (Spanyol).

Kehancuran ini justru memberi nafas baru bagi al Azhar, karena para ulama dari Baghdad maupun Spanyol banyak yang menyelamatkan diri ke Mesir dan bernaung di al Azhar. Kegelapan di Baghdad dan Spanyol di sisi lain memberikan cahaya bagi al Azhar. Ulama yang berlindung di sini mulai mengembangkan ilmu mereka dan membuat al Azhar kembali sibuk beraktivitas, seperti diantaranya Ibnu Khaldun yang datang pada 1382 M dan mengajarkan hadits serta fikih Imam Malik.. Pembiayaan proses pendidikan saat ini juga ditanggung oleh penguasa yang secara ikhlas memberikan bantuan dana.
Pada masa dinasti Mamluk ini al Azhar mengalami peningkatan. Dikarenakan penguasa memerintahkan agar berbagai cabang ilmu yang diajarkan itu dibukukan, sehingga banyak ulama yang menuliskan pemikirannya pada masa ini. Untuk setiap buku yang dikarang diharuskan dibubuhi nama amir atau sultan terlebih dahulu. Tehnik penulisan pada masa ini adalah 1. Matan (ringkasan) yang sering dihafal mahasiswa tanpa benar-benar memahami isinya. 2. Syuruh yang menerangkan kandungan matan. 3. Hawasyi (catatan pinggir) yang memiliki makna lebih luas dari syuruh. 4. Taqrir (laporan) berupa komentar atau penjelasan atas masalah tertentu yang terdapat dalam hawasy. Cara penulisan ini juga diterapkan dalam pengajaran dan kondisi pembelajaran seperti ini bertahan sampai masa Usmani. Sistem pengajaran yang dipakai adalah sistim halaqah (kelompok studi dalam bentuk lingkaran dalam masjid). Seperti lazimnya di sekolah Islam pramodern, di al Azhar tidak ada prosedur izin formal, ruang kelas, bangku, jenjeang, fakultas, silabus mata pelajaran atau ujian tulis. Metode pendidikannya banyak menekankan hafalan dan ulasan, sering tentang ikhtisar dan tafsir.

Penaklukan Usmaniyah atas Mesir pada tahun 1517 telah mengalihkan kekuasaan dan patronase ke Istambul. Mulai masa ini al Azhar mengalami pasang surut bahkan nyaris kehilangan pamornya. Banyaknya mahasiswa dan tenaga pengajar yang pergi meninggalkan Kairo dan harta wakaf al Azhar yang banyak dieksploitasi untuk kepentingan penguasa memicu kemunduran Jami’ah ini . Imperium Usmani ini lebih banyak memfokuskan diri kepada kepentingan militer dan kurang memperhatikan pendidikan. Itulah sebabnya tidak ditemukan adanya ulama yang hadir dari dinasti ini. Kendatipun begitu al Azhar masih mampu bertahan dan muncul sebagai tempat ilmu Islam Arab. Al Azhar juga menjadi penghubung vital antara penduduk yang berbahasa Arab dan elit militer berbahasa Turki.

Pada akhir abad ke17, para syaikh masjid memilih ketua (syaikh al Azhar) sendiri. Syaikh al Azhar selain merupakan jabatan akademis juga merupakan kedudukan politik yang berwibawa. Jabatan ini mulai dibentuk sekitar tahun 925H/1517M. semenjak itu syaikh al Azharlah orang pertama yang berhak memberikan penilaian atas reputasi ilmiah bagi tenaga pengajar, mufti, dan hakim. Dia jugalah yang berhak membagikan harta wakaf, hadiah dan sebagainya. Para syaikh yang mayoritas bermazhab Syafi’i memonopoli jabatan itu dari 1725 hingga 1870. Hal ini merupakan otonomi yang besar karena kaum penguasa saat itu bermazhab Hanafi.

Masa kebangkitan dimulai sejak pendudukan Perancis atas Mesir (1798-1801M). Tiga minggu sejak Napoleon Bonaparte mendarat di Alexandria seluruh Mesir telah jatuh ke kekuasaan Perancis. Napoleon datang membawa perubahan, bersamanya ia membawa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat. Di Kairo Ia mendirikan Institut d’Egypte yang mempunyai empat bagian: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi politik, dan sastra seni. Perpustakaan dari lembaga ini besar sekali dan berisi buku-buku bukan hanya berbahasa Eropa, tetapi juga buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab dan Persia. Lembaga ini melakukan penelitian ilmiah dan hasilnya diterbitkan dalam majalah La Decade Egyotinne. Napoleon juga membawa percetakan yang disamping berhuruf latin juga berhuruf arab. Ia juga membawa ahli-ahli tentang ketimuran yang mahir berbahasa Arab.
Napoleon memiliki hubungan yang baik dengan para ulama al Azhar dan lembaganya banyak dikunjungi oleh mahasiswa Mesir. Disinilah pertemuan ulama Islam abad ke19 dengan ilmuwan-ilmuwan dari Barat. Dari sinilah para ulama mulai menyadari bahwa dalam bidang pemikiran dan ilmu alam ternyata Muslim sudah jauh ketinggalan. Tetapi hanya sedikit ulama al Azhar yang berfikir bahwa pemikiran dan ilmu yang ilmiah itu harus dipelajari dan diambil alih .

Setelah ekspedisi Napoleon berakhir, Muhammad Ali seorang perwira Turki mengambil alih kekuasaan. Di tangannya Mesir mengalami perubahan progressif. Ia banyak mengirimkan pelajar untuk belajar di Perancis. Sekelompok pelajar diawasi oleh seorang imam, salah satu diantaranya adalah Rif’ah al Thahthawi seorang ulama al Azhar. Selama di Perancis Iapun dengan biaya sendiri ikut mendalami bahasa perancis untuk kemudian mendalami ilmu pengetahuan Barat. Sekembalinya dari Perancis, Ia pun menanamkan ide-ide pembaruan ke al Azhar.

Salah satu idenya adalah pendidikan universal yaitu pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Ia juga berpendapat bahwa al Azhar perlu memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulumnya agar bisa menyesuaikan interpretasi syari’at dengan kebutuhan dunia modern. Pintu ijtihad baginya tidak tertutup, karena apabila tertutup akan membawa kepada fatalisme, satu sikap yang juga ditentang keras oleh Thahthawi. Al Thahthawi merupakan pemuka Islam pertama yang menghembuskan angin pembaharuan ke al Azhar.

Mengenai sistem pendidikan di al Azhar sendiri, sebelum 1872 ijazah yang diberikan kepada anak didik di al Azhar tidak melalui ujian, tetapi diberikan melalui keputusan pribadi masing-masing guru, berdasarkan sistem pendidikan yang diatur sebagai berikut: 1. Untuk mata kuliah tertentu terdapat seorang guru besar. Mahasiswa berusaha mendampingi guru besar sampai guru itu meninggal dunia dengan tujuan mendapatkan derajat keilmuan yang sama tinggi seperti gurunya. 2. Mahasiswa bisa mendapatkan nilai pada mata kuliah tertentu sedangkan pada maa kuliah lain ditunda. Mahasiswa bisa menjadi guru pada mata kuliah yang telah lulus dan menjadi murid pada mata kuliah lain yang belum lulus. 3. Setiap mahasiswa yang mempunyai kemampuan dalam mata kuliah tertentu diperbolehkan mengajar mata kuliah itu dan apabila ia dapat menghasilkan fatwa sesuai mata kuliah yang diajarkan maka ia akan mendapatkan ijazah. 4. Setiap mahasiswa bebas memilih mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait dengan jadwal kehadiran.

Perubahan mulai terlihat lebih jelas ketika al Azhar dipimpin oleh Syaikh Muhammad Abbasi al Mahdi al Hanafi, rektor ke 21 yang pertama bermazhab Hanafi. Pada bulan Februari 1872 Ia memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al Azhar. Calon ‘alim harus berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 7 atau 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh al Azhar untuk menguji fikih, ushul fikih, tauhid, tafsir, hadits, nahu, sharaf, bayan, mantiq dan bayaan. Kandidat yang berhasil lulus berhak mendapatkan asy syahadah ‘alimiyah atau ijazah kesarjanaan.
Pada tahun 1879 M didirikan perpustakaan untuk membantu memenuhi kebutuhan mahasiswa terhadap buku. Maret 1885 keluar undang-undang mengenai peraturan tenaga pengajar di al Azhar. Seseorang dapat hak mengajar apabila ia telah mengarang buku-buku induk untuk ke dua belas bidang studi diatas.

Usaha pembaruan selanjutnya dilakukan oleh Syekh Mohammad Abduh . Abduh mengajar di al Azhar dan juga di perguruan tinggi Daar Ulum, yang mengembangkan kurikulum modern guna mempersiapkan para fungsionaris untuk birokrasi Negara. Proyek modernismenya bertujuan membebaskan pemikiran religius dari belenggu peniruan buta (taklid) dan membuka jalan bagi reformasi yang akan mengungkapkan kekuatan spiritual Islam secara tepat bagi dunia modern. Abduh melegitimasi program reformasi ini dengan menarik perbedaan seksama antara pesan spiritual esensial Islam dan elaborasinya dalam ketentuan dan hokum sosial. Ia menjelaskan bahwa doktrin fundamental iman kepada Allah, wahyu melalui nabi-nabi yang berakhir dengan Nabi Muhammad, dan tanggung jawab moral dilesarikan oleh para leluhur shaleh (salafus shalih) dan bahwa prinsip ini dapat diabadikan oleh komunitas muslim. Tentu saja, secara ilmiah jika keadaan berubah, formula seperti itu pun dapat diadaptasi dan dimodifikasi untuk kebutuhan baru. Abduh mengarahkan perhatian pada modernisasi kurikulum dan reformasi pengadilan agama. Ia mengeluarkan fatwa progresif tentang membolehkan busana barat, bunga bank dan masalah perceraian .

Maksud kompromi Abduh dengan kekuatan kolonial, dan lebih mendasar dengan proyek westernisasi adalah menegaskan identitas Mesir dan pembebasan melalui reformasi Islam akan tetapi penetrasi barat menenggalamkan usahanya. Ketika Syaikh Muhammad Abduh datang ke al Azhar pertama kali untuk belajar al Azhar berada dalam kondisi kejumudan yang demikian parah. Sangat konservatif, sehingga saking konservatifnya Fazlur Rahmanpun tidak mau melanjutlkan studi ke al Azhar sebaliknya pergi ke Oxford. Fazlur Rahman sangat mengkhawatirkan ketidakkritisan dunia pendidikan al Azhar, sehingga ia mengatakan bahwa al Azhar itu mewakili sosok akhir pemikiran Islam abad pertengahan dengan beberapa modifikasi kecil-kecilan sementara posisi intelektual spiritualnya tetap statis .Pada mulanya usaha ini ditentang oleh ulama konservatif namun akhirnya berhasil dijalankan ketika kepemimpinan al Azhar berada di tangan Syekh an Nawawi yang juga teman dekat Abduh. Berangsur angsur mulai diadakan pengaturan libur yang lebih pendek daripada masa belajar. Uraian pelajaran yang bertele-tele seperti syarah al hawaisy berusaha untuk dihilangkan. Abduh juga memasukkan kurikulum modern seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah ke al Azhar. Abduh sendiri menjadi orang pertama yang mengajarkan etika dan politik di al Azhar Di samping masjid didirikan dewan administrasi al Azhar (idarah al azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas syekh al Azhar.

Bersamaan dengan ini dibangun pula riwaq sebagai sarana tempat tinggal para pelajar dari luar Kairo juga para dosennya. Pembangunan riwaq ini juga didanai oleh wakaf. Dalam setiap riwaq ada syaikh dan tunjangan makan, di riwaq yang besar terdapat perpustakaan. Kamar kecil dan kamar tidur. Pada sekitar 1900 terdapat tiga riwaq untuk pelajar di Mesir Bawah, Fayyum, Mesir Atas dan Mesir Tengah. Ada juga riwaq untuk kaum kurdi, Berber, Jawa, India, Afghanistan, Sudan, Suriah, Yaman, Somalia dan Hijaz.

Sesuai dengan UU No. 1 tahun 1908, jenjang pendidijkan al Azhar dibagi menjadi tiga: pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dengan masa belajar lima tahun masing-masing jenjang. Dibentuk pula Majlis Tinggi al Azhar, organisasi ulama-ulama terkemuka, badan administrasi untuk setiap tingkat pendidikan rendah dan menengah, dana pengaturan kepegawaian.

Selanjutnya melalui UU No 49 tahun 1930, studi di Al Azhar disempurnakan lagi menjadi empat jenjang pendidikan: pendidikan rendah selama 4 tahun, pendidikan menengah selama 5 tahun, pendidikan tinggi selama 4 tahun, dan pendidikan tinggi kejuruan selama 5 tahun. Pendidikan tinggi kejuruan terbagi dua bagian, yaitu pertama kejuruan karier dimana alumninya bergerak di bidang da’wah seprti khatib, imam dan muballig. Sedangkan yang kedua yaitu kejuruan peradilan dimana alumninya bergerak dalam bidang peradilan. Menurut Dodge sebagaimana yang dikutip Mona Abaza bahwa sejak ditetapkannya UU 1930 oleh raja Fuad membentuk al Azhar sebagai universitas sesungguhnya .Fakultas yang ada saat itu adalah fakultas bahasa arab, ushuluddin dan syari’ah. Dari masa ini kata universitas mulai dikenakan kepada al Azhar. Sehingga mulai biasa disebut Jami’ah al Azhar.

Pada masa kepemimpinan syekh Mahmoud Syaltout sebagai rektor al Azhar ke 41 diangkat pada 21 oktober 1958. sebagai rektor universitas Al Azhar ia memiliki peluang besar untuk merealisasi cita-cita dan pemikirannya selama ini tentang al Azhar. Ia memindahkan institut pembacaan al Qur'an ke dalam masjid Al Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah keislaman. Ini mengembalikan fungsi al Azhar pada posisi sebagai pusat kajian al Qur'an bagi seluruh umat Islam secara bebas tanpa terikat jam dan ujian. Ia juga mendirikan kompleks Universitas al Azhar di samping masjid sebagai tempat tinggal pelajar dilengkapi dengan perpustakaan dan ruang belajar.

Selanjutnya ia mengeluarkan UU pembaruan yang disebut UU Revolusi Mesir tahun 1961 yang mengatur tentang organisasi al Azhar. Juga ditetapkan adanya fakultas-fakultas baru seperti fakultas kedokteran, pertanian, tehnik disamping fakultas keagamaan yang sudah lebih dulu ada. Menurut Syaltut, peraturan baru ini bagi universitas Al Azhar adalah pelaksanaan prinsip-prinsip ulama Islam mengenai kemanusiaan dan penciptaan lapangan kerja bagi anak-anak universitas al Azhar dalam berbagai bidang untuk mewujudkan cita-cita kaum muslimin di seluruh dunia terhadap institut mereka yang kuno itu. Senada dengan Abaza, Rifyal Ka’bah berpendapat bahwa UU ini memberi peluang besar terjadinya perpaduan kembali pendidikan agama dengan pendidikan umum sebagaimana dilalui dalam realitas sejarah pendidikan Islam zaman keemasan . Lembaga-lembaga al Azhar juga telah ditetapkan yang terdiri dari Majelis Tinggi al Azhar, Lembaga Riset Islam, Biro Kebudayaan dan Misi Islam, Universitas al Azhar dan Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah.

Selain itu juga ditetapkan tujuan universitas yaitu: 1 Mengemukakan kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan jaminannya terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat. 2 Memberikan perhatian penuh terhadap turas ilmu, pemikiran dan kerohanian bangsa Arab Islam. 3 Menyuplai dunia Islam dan negara-negara Arab dengan ulama-ulama aktif yang beriman, percaya diri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu dalam bidang aqidah, syariat dan bahasa al Qur’an. 4 Mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semau bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan dan menjadi contoh yang baik, serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan yang sanggup aktif dalam hikmat kebijaksanaan dan pelajaran yang baik di dalam maupun di luar Republik Arab Mesir, 5 Meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri.Undang-undang ini juga dianggap sebagai batas pemisah antara al Azhar masa periode khalifah al Muizz Lidinillah dengan al Azhar periode Gamal Abdel Naser.

Pada tahun 1962 al Azhar membuka pintu bagi mahasiswi dengan mendirikan al Azhar Woman’s College yang ditempatkan di gedung-gedung baru dengan jumlah mahasiswi sekitar tiga ribu berdatangan dari berbagai negara Islam. Pada tahun ini perpustakaan al Azhar telah memiliki 7.700 jilid buku sedangkan pada permulaan abad ini sudah mencapai 36.642 jilid buku. 10.932 diantaranya adalah tulisan tangan.

Akan halnya kurikulum, secara substansial kurikulum yang dipelajari sebelum modernisme Islam hampir sama dengan kurikulum di Nizhamiyah dan Haramain. Bahkan menurut Azyumardi Azra pada kurun waktu itu para guru memiliki kecendrungan intelektual yang sama yaitu bertitik tolak pada Islam tradisional . Baru ketika ketertinggalan masyarakat Mesir akan ilmu pengetahuan tersadarkan oleh hadirnya Napoleon dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, kurikulum pendidikan mulai bergeser orientasinya.

Pergeseran orientasi kurikulum pendidikan ini dimulai dengan semangat Hellenisme yang dihembuskan Jamaluddin al Afghani . Pembaharuan bisa dikatakan berawal dari sini. Ketika para cendekiawan muslim menyerap semangat hellenisme yang memberikan porsi besar kepada penggunaan akal, mengutamakan sikap rasional dan cenderung kepada ilmu-ilmu sekuler ke dalam jiwa mereka dan mulai meletakkan tonggak bagi perkembangan ilmu-ilmu umum. Mereka antara lain adalah al Kindi, al Farabi dan Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd . Namun awalnya ide hellenis ini ditolak keras oleh kaum semitis, yaitu para ulama konservatif.

Jamaluddin al Afghani yang menurut Ernest Renan seorang kritikus agama dari Perancis merupakan perpaduan antara Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd , yang juga merupakan guru dari Mohammad Abduh merupakan pejuang modernisme yang gigih. Al Afghani datang ke Kairo beberapa tahun menjelang meninggalnya al Thahthawi dan menyerukan hal yang sama. Baginya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu ijtihad. Pendidikan bersifat universal. Wanita bukan hanya boleh mendapat pendidikan seperti pria tetapi juga boleh bekerja di luar rumah asalkan situasinya cocok untuk itu. Semangat hellenisme itu diturunkan Jamaluddin kepada muridnya yaitu Mohammad Abduh.
Abduh adalah seorang yang bertanggung jawab besar. Ini terlihat dalam upayanya merestorasi al Azhar. Ia berusaha keras sepenuh kemampuannya untuk merubah cara fikir dan stagnasi dunia pendidikan yang jelas-jelas dirasakannya di al Azhar ketika ia belajar di sana. Namun sesuai dengan keyakinan Abduh bahwa “perubahan tak akan disukai” usahanya justru dihalangi oleh penguasa saat itu yaitu Khedive ‘Abbas Hilmi. Pada akhirnya Abduh diangkat menjadi mufti Mesir agar ia tidak bisa menjadi syaikh al Azhar. Kendati begitu apa yang telah dilakukannya ketika mengajar di al Azhar telah memberikan angin segar dan telah mulai merubah siatuasi pendidikan yang semula stagnan. Usahanya tidak terbatas dalam perubahan kurikulum tetapi juga pengaturan administrasi dan sistim pendidikan, yang semuanya itu dilakukan karena Abduh merasa memiliki al Azhar sehingga berkewajiban memajukan al Azhar. Usaha pembaharuan yang dilancarkan Abduh boleh dikatakan berhasil walaupun tidak bisa mengubah al Azhar setaraf universitas Eropa, tetapi Abduh berhasil membuat jumlah mahasiswa yang maju untuk diuji bertambah.

Al Azhar dalam perspektif kontemporer. Banyak yang beralih dari sistem al Azhar ke sekolah negeri pada abad kedua puluh. Pada 1970-1971 hanya 1% siswa sekolah dasar, 2% siswa sekolah menengah, dan 5% mahasiswa al Azhar yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah keagamaan. Seksi da’wah dan bimbingan al Azhar mengirimkan da’i dan penceramah ke seluruh Mesir. Al Azhar mempunyai pers sendiri. Majallah al Azhar berdiri pada 1930 dengan nama asalnya nur al Islam., program Radio Suara al Azhar pada 1959 dan para da’i Azhar kian meramaikan gelombang udara radio dan televisi Mesir.

Sementara di luar Mesir al Azhar dipandang sebagai pejuang Islam Sunni dan bahasa arab. Pelajar lulusan al Azhar dan guru besar al Azhar yang bertugas di luar negeri dibutuhkan untuk membantu mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan di tempat mereka berasal.

Walaupun begitu al Azhar tetap saja konservatif. Al Azhar menjauhi para aktivis Islam, mulai dari al Afghani, sampai Sayyid Quthb dan Hasan al Banna . Kedua pemikir Islam ini adalah alumni Dar el Ulum bukanlah lulusan al Azhar. Dewasa ini pemimpin kelompok-kelompok Islam bukanlah dari komunitas al Azhar. Syaikh-syaikh al Azhar menyebut Islamis radikal sebagai orang Islam yang berpengetahuan dangkal. Dan banyak Islamis radikal menyebut orang-orang al Azhar sebagai ulama resmi, yaitu ulama yang tunduk kepada negara yang membayar mereka.

Azyumardi mengutip Von der Mehden bahwa semenjak penghujung abad ke 20, pengaruh tamatan al Azhar jauh berkurang dari masa-masa sebelumnya. Di mana generasi tamatan al Azhar zaman dulu menempati posisi penting sebagai teknokrat yang ikut serta dalam wacana Islam di dalam negara dan kebanyakan tamatan al Azhar sejak tahun 80an hanya aktif di berbagai pesantren atau sebagai muballigh . Namun begitu setidaknya al Azhar telah berusaha merubah haluan pemikiran pendidikannya. Pada abad ke 20 ini al Azhar sudah mulai memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh sarjana-sarjana ketimuran dalam bidang studi keislaman dan kearaban. Al Azhar mulai memandang perlu mempelajari sistem penelitian yng dilakukan universitas-universitas Barat. Juga mulai mengirim alumninya yang dipandang berkualitas untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuannya adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional.

Sesuatu yang juga tidak boleh dilupakan adalah jasa al Azhar yang secara tidak langsung telah membangun dan menyemarakkan dunia pendidikan Indonesia melalui putra daerah yang belajar di al Azhar dan menerapkan hasil studinya sekembalinya dari al Azhar. Mengutip pendapat Abaza bahwa alumni al Azhar banyak berperan dalam dunia pendidikan Indonesia. Kemunculan sejumlah lembaga pendidikan modernis di beberapa tempat diprakarsai dan dikelola oleh alumni al Azhar. Lembaga pendidikan ini pulalah yang mendorong terjadinya perubahan sistim pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Berikut ini sekilas tentang para azhari yang menyemarakkan dunia penddikan Indonesia.

Hamka, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah seorang ulama dan penulis Islam Indonesia modern paling produktif. Lahis di Desa Sungai Batang Padang Sumatra Barat pada 17 Februari 1908. tahun 1960 terpilih menjadi imam besar masjid Al Azhar tetapi tahun 1964 ditahan dengan tuduhan terlibat percobaan pembunuhan presiden Soekarno. Ditahan selama 20 bulan di bawah tanah, tetapi selama itu pula beliau berhasil menyusun tafsir Al Azhar sebanyak 30 jilid. Setelah Soekarno turun, Hamka kembali menjadi imam masjid Al Azhar dan menerima gelar kehormatan dari Al Azhar Kairo tahun 1958. selanjutnya menerima elar kehormatan juga dari Universitas Kuala Lumpur tahun 1974. Hamka meninggal tahun 1981 .

Raden Fathurrahman adalah orang Jawa yang belajar di Kairo kemudian mendirikan penerbitan berkala Seruan Azhar. Ia menjadi berpengaruh dalam partai Masyumi setelah perang dunia II dan kemudian menjadi menteri agama. Mahmud Junus, seorang mahasiswa Al Azhar lainnya, menjadi Kepala Bagian Agama setelah kemerdekaan dan selanjutnya menjadi Kepala Bagian Pendidikan Islam. Para lulusan timur tengah lainnya pada umumnya memainkan peranan sampai perang dunia II.
Djanan Thaib adalah mahasiswa Indonesia pertama yang mendapat gelar Alamiyya dari Al Azhar pada tahun 1924 dan kemudian menjadi Redaktur Kepala Seruan Azhar serta pengikut aktif Djami'ah Al chairiah. Ia terpilih menjadi utusan dalam Konferensi Islam pertama di Makkah pada tahun 1926, pada waktu pemerintahan Raja Abdul Aziz Ibn Saud. Djanan meninggalkan Kairo tahun 1926, pergi ke Makkah ditunjuk sebagai 'alim untuk mengajar di Masjidil Haram. Di sana ia membangun Sekolah Indonesia, Madrassa Indonesia Al Makkiah yang bertahan selama 40 tahun. Ia menjadi ketua Majlis Syura Indonesia di Makkah.

Mohammad Rasyidi, dilahirkan pada tahun 1915 di Kotagede. Yogyakarta. Tahun 1931 masuk ke Kairo. Pada 1946 ia menjadi menteri agama yang pertama. Anthony John menggolongkan Rasyidi sebagai kelompok intelektual Muslim yang mapan dengan kecendrungan konservatif.

Kahar Muzakkir, dilahirkan tahun 1903 di Kotagede, Yogyakarta. Ia belajar ke Kairo tahun 1925 dan tinggal selama 12 tahun. Ia adalah pemimpin persatuan Internasional Pemuda Muslim dan ikut serta dalam seruan Azhar. Setelah kemerdekaan ia memainkan pernan penting dalam membangun pendidikan tinggi di Indonesia dan merupakan salah seorang pendiri Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta.
Harun Nasution, baginya kairo merupakan pusat kegiatan politik. Ia anggota aktif persatuan mahasiswa Indonesia. Harun Nasutionlah yang membawa model pendidikan Al Azhar untuk dikembangkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Fuad Fachruddin, dilahirkan 18 agustus 1918 di Bukittinggi. Ia masuk ke Nizhamiyah Al Azhar pada usia 12 tahun. Fachrudin lebih konservatif daripada Harun Nasution. Ia memiliki kecurigaan yang besar terhadap ilmu-ilmu Barat. Walaupun ia dan Harun Nasution berasal dari generasi yang sama, tetapi mereka berlainan dalam pandangan ini mungkin dikarenakan Harun Nasution lebih banyak mendapat sentuhan pendidikan Barat.

Jusuf Saad,dilahirkan pada tahun 1919 di Padang,. Datang ke Kairo tahun 1938 pada usia 19 tahun. Awalnya Ia mendaftar di Al Azhar tetapi pada tahun 1940 ia mendaftar di Universitas Kairo karena menurutnya Universitas Kairo lebih modern dan terorganisasi secara lebih baik.

Abdurrahman Wahid, dilahirkan pada tahun 1940. sejak 1964 telah beberapa kali Ia terpilih sebagai ketua Nahdhatul 'Ulama. Pada tahun 1964 dikirim ke Kairo dengan beasiswa pemerintah dan tinggal di sana hingga 1966. Lalu berlanjut belajat ke Baghdad dan Irak sampai tahun 1970. Walaupun Ia tidak pernah selesai studinya di Al Azhar tetapi Ia sangat fasih berbahasa Arab dan mengetahui secara luas kehidupan dan perkembangan pendidikan di Kairo.

Nama-nama di atas tentu hanya sebagian dari begitu banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar di al Azhar. Masih banyak nama-nama lain yang juga memiliki andil dalam mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia, hanya saja karena mereka hanya berscope kecil sehingga tidak begitu tercatat dalam sejarah. Banyak lulusan al Azhar itu yang pulang ke Indonesia dan membangun pesantren dan sebagian besar sistem pengajarannya mengadopsi siem pelajaran almamater mereka yaitu al Azhar.

PENUTUP

Al Azhar telah berhasil menjadi universitas yang memberikan kontribusi demikian besar terhadap dunia pendidikan Islam. Walaupun dalam realitas sejarah perjalanannya banyak diwarnai pasang surut terkadang bersinar terkadang kelam, namun sampai hari ini al Azhar masih bisa mempertahankan eksistensinya sebagai universitas yang sangat mengutamakan pendidikan ilmu-ilmu agama.

Apabila saat ini al Azhar mulai melirik perkembangan pendidikan dunia barat, itu adalah salah satu strategi agar ilmuwan al Azhar tidak menjadi ilmuwan yang terbelakang dalam hal ilmu-ilmu pengetahuan umum. Memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan umum dalam kurikulum adalah bukti kepedulian al Azhar terhadap perkembangan pendidikan dan untuk membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam.

Di sisi lain, al Azhar dikecam tidak lagi menghasilkan scolar yang fasih menguasai bahasa Arab dan mahir membaca serta memahami kitab Alfiyah Ibnu Malik, tuduhan ini dilontarkan oleh kalangan pers . Hal ini disebabkan karena al Azhar menerima mahasiswa yang "cacat" tanpa dirinci apa kecacatan yang disebutkan. Namun di sisi lain tetap saja Al Azhar dianggap sebagai pusat studi Islam yang kualitasnya masih dapat diperhitungkan secara skala internasional.

Pengajaran dan pendidikan ilmu agama yang berlangsung di al Azhar sampai saat ini masih bernuansa konservatif walaupun tidak terlalu kental. Namun begitu tetap saja al Azhar dicap sebagai benteng ortodoksi Sunny –walaupun, sekali lagi- oleh sebagian kalangan..

Wallaahu A’lam bish Shawaab….


DAFTAR PUSTAKA


Abaza, Mona, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi; Studi Kasus Alumni al Azhar. Terj.(Jakarta: Pustaka, 1999)

Arief, Armai Dr, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Bandung: Angkasa, 2005),

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke 2. Hal. 200.

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern –Terj, (Jakarta: Mizan, 2002), Cet. Ke 2

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)

Fadjar, Malik A, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999)

Hasan, Ilyas (pentrj.) Pioneers of Islamic Revival, Terj. (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke 2

Jurnal PERTA, Vol 2

Madjid, Nurcholis , Islam Agama Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 2000), Cet. II

Nasution, Harun, Prof Dr, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998),
------------------------------, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet 12

Nata, Abudin Prof, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)

Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Paris,1999)

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, studi atas pemikiran hukum Fazlur Rahman.(Bandung: Mizan, 1996)

Taufik, Akhmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada),

0 Response to "UNIVERSITAS MASJID AL AZHAR"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel