Perkara Centang Biru di WhatsApp, Kamu Termasuk Tim yang Mana, Nih?

Sumber Gambar: Pixabay.com
Kita hanya bisa mengatur isi kepala kita dengan tujuan berdamai dengan diri sendiri, dan tentunya untuk orang lain. Aturlah media sosial senyaman mungkin. Jangan lupa, ada ruang privasi yang mana pemilik wewenangnya cuma kamu. Betapa menjadi berharganya, dirimu dan privasimu.
Polemik Si "Centang Biru"
Belakangan waktu, saya menemukan sebuah postingan yang memperkarakan soal baik atau tidaknya “centang biru” di WhatsApp. Kemudian saya cukup menanggapi dengan biasa saja. Bahkan sebelum dengar itu pun, saya sudah sempat membahasnya di WA-gram.

Bagi saya, menonaktifkan centang biru menjadi pilihan yang membuat saya nyaman dalam bermedia sosial, pun sama halnya dengan memutuskan posting cerita “close friend”. Tentu saya merasa nyaman bukan untuk berlindung “cari aman”.

Saya merasa ada yang salah, ketika diri dipenuhi dengan semisal pertanyaan, “kok pesan saya enggak dibalas-balas? Apa ada yang salah?”, “lama banget balasnya, orang ini enggak seneng dichat?”, atau paling sering, “centang birunya kok lama banget, ya? Udah dibaca apa belum, sih?” dan sederet pertanyaan lain yang bikin kita jadi berasumsi.

Saya mencoba menanyakan hal serupa, apakah teman-teman di sekitar saya punya permasalahan yang sama?

Mereka jawab  “iya”. Kurang lebihnya, mereka mengatakan cenderung enggak tenang kalau pesan yang dikirim enggak kunjung centang biru, terlebih pesannya belum dibalas juga. Apalagi kalau keadaan mendesak, ada hal penting, situasi genting, dan kangen? *apa termasuk juga yang terakhir? Ehehe.

Padahal satu di antaranya juga bilang, kalau sesekali teman saya itu juga penganut “nonaktifkan centang biru”. Sebab biasanya yang jadi tujuan adalah pengin menghindari orang tertentu yang dianggap mengganggu (siapa? mantan? pedekatean? atau teman yang nagih hutang? wkwk).

Poinnya, mereka kesal sih, sama yang menonaktifkan centang biru, tapi bukan sama sekali enggak setuju. Bahkan, salah satu teman bilang, kalau orang yang chat nonaktifkan centang birunya, itu jadi keuntungan juga buat dia. Alasannya mereka enggak perlu repot-repot menyempatkan balas pesan itu cepat, atau (kalau) aja ada niatan buat enggak balas sama sekali. Toh, orangnya juga enggak bakal tau udah dibaca atau belum (tapi menurut saya bagaimana pun orang itu pasti menunggu jawaban wkwkw, kalau memang enggak pedulian, mungkin bisa jadi sampai dia lupa dengan sendirinya.

Jadi Penganut "Nonaktifkan Centang Biru"?
Berbeda dari beberapa teman saya yang tidak disebutkan namanya. Awal Agustus tahun lalu, saya mulai memutuskan buat jadi penganut “nonaktifkan centang biru” di WA.

Jujur aja, sebenarnya saya juga sama, cukup greget sama orang-orang model kayak gitu. Namun, saya paham, pasti mereka punya alasan sendiri. Begitu juga dengan yang saya lakukan, meski terasa menyebalkan (mungkin) bagi yang terbiasa mengaktifkan centang birunya di WA.

“Terus, kok kamu ikut-ikutan?”

Pada akhirnya saya memutuskan buat menonaktifkan semua fitur yang berkaitan dengan batas privasi demi kenyamanan pribadi. Bebas buat ngshare, sekadar ngecek, atau pun ketika update. Saya hanya ingin jujur, ketika enggak nyaman, ya, katakan, hal itu tidak membuat diri saya nyaman.

Enggak ada si centang dua biru yang bikin overthinking kalau aja orang yang saya chat lama balasnya atau bahkan enggak balas sama sekali. Enggak ada last seen yang bikin trigger buat tau kapan terakhir orang itu online (berlaku dari sisi saya sebagai pengguna, maupun orang lain yang jadi teman saya di WA).

Dan pastinya, saya jadi enggak harus kepo ngecek siapa aja orang yang udah lihat status enggak penting, penting, atau bahkan hal remeh-temeh yang udah saya share. Sampai akhirnya kepikir, kapan IG merealisasikan wacana menghapus fitur Love biar enggak terlihat lagi? hoho.

Saya hanya berusaha jujur ke diri sendiri, kalau saya mulai terganggu dengan fitur last seen dan centang biru di WA, begitupun dengan di Instagram, saya menonaktifkan semua fitur yang bisa diakses sesama teman atau pengikut di IG, contohnya seperti mengecek last seen sedang aktif atau tidak, bisa lihat Storygram atau tidak, bisa komentar story atau postingan atau tidak. Semua itu saya atur, karena saya ingin punya “Batasan” dalam bersosial media. Dan sejalan juga dengan media sosial itu yang sudah banyak memberikan pilihan kepada para penggunanya, seberapa perlu kita membatasi soal privasi ini.


Saya ekstrovert, tapi saya mengenali diri saya, kalau saya tidak merasa nyaman ketika semua mata bisa mengakses data apa pun yang ada di halaman profil saya. Saya mencoba mendobrak aturan yang ada, saya tetap pengguna, tapi lingkarannya saja saya batasi. Bahkan, sebelum saya ikutan #30haribercerita, saya kunci akunnya, saya hanya berteman dengan orang yang saya kenal, biarpun beberapa lain masih nyangkut, karena mungkin pernah kenal dari suatu organisasi.

Namun, kemudian akunnya saya buka setelah ikut #30haribercerita itu, karena saya lagi-lagi pengin melakukan hal yang enggak biasa saya lakukan. Dan positifnya, semoga aja kebaikan yang saya tulis bisa menebar lebih luas, semoga aja masih ada secuil nilai dan bisa menghibur bagi yang mau menyempatkan baca.

Simpelnya, saya ingin mengatur kebahagiaan buat diri sendiri, tanpa mengandalkan media sosial yang justru akan mengendalikan. Meski, saya juga main media sosial sama-sama mencari dopamin, tujuan bersenang-senang tetap ada, biar bagaimanapun itu masuk dalam hiburan saya kalau lagi pengin rebahan, haha. Hanya saja, yang saya lakukan berbeda cara.

Centang Biru Jadi Tolak Ukur Menghargai Orang Lain?

Ini terbukti buat saya pribadi. Adanya centang biru, justru memberikan batasan kepada saya "enggak leluasa", bermula dari asumi serta pikiran negatif yang kerap hinggap di kepala. Bikin nyusahin diri sendiri aja rasanya. Padahal lebih menyakitkan lagi, kalau pesannya centang biru, tapi kita milih membiarkan pesan itu menunggu. Apa enggak lebih jleb, tuh?

Memang ini menyebalkan, bagi sebagian orang. Seperti yang sudah saya bilang, bukan berlindung “cari aman”, maka saya tetap harus bilang ke teman di WhatsApp kalau saya belum bisa balas pesannya, dan saya enggak bisa sekadar balas sekenanya, ada beberapa chat yang sebelum saya jawab, harus benar-benar dibaca dan dipikirkan dulu kata-katanya. Dengan harapan, semoga orang di sebrang sana mengerti dan memaklumi.

Saya akan selalu menyempatkan balas pesan yang masuk kok, kalau sekadar lagi rebahan. Jika sedang di luar atau di perjalanan mungkin saya tunda dulu. Karena saya juga tipe yang enggak betah lihat chat atau email yang numpuk nunggu dibalas. Biarpun, saya juga masih suka enggak simpan nomor hape orang lain yang sekiranya jarang berinteraksi, dan enggak kenal dekat di dunia nyata, hehe belum masuk kategori cuek akut, lah, ya.

Eh, tapi pernah juga, keuntungan lain nonaktifkan centang biru, saya jadi bisa menghindar dari teman lawan jenis yang enggak saya suka, wkwk. Pesannya sih, tetap saya balas, sekadarnya aja, lagian yang kirim pesan juga cuma basa-basi haha.

Apalagi yang cuma kirim P, itu menyebalkan tingkat dewa sih, tapi kadang jempol saya masih suka gatel buat balas pesan setipe gitu.

Pesan juga nih, jadi buat manusia model begitu, tolong hargai orang yang mau kamu chat, ya. Paling enggak sebut nama dan lebih bagus langsung aja bilang apa keperluan kamu ngechat seseorang itu. 

Centang Biru itu pilihan, aktif atau nonaktif. Centang biru hanya sebuah fitur dalam perangkat elektronik. Yang terpenting adalah, dirimu tetap memanusiakan manusia, menjaga ruang privasi, peduli terhadap diri, dan enggak seenaknya berkomunikasi melalui pesan instant, apa pun yang jadi pilihan platformnya. :)

0 Response to "Perkara Centang Biru di WhatsApp, Kamu Termasuk Tim yang Mana, Nih?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel