Menelusuri Ruang Kroeng Padee
Foto : Kroeng Padee yang terdapat pada Rumoh Aceh Tgk Muhammad Daud Beureueh, Beureueh Kec Mutiara, Kab Pidie
“Asai ka ta tamoeng, cit ka gatai” (Asal sudah masuk ke dalam (Kroeng Padee, red), tentunya pasti gatal) adalah ucapan pengalaman dari orang yang pernah menelusuri ruang yang dipenuhi padi, kondisi gatal yang disebabkan oleh ruangan pengap, kondisi suhu yang lumayan ‘panas’ hingga tersibak ‘bau’ khas padi yang sudah tersimpan lama, lumbung padi tersebut merpakan tempat penyimpanan (stok), dalam kebudayaan Aceh masyarakat lazim menyebutnya dengan Kroeng Padee.
Sebagai basic demand (kebutuhan dasar) manusia, segenap masyarakat Aceh pun sangat memuliakan padi, banyak nilai filosofis yang diambil dari tanaman itu. Seperti halnya penggunaan padi setiap logo pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Mengutip penjelasan dari buku Dijamin Bukan Mimpi karya Musmarwan Abdullah tentang hadih maja (peribahasa Aceh), “Kaya meuh han meusampee, kaya padee meuseumpureuna” tarikan maknanya berawal dari pengertian emas sebagai barang tambang, yaitu mineral berharga yang digali dari dalam tanah. Yang pada suatu kondisi barang tambang akan terkuras habis (tidak dapat diperbaharui) dan merusak lingkungan. Sedangkan kaya padee meuseumpureuna adalah perumpamaan untuk hasil kekayaan dari sektor pertanian yang bisa diperbaharui dan bisa dituai secara terus menerus.
Dikenal sebagai masyarakat religius, masyarakat Aceh selalu menisbahkan setiap pekerjaannya pada dasar agama, sebagaimana halnya bercocok tanam padi. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menerangkan,”Dari Jabir bin Abdullah R.A berkata, telah bersabda Rasulullah SAW : “tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi tanaman sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim, Hadits nomor 1552)
Foto : Kroeng Padee yang terdapat di Rumoh Aceh gampong Nicah, Kec Grong-Grong, Kab Pidie
Berbentuk bulat memiliki diameter yang luas, biasanya sampai 3 meter. Terbuat dari anyaman kulit bambu yang telah dirangkai sempurna, ditambah rangka penopang dari belahan bambu supaya kuat dan diikat dengan tali tradisional ijuk yang telah dipintal untuk menjadi tali penyatuan bagian-bagian tersebut, uniknya juga, tali ijuk dirangkai dengan teliti dan penuh nilai estetis yang mencitrakan masyarakat Aceh mencintai keindahan. Biasanya, Kroeng Padee diletakkan di bawah diantara tiang-tiang Rumoh Aceh atau terpisah dengan didirikan sebuah balee (balai/gubuk) sederhana untuk menghindari dari guyuran hujan dan genangan air yang dapat merusak tempat penyimpanan tersebut dan padi.
Kapasitas penyimpanan pun terbilang luar biasa banyak, bahkan meu-gunca hingga meu-kuyan (konversi takaran tradisional Aceh, 1 kuyan : 10 gunca), tersedianya stok yang melimpah membuat mudah dalam menyukseskan beragam perayaan, seperti Preh Dara Baro atau Tueng Linto Baro (pesta pernikahan), Buleun Moloed (perayaan Maulidurrasul; yang dilaksanakan hingga 3 bulan dalam tradisi masyarakat Aceh), Buleun Apam (kenduri Apam, Apam; kue khas Aceh, khususnya Pidie dan Pidie Jaya), dan perayaan lainnya.
Foto : Tim beulangong tanoh sedang mewawancarai ibu Habsah tentang Kroeng Padee di gampong Nicah, Kec Grong-Grong, Kab Pidie
Daya tahan simpanan (padi) pun sudah dipetakan secara matang oleh masyarakat, setelah dilakukan penggilingan, penjemuran untuk mengurangi kandungan/kadar air, hingga memastikan suhu ruangan yang lumayan panas atau berkisar pada suhu kamar (20 derajat sampai dengan 30 derajat Celcius). Prasayarat tersebut sangat penting diperhatikan supaya padi mampu bertahan sebagai stok sampai bertahun-tahun lamanya dalam Kroeng Padee tersebut.
Semasa Aceh masih berdigdaya sebagai salah satu kekuatan politik Islam khususnya di Asia Tenggara, ketersediaan pangan (padi/beras) adalah salah satu faktor penopang kekuatan Aceh melakukan penaklukan dan menghadapi tantangan perang dengan imperialis Barat. Secara kasat mata, kita pun menyadari bahwa masyarakat Aceh terdahulu sudah memiliki perencanaan yang baik menghadapi musim paceklik (gagal panen), wabah/ta’eun, serta kesiapan menghadapi kondisi perang/invasi.
Seperti dilansir dari Sinarpidie.co dengan judul Surplus Beras Aceh ke Sumatera Timur (12 April 2020). Saat Aceh dalam ‘pengaruh’ Belanda, Aceh terus digenjot dengan dibangunnya beragam infrastruktur penunjang pertumbuhan produksi padi, sehingga berulang kali menjadi daerah surplus produksi padi/beras, tahun 1930 Aceh berhasil memproduksi sebesar 216 ribu ton beras, dengan kebutuhan konsumsi aceh sebesar 200 ribu ton dan diekspor ke Sumatera Timur sebesar 2 ribu ton beras, lonjakan surplus produksi beras dari Aceh semakin besar, tahun 1940 mengirim sebesar 24 ribu ton beras, dan tahun 1941 sebesar 36 ribu ton beras dikirim untuk Sumatera Timur atau Deli menggunakan transportasi kereta api.
Foto : Kroeng Padee yang terdapat di gampong Nicah, Kec Grong-Grong, Kab Pidie
Kebudayaan menyimpan padi sekarang ini mulai menurun, bahkan hampir saja Kroeng Padee termakan zaman alias punah. Dulu, Kroeng Padee menjadi pemandangan yang mudah kita temui di seantero Aceh, kini hanya tinggal beberapa dan hanya bisa dijumpai di daerah pedalaman saja. kondisi ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat pada hal yang instan dan pola konsumtif.
Di belahan pulau Jawa, tradisi menyimpan padi ini juga dan masih dilakukan hingga sekarang oleh masyarakat suku Baduy, Leuit adalah sebutan untuk lumbung padi tradisional suku Baduy.
Kini, sebagai media edukasi sejarah, masterpiece peradaban Kroeng Padee tersebut bisa kita temui diantara tiang tameh Rumoh Aceh (rumah adat tradisional Aceh) di komplek Museum Aceh, Banda Aceh.(ma)
Foto : Pembuatan Kroeng Padee dari bambu dan di ikat dengan talik ijuk di gampong Nicah, Kec Grong-Grong, Kab Pidie
0 Response to "Menelusuri Ruang Kroeng Padee"
Post a Comment