Merangkul Emosi Diri: Ubah Perspektif Dari Lawan Menjadi 'Kawan'



Teriaklah dalam air, tenggelamkan bila memang harus. Namun, jangan sampai terteguk kembali, jika tidak ingin kau tinggalkan karat.
Sebuah kutipan di atas menarik perhatian saya ke beberapa tahun lalu sejak kali pertama menuliskannya. Sepertinya saat itu saya lagi sering dirundung sedih.

Kesedihan identik dengan hal yang tidak menyenangkan, juga termasuk dari cakupan emosi negatif. Semacam kecewa, marah, takut, frustasi, itu pun masih menjadi bagiannya.

Ritmenya berawal dengan respons diri saat mengulang ingatan dari peristiwa yang terjadi, sehingga memunculkan suasana hati yang buruk hingga menimbulkan stress. Hati-hati gengs, jangan sampai hal semacam itu menyerap habis energi positifmu.

Dalam psikologi, emosi negatif yang terus berulang dalam pikiran, namanya Ruminasi. “Menyadari” kalau kita sedang terjebak dalam pengaruh pikiran buruk adalah langkah awal tepat saat menghadapi emosi negatif yang muncul.

Dari segala kejadian yang meliputi diri kala itu, terhentilah saya pada sebuah titik refleksi yang tercermin melalui kalimat “magic” di atas. Adakah yang bisa memaknainya?

“Kamu boleh, bahkan harus meluapkan emosi diri, tapi jangan sampai larut dibuatnya bahkan hingga dikontrol olehnya. Jika terjadi, maka kamu bisa semakin menyakiti diri, bahkan orang-orang di sekitarmu.”

Cara Mengungkap Emosi
Saat emosi negatif menyapa, tentu energi yang tertangkap sedikit banyak bisa berdampak merugikan. Gimana pun caranya, kamu akan berusaha membuangnya jauh-jauh, layaknya jatuh bangun dalam usahamu membuang pacar mantan. #yhaaa..

Oh, iya, hal apa aja sih, yang biasanya kamu lakukan saat emosi? Ternyata, setiap emosi yang dirasakan perlu diluapkan lho, gengs, biar enggak jadi racun dalam diri kita.

Misalnya, dalam keseharian, kita merasakan jenuh dengan rutinitas dan pekerjaan di kantor yang menumpuk, penat dengan situasi harian ibu kota yang selalu menyuguhkan kemacetan, sehingga jam pulang menjadi lebih malam, atau bagi yang masih bersekolah mungkin sempat stress setelah seminggu penuh menjalani ulangan harian, dan belum lagi sejumlah laporan presentasi yang harus dikumpulkan.

Nah, saat merasakan jenuh, stress, atau mengeluh sebab hal-hal yang terlalu membebani tersebut, rupanya ada alternatif hiburan yang kita pilih, misalnya semacam niat ngabisin duit buat kulineran ya, kan; soto mie, mie ayam, bakso, dimsum, kebab, eskrim (nah, kan, bikin ngeces tengah bolong aja), atau bisa juga jalan-jalan ke tempat wisata alam sambil ngegandeng kesayangan *eh.

Melalui pijarpsikologi.org (22/12), saya menemukan sebuah definisi terkait emosi. Kita bisa sebut dengan istilah Kartasis: kegiatan mengungkapkan atau mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan, agar diri merasa lebih “lega”.

Sebagai sarana melepas ketegangan atau kecemasan, kartasis bisa kita lakukan dengan berbagai cara, seperti jalan-jalan, menulis, mewarnai, menulis puisi, olahraga, berteriak, atau dengan cara yang impulsif (pen-tindakan tanpa memikirkan konsekuensi a.k.a malas berpikir panjang).

Kurang lebihnya, kartasis bisa kita lakukan lewat cara-cara sederhana yang pastinya bikin emosi negatif kita terluapkan. Saya rasa, saya pernah melakukan salah satu cara absurdnya yaitu dengan “berteriak”. Iya, betul, teriak berulang kali dengan suara lantang seolah sedang melepaskan beban berat.

Berteriak dengan frekuensi lebih dari satu kali, sibuk bertanya dalam hati, saya lakukan ketika diri merasa tertekan, terpikir karena suatu hal yang harus saya kerjakan, tapi ragu atau bahkan enggak paham dalam penyelesainnya.

Sekadar saran, jangan lakukan ini di pinggir jalan ya, gengs, wkwk. Kalau mengikuti imaji saya, hawanya lebih pengin teriak di atas bukit dan di antara dinding langit yang luas. Faktanya, saya kayak orang bener, sibuk tereakan dalam rumah.

Cara sederhana lainnya, kita bisa mengajak diri atau teman, agar mau bercerita atau juga dengan membuat suasana sekitar lebih aman dan nyaman. Bercerita ini enggak melulu harus cerita kepada teman atau orang lain (ingat ada batas privasi yang perlu dijaga), kamu bisa kok bercerita dalam bentuk tulisan, selain melegakan, bonusnya sebagai "time traveler" kita punya catatan sebagai bahan pembanding atau evaluasi diri di masa mendatang.


Poinnya, setiap orang tentu dapat melakukan Kartasis dengan cara berbeda sesuai kebutuhan, enggak terbatas secara verbal atau pun tulisan aja. Kamu bebas menuangkan isi hati maupun pikiran, sesuai emosi diri yang sedang dirasakan.


Namun, ada juga Kartasis buruk yang dihasilkan bukan melegakan emosi, melainkan sekadar bentuk pengalihan semata. Itu kenapa yang ada malah menimbulkan stress berkepanjangan atau bisa juga bikin depresi.

Bisa dikatakan buruk jika dilakukannya berlebihan. Seperti mengurung diri dalam kamar seharian, mengumpat dan berkata kasar melalui media sosial, atau kalap saat berbelanja, padahal barang yang dibeli sedang tidak kamu butuhkan. Beban emosinya enggak selesai, kamu hanya merasakan "lega" dan "senang" yang sesaat.


Menjadikan Emosi Negatif Sebagai "Teman"
Benar, sih, kalau emosi negatif itu mesti dimusuhi, kudu dilawan. 5 poin berikut telah saya sederhanakan, biar bisa mengambil pendekatan positif dari emosi negatif yang terjadi. Simak, yuk, gengs!

1. Menyadari saat ‘terjebak’ dalam lingkaran setan
Kuncinya, harus bisa sadar dulu kalau keadaanmu saat itu enggak baik-baik aja. Jangan cuek, apalagi berpura-pura seolah enggak terjadi sesuatu apa pun. Suka nggak suka, kamu harus bisa mengenalinya, meski katamu dia adalah musuh yang nggak ingin kamu sapa lebih dulu.

2. Melabeli perasaan yang hadir
“Hari ini campur aduk banget, ya kesel, sedih, bikin marah, tapi rasanya kok, sedih juga….” Pernah enggak gengs, kamu ngerasain kayak gitu? Sampai bingung, enggak tau apa yang dirasa, pokoknya bikin hati jadi galau ~~

Nah, dalam kasus seperti itu, melabeli emosi justru memudahkan kita buat membedakan diri dengan emosi yang muncul. Seperti, “aku kesal karena…” atau “aku sedih, soalnya…” Buat semacam jarak biar pikiranmu lebih objektif dalam menilai dan menghubungkan situasi kondisi yang terjadi.

3. Menerima rasa tidak nyaman
Menurut sebuah kutipan yang pernah saya temukan, “Life isn’t about waiting for the storm to pass, it’s about learning to dance in the rain.” Enggak cuman sekadar dilalui, apalagi kalau sampai dihindari. Perasaan enggak nyaman itu perlu kamu terima tanpa bentuk perlawanan diri. Meski awalnya terasa sulit, tapi menerima emosi negatif yang ada, bisa jadi upayamu buat berdamai dengan diri serta turut memberikan energi positif pada sekitar.

4. Memaknai emosi negatif yang ada
Seperti yang saya lakukan di awal. Saya mencoba berhenti melawan atas energi buruk yang menimpa. Saya mencoba menerima dan sedikit memberi jeda, agar saya lebih paham, bagaimana harus menyikapinya.

Sering-sering merefleksi diri, berkontemplasi atau buat perenungan, kalau aja setiap kejadian yang dihadapi kelak membawa pelajaran tersendiri. Menerima menjadi celah, untuk lebih ‘kaya’ memaknai hidup yang dijalani. 

5. “Badai pasti berlalu” dalam sepenggal lirik lagu
Sebaiknya, kamu enggak membiarkan dirimu larut dalam emosi negatif yang ada. Bukankah setiap keadaan telah dibagikan sesuai porsinya? Bukankah setiap tantangan pun telah diberikan, sesuai batas kemampuan umat?

Setiap emosi, hadir sebagai respons kita terhadap sesuatu hal yang terjadi. Baik positif maupun negatif, tetap penting gengs, karena dari sanalah kekuatan mental diri akan diuji. Jika semakin terpuruk, justru harus bisa lebih banyak bangkitnya.

“Seorang pelaut ulung tidak terlahir dari ombak yang tenang.” Begitupun, sesuatu hal besar tidak disiapkan bagi kamu yang enggan belajar, mempersiapkan diri, dan berlatih untuk sebaik-baiknya menjalani kehidupan.
                                
So, mengakui, melabeli, memaknai, dan menerima perasaan tidak menyenangkan itu justru akan semakin mendewasakan diri, kelak untuk menghadapi  jatah kehidupan yang jauh lebih besar di depan sana.

0 Response to "Merangkul Emosi Diri: Ubah Perspektif Dari Lawan Menjadi 'Kawan'"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel