Hasan Tiro Bak Mata Donja
By Fadhli Espece
Judul diatas diambil dari salah satu karya Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya ditulis Hasan Tiro) yang paling fenemonal yakni Atjeh Bak Mata Donja yang berarti Aceh di Mata Dunia. Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana kiprah dan sepak terjang Hasan Tiro sehingga ia menjadi sosok yang mendapat perhatian bak mata donja (di mata dunia).
Hasan Tiro adalah seorang nasionalis, nasionalis Indonesia tepatnya. Tapi itu dulu, ketika ia masih sabar menanti harapan besar pada republik Indonesia yang masih seumur jagung. Awal dekade 1950-an ia sempat bekerja di kantor perwakilan indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, makin kebelakang ia melihat ketidakberesan dalam struktur pemerintahan pusat apalagi pada saat itu, sekitar tahun 1950-1960-an terjadi goncangan hebat dalam struktur dunia perpolitikan Indonesia. Dalam tahun-tahun tersebut banyak terjadi pemberontakan di berbagai daerah karena ketidakpuasan daerah terhadap elite di Jakarta.
Bisa dikatakan awal eksis Hasan Tiro bak mata donja ketika ia menuangkan kekesalan dan kejengkelannya dalam tiga lembar kertas yang kemudian disurati kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai ultimatum atas tindakan militer Indonesia terhadap gerakan Darul Islam pada tahun 1954 yang dianggapnya sebagai genosida! Akibat ultimatum tersebut Hasan Tiro menjadi buronan di Amerika bahkan sempat mendekam dalam tahanan.
Berselang dua tahun melalui bukunya Demokrasi Untuk Indonesia (1958) Hasan Tiro melakukan kritik terhadap pemerintahan Sukarno dan menawarkan sistem negara federasi sebagai solusi—penyelesaian secara damai—bagi konflik kedaerahan di Indonesia. Namun, lagi-lagi bukannya kompromi, pemerintah malah dengan sombongnya melarang peredaran buku tersebut (Tiro, 1965: 29). Mungkin di situlah terletak jurang besar pemisah antara Hasan Tiro dan Indonesia, Karena pada saat itu ia masih memiliki asa untuk bersama, tapi apa daya gayung tak bersambut, harapan tergantung dan pada akhirnya banting setir dari Indonesia.
Meskipun gerakan pembebasan yang digagasnya dideklarasikan pada akhir tahun 1976 tetapi gagasan-gagasan tentang kemerdekaan telah bergulir, paling tidak sejak tahun 1965. Jika melihat karyanya yang lain, Masa Depan Politik Dunia Melayu, kesimpulan untuk merdeka memang sudah ada. Hal ini terlihat dalam kalimatnya yang terakhir, Kemerdekaan sudah mengetuk dipintu! Marilah kita buka pintu untuk MERDEKA! Jadi, spekulasi pemberontakan Hasan Tiro karena kalah tender proyek PT Arun LNG di Aceh Utara tentu sangat menyedihkan!
Keinginan untuk memerdekakan Aceh semakin jelas terlihat dalam karya fenomenalnya Atjeh Bak Mata Donja (1968). Selama di Amerika ia banyak melakukan penelitian tentang eksistensi Aceh di masa silam.
Maka sungguh tidak heran jika ia memperoleh banyak informasi berupa kumpulan data dan fakta tentang kedaulatan Aceh pra-kolonial-imperialisme Belanda 1873 yang mendukung misi dan gagasannyanya dari sudut pandang politik, sejarah dan hukum.
Gagasan-gagasan besar Hasan Tiro pada dasarnya selalu dilandasi aspek sejarah. Bahkan pemilihan 4 Desember sebagai hari deklarasi kemerdekaan Aceh juga merujuk kepada sejarah. Adalah sebagai bentuk negara sambungan (succesor state) dari kerajaan Aceh yang berakhir pada 3 Desember 1911 karena wafatnya pemangku jabatan terakhir kerajaan Aceh, Teungku Ma’at di Tiro. Setelah deklarasi kemerdekaan Aceh pada tahun 1976, sosok Hasan Tiro semakin mendapat perhatian bak mata donja, khususnya dari pemerintah Indonesia. Keberadaannya menjadi semakin penting, ia ditetapkan sebagai buronan nomor wahid : hidup atau mati!
Situasi seperti ini memaksanya untuk bergerilya di rimba hutan Aceh sampai dengan tahun 1979. Berikutnya ia mencoba untuk berjuang dari luar negeri karena menyadari ada perjuangan lain selain perjuangan angkat senjata yaitu diplomasi. Hasan Tiro sangat menyadari bahwa tidak satupun negara yang memperoleh kemerdekaan hanya dengan cara angkat senjata. Selain dukungan rakyat, diplomasi merupakan unsur terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Di luar negerilah ia mencari dukungan dan menjalin hubungan dengan berbagai negara lainnya sehingga dapat mempropagandakan isu Aceh bak mata donja (baca : dalam forum-forum internasional).
Dengan basis ilmu politik yang cukup dikuasainya, Hasan Tiro mampu meramu fakta sejarah dan teori politik serta peran agama (islam) yang bermain di belakang layar menjadi suatu konsep yang dikenal dengan “Nasionalisme Aceh”. Melalui konsep inilah kemudian Hasan Tiro mengampanyekan isu de-colonization dan self-determination (hak menentukan nasib sendiri) bagi Aceh. Indonesia tentu tidak tinggal diam dalam menghadapi problem ini. Maka dari itu ditetapkanlah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998) dan Darurat Militer (2003-2004).
Kampanye isu de-colonization dan self-determination dalam konsep nasionalisme Aceh mencapai titik klimaks sejak lengsernya Soeharto tahun 1998. Ini terbukti dengan tuntutan referendum oleh jutaan rakyat Aceh yang memadati pusat kota Banda Aceh pada tahun 1999. Aksi tersebut merupakan aksi massa terbesar yang pernah terjadi di bumi Aceh.
Indonesia sudah pasti tidak akan mengabulkan tuntutan tersebut karena resikonya adalah pasti, Aceh merdeka!
Saat itu Aceh akibat pemberontakan Hasan Tiro menjadi perbicangan hangat bak mata donja, isu Aceh sudah menjadi isu internasional. Sampai tahun 2003 berbagai negara dan lembaga internasional telah mencoba untuk memediasi perdamaian dan menyelesaikan konflik panjang ini. Katakanlah seperti Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000 dan upaya penghentian permusuhan pada tahun 2002 yang dikenal dengan perjanjian CoHA—Cession of Hostilities di Geneva, Switzerland yang difasilitasi oleh Henri Dunant Center (HDC). Selain itu juga perundingan Tokyo Joint Council pada tahun 2003. Namun sayangnya upaya-upaya tersebut tidak menemukan titik temu sampai musibah gempa dan tsunami datang menimpa Aceh pada akhir 2004 yang mendesak dua kubu yang bertikai untuk bersepakat sehingga perdamaian dapat terlaksana pada agustus 2005 yang dimedisi oleh Crisis Management Initiative (CMI).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa peran Hasan Tiro dalam abad 21 tidak lagi dominan, karena sebelumnya ia pernah dua kali diserang stroke sehingga tampuk kepemimpinan dalam GAM lebih didominasi oleh orang di sekelilingnya. Tapi Hasan Tiro tetap menjadi magnet besar dalam gerakan tersebut hanya saja teknis-teknis lapangan lebih dikuasai oleh pembesar GAM lainnya.
Magnet besar Hasan Tiro adalah saat masyarakat berbisik-bisik tentangnya, mendiskusikan pemikirannya padahal orang yang dibicarakan tidak pernah dilihat sekalipun, kecuali melalui album foto. Maka gagap gempita rakyat Aceh ketika menyambut kepulangan pertama Hasan Tiro sejak pengasingannya ke Eropa adalah suatu hal yang lazim.
Bahkan sekarang, 91 tahun sejak kelahirannya di tahun 1925 Hasan Tiro tetap saja menarik untuk dibicarakan. Lihat saja di sekeliling, 6 tahun sudah Hasan Tiro mendahului kita menuju dimensi alam yang berbeda. Namun, ia tetap hidup dengan pemikiran-pemikirannya. Ia hidup dalam jiwa pengikut dan pengingkarnya, sehingga menjadi pusat perhatian sejak dari Aceh sampai bak mata donja!
Judul diatas diambil dari salah satu karya Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya ditulis Hasan Tiro) yang paling fenemonal yakni Atjeh Bak Mata Donja yang berarti Aceh di Mata Dunia. Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana kiprah dan sepak terjang Hasan Tiro sehingga ia menjadi sosok yang mendapat perhatian bak mata donja (di mata dunia).
Hasan Tiro adalah seorang nasionalis, nasionalis Indonesia tepatnya. Tapi itu dulu, ketika ia masih sabar menanti harapan besar pada republik Indonesia yang masih seumur jagung. Awal dekade 1950-an ia sempat bekerja di kantor perwakilan indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, makin kebelakang ia melihat ketidakberesan dalam struktur pemerintahan pusat apalagi pada saat itu, sekitar tahun 1950-1960-an terjadi goncangan hebat dalam struktur dunia perpolitikan Indonesia. Dalam tahun-tahun tersebut banyak terjadi pemberontakan di berbagai daerah karena ketidakpuasan daerah terhadap elite di Jakarta.
Bisa dikatakan awal eksis Hasan Tiro bak mata donja ketika ia menuangkan kekesalan dan kejengkelannya dalam tiga lembar kertas yang kemudian disurati kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sebagai ultimatum atas tindakan militer Indonesia terhadap gerakan Darul Islam pada tahun 1954 yang dianggapnya sebagai genosida! Akibat ultimatum tersebut Hasan Tiro menjadi buronan di Amerika bahkan sempat mendekam dalam tahanan.
Berselang dua tahun melalui bukunya Demokrasi Untuk Indonesia (1958) Hasan Tiro melakukan kritik terhadap pemerintahan Sukarno dan menawarkan sistem negara federasi sebagai solusi—penyelesaian secara damai—bagi konflik kedaerahan di Indonesia. Namun, lagi-lagi bukannya kompromi, pemerintah malah dengan sombongnya melarang peredaran buku tersebut (Tiro, 1965: 29). Mungkin di situlah terletak jurang besar pemisah antara Hasan Tiro dan Indonesia, Karena pada saat itu ia masih memiliki asa untuk bersama, tapi apa daya gayung tak bersambut, harapan tergantung dan pada akhirnya banting setir dari Indonesia.
Meskipun gerakan pembebasan yang digagasnya dideklarasikan pada akhir tahun 1976 tetapi gagasan-gagasan tentang kemerdekaan telah bergulir, paling tidak sejak tahun 1965. Jika melihat karyanya yang lain, Masa Depan Politik Dunia Melayu, kesimpulan untuk merdeka memang sudah ada. Hal ini terlihat dalam kalimatnya yang terakhir, Kemerdekaan sudah mengetuk dipintu! Marilah kita buka pintu untuk MERDEKA! Jadi, spekulasi pemberontakan Hasan Tiro karena kalah tender proyek PT Arun LNG di Aceh Utara tentu sangat menyedihkan!
Keinginan untuk memerdekakan Aceh semakin jelas terlihat dalam karya fenomenalnya Atjeh Bak Mata Donja (1968). Selama di Amerika ia banyak melakukan penelitian tentang eksistensi Aceh di masa silam.
Maka sungguh tidak heran jika ia memperoleh banyak informasi berupa kumpulan data dan fakta tentang kedaulatan Aceh pra-kolonial-imperialisme Belanda 1873 yang mendukung misi dan gagasannyanya dari sudut pandang politik, sejarah dan hukum.
Gagasan-gagasan besar Hasan Tiro pada dasarnya selalu dilandasi aspek sejarah. Bahkan pemilihan 4 Desember sebagai hari deklarasi kemerdekaan Aceh juga merujuk kepada sejarah. Adalah sebagai bentuk negara sambungan (succesor state) dari kerajaan Aceh yang berakhir pada 3 Desember 1911 karena wafatnya pemangku jabatan terakhir kerajaan Aceh, Teungku Ma’at di Tiro. Setelah deklarasi kemerdekaan Aceh pada tahun 1976, sosok Hasan Tiro semakin mendapat perhatian bak mata donja, khususnya dari pemerintah Indonesia. Keberadaannya menjadi semakin penting, ia ditetapkan sebagai buronan nomor wahid : hidup atau mati!
Situasi seperti ini memaksanya untuk bergerilya di rimba hutan Aceh sampai dengan tahun 1979. Berikutnya ia mencoba untuk berjuang dari luar negeri karena menyadari ada perjuangan lain selain perjuangan angkat senjata yaitu diplomasi. Hasan Tiro sangat menyadari bahwa tidak satupun negara yang memperoleh kemerdekaan hanya dengan cara angkat senjata. Selain dukungan rakyat, diplomasi merupakan unsur terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Di luar negerilah ia mencari dukungan dan menjalin hubungan dengan berbagai negara lainnya sehingga dapat mempropagandakan isu Aceh bak mata donja (baca : dalam forum-forum internasional).
Dengan basis ilmu politik yang cukup dikuasainya, Hasan Tiro mampu meramu fakta sejarah dan teori politik serta peran agama (islam) yang bermain di belakang layar menjadi suatu konsep yang dikenal dengan “Nasionalisme Aceh”. Melalui konsep inilah kemudian Hasan Tiro mengampanyekan isu de-colonization dan self-determination (hak menentukan nasib sendiri) bagi Aceh. Indonesia tentu tidak tinggal diam dalam menghadapi problem ini. Maka dari itu ditetapkanlah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998) dan Darurat Militer (2003-2004).
Kampanye isu de-colonization dan self-determination dalam konsep nasionalisme Aceh mencapai titik klimaks sejak lengsernya Soeharto tahun 1998. Ini terbukti dengan tuntutan referendum oleh jutaan rakyat Aceh yang memadati pusat kota Banda Aceh pada tahun 1999. Aksi tersebut merupakan aksi massa terbesar yang pernah terjadi di bumi Aceh.
Indonesia sudah pasti tidak akan mengabulkan tuntutan tersebut karena resikonya adalah pasti, Aceh merdeka!
Saat itu Aceh akibat pemberontakan Hasan Tiro menjadi perbicangan hangat bak mata donja, isu Aceh sudah menjadi isu internasional. Sampai tahun 2003 berbagai negara dan lembaga internasional telah mencoba untuk memediasi perdamaian dan menyelesaikan konflik panjang ini. Katakanlah seperti Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000 dan upaya penghentian permusuhan pada tahun 2002 yang dikenal dengan perjanjian CoHA—Cession of Hostilities di Geneva, Switzerland yang difasilitasi oleh Henri Dunant Center (HDC). Selain itu juga perundingan Tokyo Joint Council pada tahun 2003. Namun sayangnya upaya-upaya tersebut tidak menemukan titik temu sampai musibah gempa dan tsunami datang menimpa Aceh pada akhir 2004 yang mendesak dua kubu yang bertikai untuk bersepakat sehingga perdamaian dapat terlaksana pada agustus 2005 yang dimedisi oleh Crisis Management Initiative (CMI).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa peran Hasan Tiro dalam abad 21 tidak lagi dominan, karena sebelumnya ia pernah dua kali diserang stroke sehingga tampuk kepemimpinan dalam GAM lebih didominasi oleh orang di sekelilingnya. Tapi Hasan Tiro tetap menjadi magnet besar dalam gerakan tersebut hanya saja teknis-teknis lapangan lebih dikuasai oleh pembesar GAM lainnya.
Magnet besar Hasan Tiro adalah saat masyarakat berbisik-bisik tentangnya, mendiskusikan pemikirannya padahal orang yang dibicarakan tidak pernah dilihat sekalipun, kecuali melalui album foto. Maka gagap gempita rakyat Aceh ketika menyambut kepulangan pertama Hasan Tiro sejak pengasingannya ke Eropa adalah suatu hal yang lazim.
Bahkan sekarang, 91 tahun sejak kelahirannya di tahun 1925 Hasan Tiro tetap saja menarik untuk dibicarakan. Lihat saja di sekeliling, 6 tahun sudah Hasan Tiro mendahului kita menuju dimensi alam yang berbeda. Namun, ia tetap hidup dengan pemikiran-pemikirannya. Ia hidup dalam jiwa pengikut dan pengingkarnya, sehingga menjadi pusat perhatian sejak dari Aceh sampai bak mata donja!
0 Response to "Hasan Tiro Bak Mata Donja"
Post a Comment