Berpuisi: Cara Kita Untuk Maknai Diri?


gambar: pixabay


“Sudahkah kau minum puisimu hari ini?” – Helvy Tiana Rosa,
sebuah kutipan dari salah satu penulis ternama, seakan menjadikan puisi merupa seteguk air yang dibutuhkan dalam kehidupan. Melalui sebuah medium tersebut, seseorang dapat dengan lepas mengungkapkan segala sesuatu yang dirasa, pikir, maupun pandang.



“Menulis puisi membuat seorang pecundang menjadi pemberani, karena dari sana kita belajar menyampaikan apa yang tidak dapat diungkapkan. Puisi juga bagian dari upaya mengkritisi, atau untuk mengabadikan suatu momen,” papar Usup Supriyadi, selaku narasumber dalam pertemuan ke dua FLP Bogor Pramuda, Minggu (12/4/15) lalu di kompleks Auditorium Thoyyib, IPB Dramaga Bogor.

            Dalam hal ini, puisi memang belum sepenuhnya bisa menempati ruang hati para penulis atau pembaca. “Suka gak suka sih. Suka, kalau isi puisinya mudah dimengerti, apalagi kalau ngena sama suasana hati, alias ‘gue banget’. Kalau bahasanya rumit, agak males juga sih bacanya. Bikin pusing,” tutur Eko salah satu peserta saat ditanyai.


            Usup menerangkan, kerumitan dalam sebuah puisi dianggap sangat wajar.  Karena dalam puisi memang terdapat banyak bahasa simbol dan pemilihan diksi indah, serta tak ada yang lepas dari majas. Penulis dapat benar-benar menyembunyikan maksud tertentu dalam tulisannya. Maka, apa yang pembaca tafsirkan bisa kemungkinan akan bersebrangan dengan maksud sebenarnya penulis. Dapat dikatakan pula, dalam puisi kita dapat temukan unsur ambiguitas kata.


            Lain hal dengan peserta bernama Syadza. Menurutnya, menulis catatan harian menjadi awal ketertarikan ia menyukai puisi. Dengan sering melakukan renenungan, hingga akhirnya menghasilkan rangkaian puisi. “Menurutku, puisi itu laksana lautan kata yang perlu diselami hingga mencapai makna. Di situlah pikiran kita diajak berkelana.”


            Berpuisi boleh jadi tidak terbatas dalam profesi. Banyak penyair yang merupakan seorang naturalis. Seperti para filusuf, tak hanya terbatas mempelajari ilmu alam, hitung, atau teologi, namun mereka juga cerdas dalam bahasa. Sehingga berpuisi dapat dilakukan siapapun.


            Sebagai langkah konkret dalam mengaktifkan hasrat untuk berpuisi, Usup juga menyarankan untuk membuka pancaindera seluas-luasnya, menyimak, dan banyak membaca. “Membaca tidak harus buku ya, karena hidup juga adalah teks. Ruangan adalah teks, kita, kamu adalah teks. Ya, bahkan kita dapat membaca diri kita ataupun orang lain. Ibaratnya, kita adalah atmosfer yang menerima sinar, untuk kemudian diprismakan sinar itu menjadi suatu karya.” (Kartika Nurdianti)

0 Response to "Berpuisi: Cara Kita Untuk Maknai Diri?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel